Tajuk Redaksi
Pak Jokowi, Kapan PT Pertamina Hulu Rokan Pindah Kantor ke Riau, Apakah Nunggu Minyak Blok Rokan Habis Dulu?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - “Saya sudah menyampaikan kepada Pertamina, jangan dikelola sendiri. Libatkan yang namanya daerah sebesar-besarnya. Kalau daerah mampu memegang lebih besar, kenapa tidak? Kalau daerah siap memiliki yang lebih besar kenapa tidak? Tetapi skema dan mekanismenya nanti akan segera kita atur untuk ini".
Kalimat penuh harapan itu disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi Widodo saat penabalan gelar kehormatan adat dirinya oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) pada Sabtu, 15 Desember 2018 silam.
Jokowi diberi gelar Datuk Seri Setia Amanah Negara, di ujung masa jabatan periode pertamanya sebagai presiden. Ia kembali bertarung dalam Pilpres 2019 dan berhasil mempertahankan kekuasaannya hingga 2024 tahun ini.
Pidato Jokowi tersebut terkait dengan keputusan politik pemerintahannya yang merebut pengelolaan Blok Rokan dari tangan kontraktor asing PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) . Blok Rokan adalah hamparan ladang minyak terbesar di Indonesia yang telah menghasilkan miliran barel minyak bumi dari perut Bumi Lancang Kuning.
Jauh sebelumnya, blok minyak ini digarap oleh PT Caltex Pacific Indonesia (Caltex), yang dulunya merupakan raksasa perusahaan migas asal Amerika Serikat. Sejarah mencatat, Blok Rokan sebelumnya dikelola perusahaan asing lebih dari 90 tahun lamanya.
Diambilalihnya Blok Rokan dari tangan asing, populer dengan jargon Blok Rokan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Blok Rokan kembali ke ibu kandung, bukan lagi ibu tiri.
Jargon ini kerap digembar-gemborkan saat PT Pertamina (Persero) melalui cucu perusahaannya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) secara resmi mengelola Blok Rokan pada 9 Agustus 2021 silam. PHR mendapat hak kelola Blok Rokan selama 20 tahun ke depan. Itu artinya, masa konsesi PHR berakhir pada tahun 2041 mendatang.
Tapi, apakah kondisi pengelolaan Blok Rokan oleh PHR lebih baik ketimbang saat digarap oleh Caltex/Chevron? Apakah PHR yang konon dilabeli sebagai "Ibu Pertiwi" atau "Ibu Kandung" itu lebih profesional, mengayomi dan adil ketimbang ketika dikelola perusahaan asing?
Apakah saat Blok Rokan dikelola perusahaan plat merah lebih berpihak pada ekosistem bisnis di daerah Riau? Apakah PHR yang merupakan representasi negara benar-benar telah menjadi Ibu Kandung?
Memasuki tahun ketiga pengelolaan Blok Rokan oleh PHR, tanda-tanda "ketimpangan" antara harapan dan janji manis itu sepertinya makin jelas terasa. Arus ekspansi dan mobilisasi anak cucu cicit perusahaan BUMN ke Blok Rokan, disebut-sebut telah membuat keterpurukan yang serius terhadap pelaku usaha (kontraktor) migas dan jasa pendukung di Riau. Keluhan ini bahkan sudah disuarakan sejak tiga tahun lalu, namun saat ini makin parah tanpa pembenahan.
Janji negara untuk menaik-kelaskan kontraktor lokal, sepertinya jauh panggang dari api. Jangankan untuk naik kelas, bertahan saja sudah morat-marit dan setengah mati.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan tak mungkin kontraktor lokal segera turun kelas dan tenggelam ditimpa oleh anak cucu cicit perusahaan plat merah yang bercokol makin kuat di Blok Rokan. Faktanya, kondisi ironi tersebut sudah terjadi. Para kontraktor lokal menjerit tanpa akhir. Mereka sudah jadi penonton di daerahnya sendiri. Mau melawan, tapi takut dan tak berdaya.
Pola baru pengelolaan Blok Rokan dari sebelumnya menggunakan sistem production sharing contract (PCS) cost recovery menjadi gross split, kerap dijadikan alibi dan pembenaran untuk melakukan kebijakan bisnis tersebut. Konon katanya, prinsip ekonomi klasik 'mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya serendah-rendahnya' makin ekstrem diterapkan oleh PHR di Blok Rokan.
Dalih lain yang dipakai yakni Sinergi BUMN. Apa-apa itu harus BUMN atau setidaknya perusahaan swasta harus "menginduk" ke BUMN, termasuk dengan pola konsorsium. Padahal, jauh sebelumnya kontraktor swasta sudah menjadi pemain lama di bisnis tersebut. Wajar Pertamina dengan bangga mempublikasikan dapat untung besar. Tapi apalah arti untung besar itu kalau justru kontraktor rakyat menderita?
PHR Harus 'Berkandang' di Riau
Satu problem mendasar lain yang harus segera dikoreksi adalah bagaimana 'mengandangkan' PHR agar berkantor di Provinsi Riau. Ya, PHR harus berkandang di Riau karena memang area operasional utamanya berada di Riau.
Katanya, dengan produksi minyak Blok Rokan sebesar 164 ribu barel per hari (bph), ladang minyak ini merupakan penghasil minyak terbesar di Indonesia.
Sejak berdiri, PHR justru memilih berkantor di Jakarta yang beberapa bulan lagi tak lagi menjadi ibu kota negara. Perusahaan rela merogoh pundi-pundinya mencapai ratusan miliar untuk membayar sewa kantor di Jakarta.
Padahal, perusahaan raksasa sekaliber Caltex saja, justru memilih berkantor di Pekanbaru, Riau. Dulu, perusahaan-perusahaan mitra kerja (kontraktor/subkontraktor Caltex) juga diwajibkan berkantor di Riau. Lantas apa urgensinya PHR harus ngotot tetap berkantor di Jakarta?
Desakan agar PHR memindahkan kantor mewahnya di Jakarta ke Riau sudah disuarakan oleh eks Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok setahun lalu. Ahok pada Selasa (18/7/2023) tahun lalu meledakkan emosinya karena mengetahui kalau PHR dan anak perusahaan Pertamina lainnya berkantor di Jakarta, padahal wilayah kerjanya ada di daerah.
"Kita bicara Hulu Rokan, PHR. Masak kantor pusatnya ada di gedung mewah di Kuningan, terus sewa lagi. Kenapa enggak pakai kantor yang ada di Rokan?," kata Ahok kala itu.
Ahok tampaknya agak geram plus kecewa, manakala jargon efisiensi BUMN yang kerap didengungkan, dalam praktiknya justru berujung pada pemborosan keuangan korporasi.
Ibarat punya rumah sendiri, tapi PHR yang merupakan anak usaha PT Pertamina Hulu Energi (PHE) itu justru memilih 'ngekost' alias ngontrak di rumah orang lain.
"Prinsipnya, ngapain kamu punya rumah, tapi rumah kamu dibiarin, kamu tinggalin. Terus kamu sewa rumah, lucu enggak? Kamu kerjanya deket rumah kamu dong. Itu saja logikanya," kata Ahok lagi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyebut kalau anak perusahaan Pertamina, seperti PT Kilang Pertamina Balikpapan dan PHR menyewa kantor di Jakarta seharga Rp 382 miliar. Itu belum termasuk biaya operasional.
Kantor mewah PHR yang dimaksud Ahok berada RDTX Place. Bangunan elit bertingkat ini terletak di Jalan Prof DR Satrio, Nomor 17, Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Jelas, ini lokasinya di salah satu kawasan elit ibukota negara Jakarta.
Namun, hingga Ahok mundur dan menanggalkan jabatan strategisnya di Pertamina, kantor pusat PHR tetap masih berada di Jakarta hingga saat ini. Pernyataan Ahok kini dianggap hanya angin lalu.
Bukan Sekadar Biaya Sewa Kantor
Sentilan Ahok soal PHR yang memilih berkantor mewah di Jakarta, sesungguhnya tak sekadar karena perusahaan harus mengeluarkan kocek dari pundi-pundi perusahaan. Tapi, persoalan substantif lain turut menyertainya.
Lihat saja saat ini bagaimana kondisi Duri, sebuah kota kecil yang menjadi lumbung minyak di Blok Rokan. Kondisinya sepi. Banyak rumah-rumah yang dulu dipakai kontraktor Chevron sudah kosong jadi bangunan tua.
Denyut ekonomi Duri tampak lesuh, sepi dan mundur. Harga rumah karyawan eks Chevron anjlok, sepi peminat. Orang berbelanja kian sedikit.
Itu adalah satu potret kecil realita suara arus bawah Blok Rokan di era Pertamina. Banyak pihak mengeluh. Mulai dari buruh kontrak migas dengan kontrak singkat super hemat, sampai kegundahan pelaku usaha jasa migas lokal.
Fasilitas Kantor Eks Chevron Sangat Memadai
Kembali ke soal kantor PHR. Sebenarnya, Chevron mewarisi banyak fasilitas gedung yang representatif dan memadai.
Setidaknya, ada empat wilayah yang memiliki kompleks perkantoran di wilayah operasional Blok Rokan. Sebut saja eks main office Chevron di Rumbai, Pekanbaru, perkantoran di Minas, Duri dan Dumai.
Keempat lokasi perkantoran tersebut sangat ideal dan representatif dipilih menjadi kantor pusat PHR, ketimbang harus 'ngekost' di Jakarta.
Dengan pemusatan kegiatan perkantoran PHR di Riau, maka dipastikan akan berdampak pada denyut ekonomi daerah.
Hal yang paling pokok, pelaksanaan lelang-lelang proyek pun harusnya ditarik ke Riau, bukan di Jakarta seperti saat ini. Masak pekerjaan di Riau, harus dilelang dari Jakarta?
Pemindahan kantor PHR ke Riau adalah agenda yang sangat mendesak, jika tak ingin ekonomi Riau makin terpuruk. Kantor-kantor kontraktor atau mitra kerja PHR pun harus dibuka di Riau, jangan lagi harus berurusan ke Jakarta.
Langkah pemindahan kantor PHR ke Riau diyakini akan membuat para pelaku bisnis rajin datang ke daerah, tidak lagi harus nongkrong dan lobi-lobi di Jakarta. Pusat lobi bisnis migas Blok Rokan itu harusnya berlangsung di Riau, bukan lagi di Jakarta.
Presiden Jokowi di ujung masa jabatannya harus segera bersikap ke Pertamina. Memerintahkan agar PHR berkandang di Riau.
Jokowi mampu merebut Blok Rokan dari tangan asing. Pemindahan kantor PHR ke Riau adalah urusan receh bagi seorang Jokowi.
Lagipula, bukankah sejak 10 tahun lalu pemerintah kerap koar-koar soal pembangunan ala Indonesia Sentris?
Apakah harus menunggu minyak dari perut bumi Riau habis dulu? (*)