Kejati Riau Ungkap Praktik Proyek di PT Pertamina Hulu Rokan: Gunakan Material Ilegal, Kontraktor Terlalu Banyak Dapat Paket Pekerjaan!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau mengungkap sejumlah temuan praktik pengadaan barang dan jasa yang terjadi di lingkungan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Temuan tersebut merupakan hasil pendampingan yang dilakukan kejaksaan terhadap pelaksanaan proyek di Blok Migas Rokan.
Temuan tersebut terungkap dalam bahan paparan yang disampaikan langsung Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Akmal Abbas di acara 'Supplier Engagement Day Wilayah Kerja Rokan' diselenggarakan PT PHR di SKA Co Ex, Pekanbaru, Kamis (18/7/2024).
BERITA TERKAIT: Menggugat Nyali Elit Daerah Mendesak PT Pertamina Hulu Rokan Segera Berkantor di Riau
Sedikitnya ada tiga temuan hasil pendampingan yang diperoleh. Salah satunya yakni praktik penggunaan material ilegal dalam kegiatan di Blok Rokan.
Dalam bahan presentasinya, Kajati Akmal mengaitkan terjadinya penggunaan material ilegal, secara khusus yang bersumber dari pemanfaatan mineral yang tidak berasal dari sumber resmi. Yakni material mineral yang tidak berasal dari perusahaan pemegang IUP, IUPK, IPR dan SIPD serta perizinan lain yang ditetapkan dalam usaha pemanfaatan maupun pengelolaan mineral.
Temuan Kejati Riau ini tampaknya merujuk pada banyaknya laporan menyangkut penggunaan tanah urug (tanah galian) untuk kebutuhan pembangunan tapak sumur minyak (wellpad) di Blok Rokan. Di mana, sejumlah perusahaan pemasok tanah urug ke Blok Rokan yang dikelola PT PHR sejak 9 Agustus 2021 lalu, tidak memiliki perizinan yang lengkap dan memadai.
BERITA TERKAIT: Pak Jokowi, Kapan PT Pertamina Hulu Rokan Pindah Kantor ke Riau, Apakah Nunggu Minyak Blok Rokan Habis Dulu?
Polda Riau sempat menerima sejumlah laporan soal masalah tanah urug ini, yakni yang terjadi di daerah Kabupaten Rokan Hilir, tahun lalu.
Dalam bahan paparannya, Kajati Akmal Abbas menyinggung soal ancaman hukuman pidana dan denda kepada pihak-pihak yang menampung, memanfaatkan dan melakukan pengelolaan bahan mineral dari perusahaan yang tidak memiliki izin lengkap.
"Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengelolaan, pengangkutan dan penjualan mineral dan atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya, dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar," demikian isi paparan Kajati Riau Akmal Abbas.
Sementara, temuan kedua yang diperoleh Kejati Riau yakni terjadinya salah perencanaan dalam pelaksanaan proyek di Blok Rokan. Salah perencanaan ini terjadi karena konsultan perencana tidak turun langsung ke lokasi tempat kerja.
"Sehingga pada saat pelaksanaan pekerjaan terjadi perubahan kontrak yang berakibat bertambahnya waktu, bahkan sering terjadi pekerjaan pekerjaan menjadi lambat," demikian isi paparan Kajati Riau Akmal Abbas.
Adapun temuan ketiga yang diperoleh Kejati Riau dari hasil pendampingan proyek di PHR, yakni kontraktor (mitra kerja) yang terlalu banyak mendapatkan paket pekerjaan. Salah satu dampaknya menyebabkan keterbatasan peralatan kerja karena secara bersamaan dipakai untuk kegiatan proyek lain.
"Dikarenakan penyedia terlalu banyak mendapatkan paket pekerjaan di tahun yang sama, sehingga peralatan yang disampaikan dalam dokumen penawaran sudah tidak sesuai lagi, karena peralatan tersebut sudah digunakan dalam kegiatan lain," demikian temuan Kejati Riau.
Kegiatan 'Supplier Engagement Day Wilayah Kerja Rokan' diselenggarakan PT PHR di SKA Co Ex, Pekanbaru, Kamis (18/7/2024) kemarin dihadiri oleh lebih dari 500 perwakilan perusahaan yang diundang oleh PT PHR sebagai calon rekanan (mitra kerja) pengadaan barang dan jasa. Selain itu juga dihadiri pejabat utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE), manajemen PT PHR Wilayah Kerja Rokan, SKK Migas, ESDM dan pejabat Pemprov Riau lainnya.
Kegiatan tersebut bersifat tertutup dan terbatas. Saat wartawan SabangMerauke News hendak memasuki ruangan acara, langsung dicegat oleh sekuriti yang berjaga di pintu masuk ruangan. Alasannya, wartawan tidak memiliki tanda peserta mengikuti acara.
Dukungan Pemindahan Lelang PT PHR ke Riau
Sebelumnya masih dalam forum yang sama, Kajati Riau Akmal Abbas juga memberikan mendukung agar segala urusan berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dipindahkan ke daerah Riau.
Dukungan moral pemindahan pusat aktivitas PT PHR ke daerah Riau oleh Akmal Abbas tersebut selaras dengan desakan segenap elemen masyarakat Riau yang meminta PHR segera memindahkan kantor pusatnya dari Jakarta ke Riau. Desakan pemindahan kantor ke daerah Riau telah disuarakan oleh kalangan pengusaha lokal, Lembaga Adat Melayu Riau, unsur serikat buruh, pemuda dan mahasiswa di Riau.
Pemindahan kantor PT PHR ke Riau sangat beralasan, karena memang hampir mayoritas kegiatan operasional PT PHR berada di Blok Rokan, Provinsi Riau. Sejak resmi mengelola Blok Migas Rokan pada 9 Agustus 2021 silam, PT PHR justru memilih berkantor pusat dengan menyewa beberapa lantai gedung mewah di kawasan elite Jakarta Selatan yang menghabiskan anggaran perusahaan plat merah tersebut mencapai ratusan miliar rupiah.
Pernyataan Kajati Riau Akmal Abbas yang mendorong agar kegiatan pengadaan barang jasa dan accounting process PT PHR ke Riau diakui oleh seorang peserta acara Supplier Engagement Day Wilayah Kerja Rokan kemarin.
"Pak Kajati (Akmal Abbas) dalam sambutannya mendukung pemindahan semua urusan yang berhubungan dengan proses pengadaan barang dan jasa serta accounting proses. Ini agar kegiatan lebih efektif dan membuat ekonomi daerah bergerak tumbuh dan berkembang dengan keberadaan PT PHR selaku pengelola Blok Rokan," kata peserta acara Supplier Engagement Day Wilayah Kerja Rokan kepada SabangMerauke News, Jumat (19/7/2024).
Kepala Kejati Riau Akmal Abbas telah dikonfirmasi ulang soal harapannya agar kegiatan pengadaan barang jasa di PT PHR dilakukan di Riau. Ia tidak membantah, namun meminta media ini mengonfirmasi lewat Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) atau Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Riau.
Sementara, Plt Kasipenkum Kejati Riau, Iwan Roy mengaku masih harus mengecek kembali soal pernyataan atasannya tersebut.
"Saya cek dulu ya, karena kemarin saya tidak ikut hadir di acara," terang Iwan Roy.
Praktisi Migas Riau, Aris Aruna sangat mengapresiasi sikap Kajati Riau Akmal Abbas yang mendorong agar kegiatan pengadaan barang jasa di lingkungan PT PHR dilakukan di Riau. Menurutnya, sikap Kajati tersebut sebagai bentuk kecintaannya terhadap Riau yang merupakan tanah kelahirannya.
"Kan Pak Akmal (Kajati Riau) itu putra terbaik Riau asal Kuansing. Jika ia mendukung pemindahan kantor PHR ke Riau, barangkali Beliau telah mendengar keluhan dan denyut harapan warga Riau, terutama pelaku usaha lokal yang selama ini masih jadi penonton di Riau," kata Aris Aruna, Jumat siang ini.
Aris yang merupakan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Jasa Penunjang Migas Indonesia (APJPMI) mengakui, keberadaan PHR belum memberikan dampak positif terhadap pelaku usaha lokal dan ekonomi daerah Riau. Faktanya, ekonomi masyarakat di daerah operasional PT PHR justru lesuh.
"Karena itu, tuntutan masyarakat Riau, terutama pelaku usaha Migas lokal agar PHR berkantor di Riau sangat patut dan pantas. Kapan lagi ekonomi daerah tumbuh dan bergerak, kalau pusat kegiatan PHR justru di Jakarta. Kapan lagi pelaku bisnis migas dari seluruh wilayah Indonesia berdatangan ke Riau?" tegas Aris.
DPA LAM Riau Minta Atensi Jokowi
Sebelumnya diwartakan, Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menyoroti keberadaan kantor PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang selama tiga tahun hingga saat ini ditempatkan berada di Jakarta. LAMR meminta agar PT PHR segera berkantor dan memusatkan aktivitas kendali bisnisnya di Provinsi Riau.
Ketua Umum DPA LAMR Riau, Tan Seri Syahril Abubakar mengutarakan alasan dan pertimbangan pokok PT PHR harus segera berkantor di Provinsi Riau. Faktor yang paling pokok yakni agar aktivitas PT PHR yang merupakan pengelola Blok Rokan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan terhadap daerah Riau.
Syahril menegaskan, wilayah kerja PT PHR yang terbesar dan utama berada di Provinsi Riau, yakni Blok Rokan. Ladang minyak ini bahkan diklaim telah menyumbang kontribusi terbesar untuk negara Indonesia, mencapai angka setara 24 persen dari produksi minyak nasional. Produksi minyak Blok Rokan diklaim menembus 162 ribu barel per hari (bph).
"Fakta yang tak bisa dibantah bahwa wilayah operasional PT PHR yang terbesar dan utama itu berada di Riau. Sehingga sangat patut dan urgen PT PHR berkantor di Riau," tegas Syahril Abubakar kepada SabangMerauke News, Rabu (10/7/2024) lalu.
Menurut Syahril, kontribusi Blok Rokan yang sangat besar sebagai penghasil minyak nasional dengan nilai ekonomi yang strategis, maka Provinsi Riau sangat layak menjadi pusat kantor utama (main office) PT PHR.
"Main office PT PHR sangat layak berada di Riau," tegasnya.
Ia menjelaskan, jika PT PHR memindahkan kantor pusat utamanya di Riau, maka dipastikan akan bisa menambah pendapatan daerah. Soalnya, industri migas dengan segala aktivitas penunjangnya akan membuka lapangan kerja, peningkatan belanja serta memperbesar potensi pajak yang bisa diterima daerah.
"Dampak keberadaan kantor utama PT PHR jika dipusatkan di Riau maka akan meningkatkan pendapatan daerah. Ini juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, karena segala aktivitas bisnis, baik aktivitas pokok maupun penunjang akan memperbesar perputaran uang di Provinsi Riau," tegas Syahril.
Syahril juga meminta agar masalah ini bisa menjadi perhatian dari Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir dan Ketua DPR Puan Maharani. Sebab desakan pemindahan kantor PT PHR ke Riau merupakan suara hati arus bawah dan segenap lapisan masyarakat Riau.
"Terkhusus kepada Tuan Datuk Seri Setia Amanah Negara Presiden Joko Widodo agar memberikan atensi atas hal ini," kata Syahril.
Syahril Abubakar merupakan salah satu tokoh daerah Riau yang turut berperan dalam mendorong pengambilalihan Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada tahun 2018 silam. Kala itu, Syahril menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pengurus Harian (DPH) LAM Riau periode 2017-2022.
LAM Riau pada periode itu memberikan gelar kehormatan adat kepada Presiden Jokowi, yakni gelar Datuk Seri Setia Amanah Negara pada 15 Desember 2018 silam, bertepatan dengan ujung masa jabatan periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.
Pengambilalihan Blok Rokan dari PT CPI yang kemudian diserahkan kepada PT Pertamina (Persero)melalui cucu perusahaannya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), merupakan salah satu 'dagangan' kampanye Presiden Jokowi di Pilpres 2019 lalu. Adapun jargon yang digelorakan saat itu yakni 'Blok Rokan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi'.
Serikat Buruh Migas Desak Kantor PHR Pindah ke Riau
Gelombang desakan meminta PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) segera memindahkan kantor dari Jakarta ke Riau terus bermunculan. Kali ini, suara kritis datang dari kalangan serikat buruh minyak bumi dan gas (Migas).
Ketua Federasi Pertambangan dan Energi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak, Swandi Hutasoit SH menyatakan, pemindahan kantor PT PHR dari Jakarta ke Riau merupakan agenda mendesak yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
"Kami di serikat buruh sangat merasakan betapa panjangnya hierarki komunikasi dalam penyelesaian masalah perburuhan sektor migas di PT PHR. Ini salah satunya disebabkan keberadaan kantor PHR di Jakarta, bukan di Riau," tegas Swandi Hutasoit kepada SabangMerauke News, Selasa (9/7/2024) siang.
Menurut Swandi, ada banyak persoalan perburuhan yang terjadi di Blok Rokan, khususnya yang menimpa buruh kontrak migas. Masalah-masalah tersebut telah dilaporkan FPE-KSBSI ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau, namun tanpa penyelesaian yang konkret dan memadai.
"Bahkan manajemen PT PHR tidak datang saat dipanggil oleh Disnaker Riau. Alasannya, urusan buruh kontrak migas bukan menjadi bagian tanggung jawab PHR, tapi tanggung jawab perusahaan mitra (sub kontraktor) PHR," kata Swandi.
Ia menjelaskan, kehidupan buruh kontrak migas di era PT PHR mengelola Blok Rokan sejak tiga tahun lalu sangat miris. Perlindungan terhadap pekerja sangat lemah, otoritas yang berwenang di sektor ketenagakerjaan tak bertaji.
"Masalah ketenagakerjaan di Blok Rokan bisa cepat dituntaskan jika PHR berkantor di Riau, bukan di Jakarta seperti saat ini. Lagipula tidak ada alasan yang rasional sehingga PHR harus berkantor di Jakarta. Di Riau, banyak fasilitas yang sangat representatif dan layak," kata Swandi.
Menurut Swandi, jika PT PHR yang memiliki basis operasional di Riau namun memilih berkantor di Jakarta, maka akan membuat perusahaan mitra kerjanya mengikuti sikap yang sama dengan PHR. Padahal, kehadiran perusahaan mitra kerja PHR ke Blok Rokan akan membawa efek pada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan daerah dalam bentuk pajak.
"Sikap PHR yang berkantor di Jakarta akan membuat perusahaan-perusahaan mitra kerja (subkontraktornya) mengikuti pola yang sama. Ini juga berpotensi menyebabkan penyelesaian masalah hubungan industrial berjalan lamban," kata Swandi.
Swandi juga menyebut terjadinya kelesuhan ekonomi di tengah masyarakat Riau, khususnya di wilayah operasional PHR saat ini.
"Lihat saja sekarang bagaimana kondisi Kota Duri, sepi dan lengang. Kehidupan ekonomi lesuh," tegas Swandi.
Pemuda Melayu Riau Minta Perhatian Jokowi
Sebelumnya, organisasi Pemuda Melayu Riau Indonesia (PMRI) mendesak agar PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) segera memindahkan kantornya dari Jakarta ke Provinsi Riau. PMRI juga meminta Presiden Jokowi mengingatkan secara keras PT Pertamina (Persero) untuk peduli dengan kondisi ekonomi masyarakat di Bumi Lancang Kuning.
"Jangan hanya ingin mengambil kekayaan sumber daya alam Riau saja. Karena itu adalah perbuatan yang sangat maruk dan tak berpendidikan," kata Ketua PMRI, Khoirul Basar kepada SabangMerauke News, Selasa (9/7/2024).
Pernyataan dan sikap PMRI tersebut merespon pemberitaan media ini yang mempertanyakan alasan PHR memilih berkantor di Jakarta yang dalam beberapa bulan ke depan tak lagi menjadi ibu kota negara.
Khoirul yang merupakan mantan Presiden Mahasiswa Universitas Riau ini menegaskan, setelah 3 tahun lamanya PT PHR mengelola Blok Rokan, namun tak memberikan dampak positif terhadap ekonomi daerah. Yang terjadi justru sebaliknya, keberadaan PHR hanya menguntungkan segelintir elit-elit kekuasaan dan elit ekonomi.
"Ekonomi Riau tidak tumbuh, justru sebaliknya lesuh. Kehadiran PHR tidak memberikan multiplier effect terhadap ekonomi daerah. Salah satunya dampak dari keberadaan kantor PHR di Jakarta. Padahal, wilayah operasional PHR yang terbesar ada di Blok Rokan Provinsi Riau. Tidak ada alasan yang bisa diterima dengan akal sehat sehingga PHR harus berkantor di Jakarta," kata Khoirul Basar.
Khoirul meminta agar Presiden Jokowi tidak hanya sekadar mengambil alih pengelolaan Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) lalu menyerahkan begitu saja kepada PT Pertamina melalui cucu perusahaannya bernama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sikap Presiden Jokowi yang lebih konkret yakni memerintahkan direksi Pertamina (Persero) untuk memindahkan kantor PT PHR ke Riau.
"Kami berharap di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi dapat memastikan Blok Rokan yang dikelola PT PHR benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Riau. Sudah terlalu lama kekayaan minyak Bumi Riau hanya dijadikan komoditi bagi elit-elit dan oligarki tertentu di Jakarta," kata Khoirul.
Menurutnya, sikap manajemen PT PHR yang justru berkantor di Jakarta sama saja dengan menjauhkan kepentingan daerah dalam pengelolaan kekayaan sumber daya alamnya.
"Daerah dijadikan sebagai penonton. Masak urusan kantor saja dibikin ribet. Kenapa mesti berkantor di Jakarta?" kritik Khoirul.
Khoirul meyakini, pemindahan kantor PT PHR ke Riau akan membawa dampak yang signifikan terhadap ekonomi daerah. Kegiatan perkantoran PHR yang dipusatkan di Riau akan membuat orang ramai berdatangan ke Riau, sehingga geliat ekonomi daerah menjadi hidup.
"Para pebisnis migas dan jasa penunjang migas harusnya datang ke Riau, bukan justru terbang ke Jakarta. Itu sama saja dengan membawa uang dari Riau ke Jakarta. Masak yang ditinggalkan di Riau cuma limbah minyak saja? Kapan sektor jasa perhotelan, UMKM dan ekonomi masyarakat bisa hidup lagi dari sektor migas?" kata Khoirul yang juga merupakan Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi DPW Solidaritas Merah Putih (Solmet) Provinsi Riau.
Ia juga meminta pemerintah daerah di Riau segera bersikap dan menuntut PHR agar "berkandang" di Riau.
Apalagi Pemprov Riau dan jajaran pemda kabupaten/kota di Riau berkepentingan langsung dengan upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak daerah. Dengan pemindahan kantor PT PHR ke Riau, maka dipastikan potensi pajak daerah bisa didulang lebih besar.
Selain itu, pemindahan kantor PT PHR ke Riau juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal dalam mengatasi laju pengangguran.
"Agar pemerintah daerah di Provinsi Riau benar-benar memiliki akal sehat untuk segera mendesak PHR berkantor di Riau. Negeri ini punya banyak petuah, nasihat, petatah dan petitih dari para pendahulu. Ayo segera bersikap," kata Khoirul.
Janji Presiden Jokowi
Sebelumnya, saat mendapatkan gelar kehormatan adat dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) pada 15 Desember 2018 silam, Presiden Jokowi berjanji akan memberikan kesempatan yang besar kepada Riau dalam pengelolaan Blok Rokan.
“Saya sudah menyampaikan kepada Pertamina, jangan dikelola sendiri. Libatkan yang namanya daerah sebesar-besarnya. Kalau daerah mampu memegang lebih besar, kenapa tidak? Kalau daerah siap memiliki yang lebih besar kenapa tidak? Tetapi skema dan mekanismenya nanti akan segera kita atur untuk ini," kata Presiden Jokowi yang disematkan gelar Datuk Seri Setia Amanah Negara oleh LAM Riau.
Pidato Jokowi tersebut terkait dengan keputusan politik pemerintahannya yang merebut pengelolaan Blok Rokan dari tangan kontraktor asing PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) . Blok Rokan adalah hamparan ladang minyak terbesar di Indonesia yang telah menghasilkan miliran barel minyak bumi dari perut Bumi Lancang Kuning.
Jauh sebelumnya, blok minyak ini digarap oleh PT Caltex Pacific Indonesia (Caltex), yang dulunya merupakan raksasa perusahaan migas asal Amerika Serikat. Sejarah mencatat, Blok Rokan sebelumnya dikelola perusahaan asing lebih dari 90 tahun lamanya.
Diambilalihnya Blok Rokan dari tangan asing, populer dengan jargon Blok Rokan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Blok Rokan kembali ke ibu kandung, bukan lagi ibu tiri.
Jargon ini kerap digembar-gemborkan saat PT Pertamina (Persero) melalui cucu perusahaannya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) secara resmi mengelola Blok Rokan pada 9 Agustus 2021 silam. PHR mendapat hak kelola Blok Rokan selama 20 tahun ke depan. Itu artinya, masa konsesi PHR berakhir pada tahun 2041 mendatang.
Memasuki tahun ketiga pengelolaan Blok Rokan oleh PHR, tanda-tanda "ketimpangan" antara harapan dan janji manis itu sepertinya makin jelas terasa. Arus ekspansi dan mobilisasi anak cucu cicit perusahaan BUMN ke Blok Rokan, disebut-sebut telah membuat keterpurukan yang serius terhadap pelaku usaha (kontraktor) migas dan jasa pendukung di Riau. Keluhan ini bahkan sudah disuarakan sejak tiga tahun lalu, namun saat ini makin parah tanpa pembenahan.
Janji negara untuk menaik-kelaskan kontraktor lokal, sepertinya jauh panggang dari api. Jangankan untuk naik kelas, bertahan saja sudah morat-marit dan setengah mati.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan tak mungkin kontraktor lokal segera turun kelas dan tenggelam ditimpa oleh anak cucu cicit perusahaan plat merah yang bercokol makin kuat di Blok Rokan. Faktanya, kondisi ironi tersebut sudah terjadi. Para kontraktor lokal menjerit tanpa akhir. Mereka sudah jadi penonton di daerahnya sendiri. Mau melawan, tapi takut dan tak berdaya.
Pola baru pengelolaan Blok Rokan dari sebelumnya menggunakan sistem production sharing contract (PCS) cost recovery menjadi gross split, kerap dijadikan alibi dan pembenaran untuk melakukan kebijakan bisnis tersebut. Konon katanya, prinsip ekonomi klasik 'mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya serendah-rendahnya' makin ekstrem diterapkan oleh PHR di Blok Rokan.
Dalih lain yang dipakai yakni Sinergi BUMN. Apa-apa itu harus BUMN atau setidaknya perusahaan swasta harus "menginduk" ke BUMN, termasuk dengan pola konsorsium. Padahal, jauh sebelumnya kontraktor swasta sudah menjadi pemain lama di bisnis tersebut.
Desakan agar PHR memindahkan kantor mewahnya di Jakarta ke Riau sudah disuarakan oleh eks Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok setahun lalu. Ahok pada Selasa (18/7/2023) tahun lalu meledakkan emosinya karena mengetahui kalau PHR dan anak perusahaan Pertamina lainnya berkantor di Jakarta, padahal wilayah kerjanya ada di daerah.
"Kita bicara Hulu Rokan, PHR. Masak kantor pusatnya ada di gedung mewah di Kuningan, terus sewa lagi. Kenapa enggak pakai kantor yang ada di Rokan?," kata Ahok kala itu.
Ahok tampaknya agak geram plus kecewa, manakala jargon efisiensi BUMN yang kerap didengungkan, dalam praktiknya justru berujung pada pemborosan keuangan korporasi.
Ibarat punya rumah sendiri, tapi PHR yang merupakan anak usaha PT Pertamina Hulu Energi (PHE) itu justru memilih 'ngekost' alias ngontrak di rumah orang lain.
"Prinsipnya, ngapain kamu punya rumah, tapi rumah kamu dibiarin, kamu tinggalin. Terus kamu sewa rumah, lucu enggak? Kamu kerjanya deket rumah kamu dong. Itu saja logikanya," kata Ahok lagi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyebut kalau anak perusahaan Pertamina, seperti PT Kilang Pertamina Balikpapan dan PHR menyewa kantor di Jakarta seharga Rp 382 miliar. Itu belum termasuk biaya operasional.
Kantor mewah PHR yang dimaksud Ahok berada RDTX Place. Bangunan elit bertingkat ini terletak di Jalan Prof DR Satrio, Nomor 17, Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Jelas, ini lokasinya di salah satu kawasan elit ibukota negara Jakarta.
Namun, hingga Ahok mundur dan menanggalkan jabatan strategisnya di Pertamina, kantor pusat PHR tetap masih berada di Jakarta hingga saat ini. Pernyataan Ahok kini dianggap hanya angin lalu. (R-03)