Jikalahari Kritik Pembahasan Ranperda RTRW Riau: Tidak Partisipatif dan Rawan Koruptif!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Jikalahari mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau agar transparan dalam penyusunan dan pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau tahun 2024-2044. Jikalahari menilai proses yang berlangsung tertutup rentan akan tindakan koruptif.
*Sejak revisi RTRWP Riau masuk dalam agenda Pemprov Riau pada 2022, ruang partisipasi publik sangat minim, tertutup dan mirip seperti pembahasan RTRWP Riau 2017-2037 yang akhirnya terjadi korupsi,” kata Arpiyan Sargita, Manajer Kampanye dan Advokasi Jikalahari, Selasa (16/7/2024).
Sebelumnya, pada 2 Mei 2024 lalu, DPRD Riau telah melakukan paripurna mengenai penyampaian rekomendasi Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) untuk melanjutkan penyusunan Ranperda RTRW Riau.
Penelusuran di laman website DPRD Riau https://dprd.riau.go.id, tidak menemukan informasi maupun dokumen Ranperda RTRWP Riau. Padahal, kata Arpiyan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengamanatkan DPRD Riau dalam penyusunan Ranperda membuka ruang partisipasi publik secara maksimal dan bermakna.
Putusan MK tersebut dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan UU tersebut, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/ tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara daring atau luring. Masyarakat yang dimaksud merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/ atau mempunyai kepentingan atas materi rancangan peraturan perundang-undangan.
Jikalahari mengingatkan, terjadinya peristiwa korupsi saat penyusunan RTRW Riau 2017-2037. Kala itu, mantan Gubernur Riau Annas Maamun di tahun 2014 ditangkap KPK di Jakarta karena suap alih fungsi kawasan hutan menjadi non hutan.
Annas menerima suap US$166.100 dari Gulat Medali Emas Manurung dan dari Direktur Utama PT Citra Hokiana, Edison Marudut Marsadauli Siahaan. Tujuan pemberian suap untuk memasukkan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 hektare di tiga kabupaten ke dalam kawasan non hutan di Provinsi Riau.
Annas juga didakwa menerima suap Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar dalam bentuk mata uang dolar Singapura dari beneficial owner Darmex Agro dan Duta Palma Group, Surya Darmadi, agar memasukkan anak perusahaan Darmex Agro dalam revisi RTRWP dari kawasan hutan menjadi non Kawasan hutan.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Annas karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan. Annas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi tujuh tahun penjara pada 2016.
Selain korupsi, tidak ada partisipasi publik secara maksimal dan bermakna mengakibatkan MA menerima gugatan Jikalahari. Pada 12 Agustus 2019, Jikalahari bersama Walhi Riau mendaftarkan Permohonan Keberatan (Judicial Review) ke MA terhadap Perda 10 Tahun 2018 tentang RTRWP Riau.
Dua bulan setelah mendaftarkan Judicial Review ke MA, pada 3 Oktober 2019, Majelis Hakim Mahkamah Agung Dr Irfan Fachruddin, SH, CN dan Dr H Yodi Martono Wahyunadi bersama Dr H Supandi SH, MHum, memutus perkara nomor 63 P/HUM/2019. Majelis Hakim mengabulkan 5 pasal dari 7 pasal yang diajukan Jikalahari bersama Walhi. Hakim menyatakan pasal-pasal yang dikabulkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut.
"Jikalahari merekomendasikan kepada DPRD Riau untuk membuka ruang partisipasi publik secara maksimal dan bermakna dalam penyusunan Ranperda RTRWP Riau 2024-2044, agar kasus korupsi RTRWP Riau 2017-2037 tidak terulang kembali," tegas Arpiyan. (R-03)