Konflik Agraria
Pansus DPRD Telaah 33 Pengaduan Konflik Lahan di Riau
SABANGMERAUKE, Riau - Sebanyak 33 pengaduan berupa laporan konflik lahan diterima oleh panitia khusus (pansus) DPRD Provinsi Riau sejak disahkan dalam rapat paripurna bulan lalu. Pansus akan menindaklanjuti aduan tersebut dan memetakan tingkat eskalasi konflik yang terjadi. Sebanyak 33 pengaduan tersebut berasal dari sejumlah daerah di Riau.
Ketua Pansus Konflik Lahan DPRD Riau, Marwan Yohanis menjelaskan para pelapor konflik lahan akan dimintai keterangannya oleh pansus. Hal tersebut untuk mendapatkan informasi lebih detil dan terperinci ikhwal peta aktor konflik lahan.
"Kita telaah lebih dulu kemudian kita minta klarifikasi atas pengaduan yang disampaikan oleh pelapor. Intinya, kita akan proses laporan tersebut sesuai mekanisme kerja di pansus," kata Marwan kepada wartawan, Jumat (12/11/2021).
Menurutnya, jumlah pengaduan dimungkinan akan terus bertambah. Pansus tetap membuka pengaduan masyarakat secara tidak terbatas. Pengaduan tersebut akan dikelompokkan pada jenis dan peta persoalan yang memiliki kemiripan untuk memudahkan kerja pansus.
Politisi Partai Gerindra ini menjelaskan akan melakukan penilaian tentang jenis konflik lahan yang dilaporkan masyarakat. Termasuk menganalis konflik, penyebab dan peta jalan penyelesaiannya. Dijadwalkan pada Senin pekan depan pansus akan melakukan penelaahan seluruh pengaduan yang masuk.
Praktisi Sebut Kurang Masuk Akal
Diwartakan sebelumnya, masa kerja pansus konflik lahan DPRD Riau ini terbilang singkat. Pansus terdiri atas 14 orang anggota lintas fraksi yang diberikan batas waktu kerja hanya 6 bulan.
Singkatnya masa kerja pansus tersebut dikritisi oleh praktisi resolusi konflik di Riau. Direktur Eksekutif Scale Up, organisasi yang sudah 14 tahun berkecimpung dalam konflik lahan, Dr Rawa El Amady menilai pansus tersebut akan mengalami banyak kendala, terutama soal masa kerjanya.
"Seperti kurang masuk akal. Apa yang bisa dikerjakan dalam tempo 6 bulan. Pengalaman kita bekerja menyelesaikan 1 konflik itu bisa sampai 2 tahun," kata Rawa beberapa waktu lalu.
Ia menyatakan jenis dan eskalasi konflik agraria di Riau amat pelik dan kompleks. Aktor yang terlibat juga beragam. Tidak saja melibatkan korporasi dan masyarakat, namun juga ditengarai adanya oknum-oknum di pusat yang ikut andil dalam terus berkembangnya konflik lahan di Riau.
"Pansus akan mengalami kendala soal batas kewenangannya. Karena konflik lahan di Riau juga terkait dengan kepentingan aktor di pusat (Jakarta, red). Sejauh mana pansus akan dapat menjangkau aktor-aktor terkait. Ini bukan pekerjaan mudah dan sebentar, perlu didasari oleh riset yang kompehensif, tidak sekadar tujuan politis atau motif lain," kata Rawa.
Antropolog alumnus Universitas Riau ini mengaku belum mengetahui detil sistem dan pola kerja pansus DPRD Riau tersebut. Termasuk apa output dari pansus, apakah hanya sekadar menghasilkan rekomendasi tertulis, namun tidak menyelesaikan secara konkret konflik lahan yang massif terjadi di Riau.
"Kalau hanya sekadar membuat rekomendasi, ya boleh-boleh sajalah. Tapi, itu tidak akan efektif. Yang perlu itu dalam tataran eksekusi penyelesaian konflik, tidak lagi soal teori dan rekomendasi," jelas Rawa. (*)