Tajuk Redaksi
Aji Mumpung Pj Kepala Daerah Maju Ikut Pilkada, Medan Perang Tak Lagi Rata
SABANGMERAUKE NEWS - Penjabat (Pj) Bupati Indragiri Hilir Herman memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena mau maju ikut Pilkada 2024. Kabar ini telah terkonfirmasi dari pejabat Pemprov Riau. Surat pengunduran diri Herman telah diterima dan akan diteruskan ke Mendagri.
Herman adalah satu dari empat Pj kepala daerah yang berkuasa di Provinsi Riau. Masih ada tiga Pj kepala daerah lain yang hingga saat ini belum jelas apakah ikut nimbrung jadi kontestan Pilkada 2024. Ketiganya yakni Pj Gubernur Riau SF Hariyanto, Pj Bupati Kampar Hambali dan Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
Keputusan Herman untuk maju Pilkada dan menyerahkan surat pengunduran diri dari jabatan Pj Bupati Indragiri Hilir (Inhil), memang merupakan haknya, termasuk untuk ikut bertarung di Pilkada. Pilihan itu adalah bagian dari hak politiknya sebagai warga negara.
Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), hak politik untuk dipilih dan memilih seseorang dijamin oleh perundang-undangan. Tidak ada aturan yang melarang apalagi mencabutnya.
Namun, apakah majunya Herman dan Pj kepala daerah lainnya ke gelanggang Pilkada Inhil 2024 memenuhi rasa kepatutan dan kepantasan secara etika publik?
Rezim Pj kepala daerah bermula dari kebijakan politik penyelenggaraan Pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia. Lebih dari 200 Pj kepala daerah telah diangkat oleh Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) lewat proses yang bisa dirasakan berlangsung tertutup.
Banyak pihak yang sejak awal mengkritik pengangkatan Pj kelapa daerah secara massal ini. Sebagian mempertanyakan mengapa harus mengangkat Pj kepala daerah dan tidak memperpanjang masa jabatan kepala daerah defenitif.
Proses, mekanisme dan seleksi Pj kepala daerah juga mendapat penolakan keras dari sejumlah masyarakat sipil yang menilai kebijakan tersebut kian memperkuat sentralisasi kekuasaan di pusat.
Imbas dari pengangkatan Pj kepala daerah tersebut kini mulai terasa dampaknya. Ini akibat dari syarat yang diberlakukan kepada calon Pj kepala daerah yang sangat normatif. Cukup hanya memenuhi kriteria sebagai pejabat tinggi pratama (PTP), namun tidak memberikan pembatasan lebih lanjut soal kewenangan, termasuk pembatasan terhadap niat politik.
Seorang guru besar kampus di Riau ikut nimbrung dalam pembicaraan di grup WhatsApp. Ia menilai Pj kepala daerah yang maju di Pilkada sebagai batu loncatan saja.
"Pj kepala daerah itu hanya batu loncatan untuk maju Pilkada dan memanfaatkan anggaran APBD untuk sosialisasi pencitraan diri. Kalau mau fair, naikkan elektabilitas dengan duit kantong sendiri, dong," demikian komentar sang profesor di grup WhatsApp.
Kritik sang profesor memang rasional. Niatnya baik agar kompetisi Pilkada bisa berlangsung secara fair.
Pilkada yang berkualitas tidak hanya sekadar terpilihnya pemimpin di daerah. Namun, masih banyak indikator lain yang bisa dijadikan parameter.
Apalagi, banyak Pj kepala daerah yang berlagak seperti seorang kepala daerah defenitif hasil Pilkada. Kuasa mereka tak terbendung dan bisa melakukan apa saja. Mungkin saja mereka merasa lebih berkuasa karena yang mengangkatnya adalah Mendagri, bukan rakyat atau DPRD setempat.
Jangan lupa, kewenangan Pj kepala daerah itu nyaris sama seperti kepala daerah defenitif hasil Pilkada. Mereka bisa melakukan mutasi pejabat, mengatur APBD dan memiliki kuasa lain secara struktural sampai ke level pemerintahan terendah tingkat Rukun Tetangga (RT).
Pada sisi lain, tampaknya DPRD setempat juga terkesan tak berdaya atau justru memilih berkompromi atas dasar kepentingan. Check and balances terhadap Pj kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat terasa sangat garing.
Majunya Pj kepala daerah ke gelanggang Pilkada adalah sebuah ironi. Coba saja kita melihat betapa 'panasnya' tensi politik sejak awal pengajuan usulan calon Pj kepala daerah ke Kemendagri. Kondisinya penuh tarik menarik.
Memang, DPRD memiliki kesempatan untuk mengusulkan 3 nama calon, termasuk 3 nama lain yang diajukan gubernur ke Mendagri untuk digodok menjadi Pj bupati maupun Pj wali kota. Dalam rangkaian proses pengusulan itu, telah menimbulkan dinamika yang cukup panas, bahkan terjadi gejolak yang menguras energi lokal.
Tapi apa jadinya ketika proses pengangkatan Pj kepala daerah yang panas itu, ujungnya berakhir dengan pengunduran diri sang Pj kepala daerah karena ingin maju di Pilkada? Bukankah hal itu mengesankan kalau kursi Pj kepala daerah hanyalah sebuah aji mumpung belaka?
Pilkada harusnya bisa berlangsung fair, tanpa memberikan privilege kepada salah satu kontestannya. Dalam kasus majunya Pj Bupati Inhil Herman dalam ring Pilkada 2024, maka sebenarnya telah memberikan keistimewaan khusus kepadanya untuk running lebih awal dari para pesaing lainnya.
Pj kepala daerah yang punya niat maju Pilkada bisa saja mengatur pos anggaran yang berpotensi menguntungkan bagi dirinya, termasuk anggaran operasional bersumber dari APBD yang membuatnya bisa wira-wiri kemana saja. Duit APBD dipakai untuk memoles citra dengan beragam program karikatif untuk merebut hati rakyat secara instan.
Belum lagi kewenangan Pj kepala daerah dalam pengaturan posisi pejabat daerah sampai pada sub hirarki ke tingkatan kepala desa, RW dan RT. Mesin birokrasi bisa saja dikendalikannya. Namun, hal itu tak bisa dilakukan oleh kandidat lainnya.
Di sinilah awal mula terjadi ketimpangan dalam Pilkada. Padahal, harusnya pertarungan Pilkada itu terjadi di medan yang rata. Jangan satu kontestan sudah berada di bukit, sementara kandidat lainnya masih merangkak di lembah.
Presiden dan Mendagri harusnya sudah membuat pagar api yang jelas dalam kriteria pengangkatan Pj kepala daerah. Mereka harusnya benar-benar sosok birokrat yang tak punya nafsu politik untuk maju Pilkada.
Rakyat pemilih harus menentukan sikap. (R-03)