Tajuk Redaksi
Menggugat Nyali Elit Daerah Mendesak PT Pertamina Hulu Rokan Segera Berkantor di Riau
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Hampir tiga tahun sudah, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) bercokol di Blok Rokan. Blok yang digadang-gadang sebagai penghasil minyak terbesar di Tanah Air ini diambl alih dari tangan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), tepat pada 9 Agustus 2021 silam.
Namun, selama tiga tahun hingga hari ini, tampaknya PT PHR belum menjadikan Riau sebagai rumahnya sendiri.
Pepatah Melayu klasik 'Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung', agaknya belum benar-benar diresapi oleh manajemen PT PHR maupun Pertamina (Persero). Bumi Melayu Riau tidak lagi hanya dipijak, namun justru telah habis diisap kekayaan sumber daya alamnya.
Cucu perusahaan PT Pertamina (Persero) ini lebih memilih berkantor di kawasan elit Jakarta. Perusahaan justru rela merogoh kocek hingga ratusan miliar, ketimbang menggunakan fasilitas yang sudah tersedia lengkap di Riau.
Ya, PT Caltex yang kemudian diganti oleh PT Chevron, selaku pengelola Blok Rokan selama puluhan tahun, telah meninggalkan warisan berupa sejumlah fasilitas gedung kantor yang representatif di Riau. Saat ini, banyak gedung dan rumah-rumah peninggalan Chevron di Blok Rokan yang tak dimanfaatkan, terancam menjadi bangunan tua, ujung-ujungnya harus mengeluarkan biaya pemeliharaan.
Perusahaan elit sekelas Caltex yang sudah menguras minyak Riau hingga miliaran barel saja, memilih untuk berkantor di main office Rumbai, Pekanbaru. Tapi, PHR yang tinggal mengelola minyak sisa justru ngantor di Jakarta.
Akses ke Riau saat ini sudah sangat terbuka. Penerbangan sudah lancar dengan intensitas yang teratur. Jalan tol Pekanbaru-Dumai yang di sekelilingnya merupakan basis operasional Blok Rokan pun sudah tersedia.
Lantas, apalagi kendala dan alibinya untuk tetap mempertahankan kantor PHR di Jakarta?
Desakan pemindahan kantor PHR dari gedung menara mewah Jakarta ke Riau sebenarnya sudah disuarakan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok tahun lalu. Saat masih menjabat Komisaris Utama PT Pertamina, Ahok sudah bersuara lantang, mencium keanehan manajemen PHR yang menyewa kantor mewah di Jakarta.
Namun desakan itu tampaknya masih menjadi angin lalu, hingga Ahok mengundurkan diri dari jabatan bergengsinya.
Elit Daerah ke Mana?
Pertanyaan di atas, harusnya disuarakan keras oleh para elit-elit Riau, baik elit yang duduk di puncak kekuasaan eksekutif, legislatif dan tokoh-tokoh masyarakat, elemen pemuda maupun mahasiswa. Tapi mengapa isu pemindahan kantor PHR ke Riau senyap, tak terdengar elit daerah bersuara. Ada apa?
Para elit dan politisi kelihatannya lebih sibuk mengurusi diri sendiri dan mencari posisi aman. Apalagi, semuanya sedang disibukkan oleh urusan mencari tiket ikut Pilkada 2024.
Perkara konkret di depan mata yang menyangkut eksploitasi sumber daya alam sepertinya bukan lagi hal yang menarik. Cuek dan tak peduli. Kondisi ini sangat ironi.
Atau apakah para elit Riau sedang dinina-bobokkan oleh dana Participating Interest (PI) 10 persen yang konon katanya angkanya mencapai Rp 3,5 triliun selama dua tahun pengelolaan Blok Rokan oleh PHR? Penggunaan dana tersebut pun tak terasa, entah kemana saja dipergunakan oleh Pemda di Riau.
Dana PI 10 persen Blok Rokan itu hanyalah sekadar durian runtuh. Itu memang merupakan mandat konstitusi, itu hak daerah untuk mendapat porsi eksklusif atas eksploitasi sumber daya alamnya yang dikeruk habis. Jangan lupa, cepat atau lambat minyak akan habis.
Jika elit kekuasaan daerah di Riau sudah cukup puas dengan cipratan dana PI 10 persen Blok Rokan, maka itu sikap yang naif dan menunjukkan rasa tak percaya diri sebagai tuan di negeri sendiri.
Menggugat Multiplier Effect Blok Rokan
Desakan pemindahan kantor PHR dari Jakarta ke Riau bukanlah perkara yang rumit dan berat-berat amat. Ini urusan yang sangat receh, tapi dampaknya sangat substantif.
Bagi Riau, keharusan PHR berkantor di Riau adalah suara untuk menggugat janji multiplier effect economy. Soalnya, di awal-awal pengambilalihan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina, janji-janji manis banyak ditebar.
Dulu katanya, daerah akan banyak mendapat manfaat dari kembalinya Blok Rokan ke pangkuan Ibu Pertiwi. Daerah dijanjikan ini dan itu. Kesejahteraan masyarakat tempatan akan meningkat, anak daerah mendapat porsi lowongan kerja yang ideal.
Faktanya, justru pengelolaan Blok Rokan seperti dikembalikan ke sistem politik sentralistik. Segala urusan didesain dan ditentukan dari Jakarta. Daerah kembali jadi penonton. Pertamina terkesan mempertontonkan praktik monopoli dengan ekspansi massif anak cucu cicit perusahaan BUMN ke Blok Rokan. Kontraktor migas daerah terpuruk dan nyaris ambruk.
Lihatlah, saat ini ekonomi daerah Riau saat ini tengah lesuh, terutama di daerah yang menjadi basis operasional PHR. Hampir tak dapat dirasakan denyut ekonomi dari keberadaan PHR, justru makin anjlok.
Masak, untuk urusan kantor saja, PHR harus memilih tempat di Jakarta. Multiplier effect apa yang diperoleh daerah jika pusat kegiatan PHR justru dilakukan di Jakarta? (R-03)