Pakar Tata Negara Unri Nilai Tak Ada Alasan yang Kuat Memperpanjang Jabatan Presiden
SabangMerauke News, Pekanbaru - Pakar hukum tata negara Universitas Riau, Zulwisman SH, MH menilai wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak memiliki dasar yang patut dan jelas. Ia menegaskan, pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan alibi pembenaran untuk terus mengusung wacana pembatalan pemilu 2024 dan jabatan presiden tiga periode.
"Wacana itu tidak memiliki dasar yang urgen. Selain tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945, juga tidak memiliki landasan yang konkret. Tidak ada urgensi dan faktor penyebab yang memperkuat wacana tersebut," kata Zulwisman dalam wawancara dengan SabangMerauke News, Selasa (15/3/2022) di kampus Fakultas Hukum Unri.
Zulwisman menerangkan sebagai ide, kampanye jabatan presiden diperpanjang atau tiga periode memang tidak dilarang. Misalnya dengan aksi pemasangan baliho di tepian jalan yang mempromosikan gagasan tersebut.
"Di alam demokrasi saat ini, soal menyampaikan ide dan wacana itu tidak dilarang. Tapi, seharusnya ide dan wacana itu disampaikan dengan mempertimbangkan eksesnya dan melihat dasar serta landasannya," kata Zulwisman yang merupakan Sekretaris Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Provinsi Riau.
Ia menerangkan, UUD 1945 secara jelas dan tegas mengatur batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, yakni 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Jika ditafsirkan, konstitusi membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah dua periode.
Menurutnya, konstitusi memang hanya menggambarkan pengisian jabatan presiden dan wakil presiden dalam keadaan normal negara.
"Konstitusi tidak memberi pemikiran atau Undang-undang tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana pengisian jabatan dalam keadaan tidak normal," ungkap pengajar matakuliah Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Riau ini.
Zulwisman menegaskan, saat ini kondisi negara masih dalam keadaan normal-normal saja. Meskipun berada di tengah situasi pandemi, namun pandemi tidak bisa dijadikan alasan untuk menjadi dasar penundaan pemilu atau menambah periodesasi jabatan presiden dan wakil presiden.
"Apalagi hal itu dilakukan tidak melalui perubahan konstitusi terlebih dahulu, maka itu merupakan tindakan-tindakan yang inkonstiusional atau tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945," jelasnya.
Secara pribadi, Zulwisman mengaku menolak gagasan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden.
"Keadaan saat ini normal. Buktinya kita mampu bisa melaksanakan pilkada serentak tahun 2020 lalu. Itu adalah salah satu pesta demokrasi yang pernah kita adakan di masa abnormal, lalu kenapa kita hari ini beride menunda pemilu atau menambah jabatan presiden karena keadaan Covid-19? Itu tidak relevan," tegasnya.
Menurutnya, saat ini kebijakan pemerintah justru akan mengubah masa pendemi ke endemi. Artinya negara-negara di dunia sudah siap menghadapi Covid-19.
"Jadi retorika-retorika yang disampaikan itu, tidak tepat jika Covid-19 menjadi alasan penundaan pemilu di Indonesia," kata Zulwisman seraya menilai kalau gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden adalah keinginan orang-orang tertentu, bukan representasi dari rakyat kebanyakan.
Ia meminta agar Presiden Jokowi segera mengambil sikap yang jelas soal bergulirnya wacana penundaan pemilu dan penambahan periode jabatan presiden.
"Saya kira sikap yang baik yang harus dilakukan presiden yakni dengan meredam dan menyatakan secara tegas menolak gagasan tersebut," pungkas Zulwisman. (cr1/cr2)