Dekan FISIP yang Dilaporkan Mencium Mahasiswi Belum Dinon-aktifkan, Apa Pertimbangan Rektor Universitas Riau?
SABANGMERAUKE, Riau - Penyidik Polda Riau telah menaikkan status penanganan kasus dugaan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau, Syafri Harto ke jenjang penyidikan. Meski Polda Riau belum mengumumkan status hukum tersangka kepada Syafri Harto, namun penyidik sudah melakukan pengumpulan barang bukti dan gelar rekonstruksi di ruangan kerja Dekan FISIP Universitas Riau tersebut.
Polda Riau juga sudah memeriksa belasan saksi termasuk pelapor yakni mahasiswi LB (20) yang mengaku telah dicium oleh Syafri saat bimbingan skripsi pada 27 Oktober lalu. Penyidik Polda Riau juga sudah memeriksa Syafri Harto, staf Dekanat dan pihak keluarga pelapor. Pada Rabu (10/11/2021) usai melakukan pra-rekonstruksi, penyidik juga langsung menyegel ruang kerja Syafri dengan police line.
Lantas, apa pertimbangan Rektor Universitas Riau, Prof Dr Aras Mulyadi belum menon-aktifkan Dekan FISIP, Syafri Harto sejak kasus ini mulai heboh pekan lalu?
Kepada media Rektor Universitas Riau, Prof Aras Mulyadi bersikukuh bahwa patokan kampus dalam penyelesaian kasus ini adalah berdasarkan Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Menurut Aras, meski Universitas Riau belum memiliki Satuan Tugas Pencegahan Kekerasan Seksual sebagaimana diperintahkan oleh Permendikbud tersebut, namun pihaknya telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
"TPF akan memedomani Permendikbud tersebut dalam menjalankan tugasnya," kata Aras Mulyadi, Rabu lalu.
Aras menyatakan kalau dirinya belum bisa memberhentikan sementara Syafri Harto dari jabatannya sebagai Dekan FISIP. Sesuai Permendagri, penanganan terhadap terlapor yang merupakan ASN harus mengikuti prosedur yang ada.
"Dalam Permendagri itu kan bahasanya 'dapat' artinya dapat kami penuhi, tentu bila sudah jelas prosedurnya," terang Aras tanpa merinci aturan Permendagri tersebut.
Sabang Merauke News menganalisis Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Dalam pasal 10 disebutkan perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual yang salah satu bentuknya adalah lewat pengenaan sanksi administratif.
Dalam pasal 13 aturan tersebut disebut bahwa penjatuhan sanksi administratif dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan kekerasan seksual. Sanksi administratif itu ditetapkan lewat keputusan pemimpin perguruan tinggi (rektor) berdasarkan rekomendasi satuan tugas penanganan kekerasan seksual kampus setempat.
Permendikbud Ristek tersebut membagi sanksi administratif dengan tiga kategori yakni sanksi administratif ringan, sanksi administratif sedang dan sanksi administratif berat.
Pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan hanya bisa dijatuhkan apabila jenis sanksi yang diberikan tergolong kategori sanksi administratif sedang. Sementara jenis sanksi administratif berat akan ditindaklanjuti dengan pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik.
Jika melihat dari Permendikbud tersebut, rasanya memang publik harus menunggu hasil kerja dari Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Rektorat Universitas Riau yang pola kerjanya dimodifikasi dari Satuan Tugas Pencegahan versi Permendikbud Ristek. Soalnya, hingga kini Universitas Riau belum membentuk Satgas tersebut sejak Permendikbud diterbitkan September lalu. Apakah proses di kepolisian akan mendahului hasil kerja TPF akan ditentukan dalam beberapa waktu ke depan. (*)