'Duel Hukum' Pamungkas Fikasa Grup: Jaksa Penuntut Gagal Paham atas Perjanjian Promissory Note!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Babak akhir persidangan kasus surat sanggup bayar (promissory note) Fikasa Grup telah tiba. Tim kuasa hukum 4 bos Fikasa Grup, Bhakti Salim dkk pun menyampaikan duplik atas tanggapan jaksa (replik) terhadap surat pembelaan (pledoi) para terdakwa, Selasa (15/3/2022) malam di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
"Harapan besar dan keadilan bagi para terdakwa dapat digantungkan kepada keberanian dan integritas majelis hakim untuk memutus perkara dengan menyatakan bahwa para terdakwa tidak bersalah," kata tim kuasa hukum Fikasa Grup, Syafardi SH, MH dkk dalam pembacaan surat dupliknya.
Dalam paparan dupliknya, tim hukum Fikasa Grup menegaskan kalau perkara yang menyeret kliennya hanyalah menyangkut perjanjian utang piutang yang telah disepakati dalam perjanjian pokok berupa promissory note (PN). Yang maka perkara ini murni merupakan wilayah hukum keperdataan, namun dipaksakan menjadi perkara pidana.
"Dalam rentang tahun 2016 hingga 2020, para pelapor (Archenius Napitupulu dkk) telah menerima keuntungan secara terus menerus sehingga timbul keyakinan untuk melakukan perjanjian baru dan perpanjangan perjanjian," jelas Syafardi.
Ia menyebut kalau Archenius telah melakukan perekrutan kreditur yang akhirnya ikut menjadi saksi pelapor perkara tersebut. Yakni Darto Jonson Siagian, Elida Sumarni, Oki Yunus Gea, Agus Yanto Pardede, Pandapotan Lumbantoruan dan Timbul S Pardede.
"Saksi Archenius dengan sengaja telah memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari pengelolaan usaha yang dilakukan para terdakwa. Yakni dengan memberi instruksi bunga PN disetor ke rekening miliknya di CIMB Niaga. Sehingga mendapatkan keuntungan fantastis dengan cara memotong penghasilan bunga atas perjanjian PN yang dilakukan oleh Agus Yanto, Darto Jhonson dan Meli Novrianti," jelas Syafardi.
Syafardi juga mengulas beberapa poin replik yang disampaikan jaksa penuntut pada persidangan, Senin (14/3/2022) kemarin. Menurutnya, replik jaksa tidak mampu menguraikan dua hal pokok. Yakni tidak adanya penjelasan yang nyata atas tuduhan kalau para terdakwa melakukan tindak pidana pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan. Selain itu, Syafardi juga mempertanyakan soal dijadikannya surat PN sebagai alat bukti perkara, padahal surat PN tersebut adalah perjanjian pinjaman dana dalam bentuk PN.
Yang anehnya, replik jaksa dinilai Syafardi telah gagal paham dengan perkara perdata ini, malah mempersamakan surat hutang dengan perjanjian investasi.
"Jaksa telah masuk dalam jebakan informasi yang sebenarnya tidak dimengertinya," jelas Syafardi.
Menurutnya, penerbitan surat PN bukanlah jenis investasi, melainkan perjanjian utang piutang dalam bentuk promissory note oleh Fikasa Grup.
Ia menegaskan, kalau saksi pelapor Archenius Napitupulu telah membaca dan menerima isi perjanjiann sebelum menandatangani perjanjian utang piutang dalam PN tersebut. Sehingga dipastikan, perusahaan Fikasa Grup tidak fiktif dan seluruh isi perjanjian telah disepakati dan bahkan saksi pelapor telah menerima manfaat secara berlanjut.
Syafardi menilai bahwa penerbitan PN, tidak melanggar pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan sehingga tidak memerlukan izin OJK/ BI, yang mana telah dibuktikan dalam keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bulan lalu, yang menyatakan perkara perdata terhadap penerbitan promissory note oleh PT Indosterling Grup.
Syafardi juga menolak adanya penggabungan perkara pidana dengan perdata dalam perkara yang dihadapi kliennya.
"Karena perkara ini didasari oleh adanya perjanjian yang sah menurut undang-undang, semestinya ganti kerugian akibat wanprestasi, dibuktikan lebih dahulu lewat gugatan perdata, bukan lewat perkara pidana," jelasnya.
Syafardi juga menilai jaksa terlalu memaksakan pendapat ahli dapat dikaitkan dengan perkara ini. Pendapat para ahli yang dihadirkan oleh jaksa seolah dipaksakan dengan menyebut kalau PN seakan-akan dapat dipersamakan dengan deposito, tanpa menunjukkan dan menerangkan bagaimana sebenarnya deposito yang jaksa maksud.
"Apalagi, keterangan dua ahli yakni Prof Agus Surono dan Prof Jonker Sihombing tidak konsisten dengan menyebut perkara Fikasa Grup adalah pidana. Padahal dalam putusan perkara mengenai perjanjian promissory notes Indosterling Grup di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, justru menyebut kalau PN bukan perbuatan pidana dan tidak memerlukan izin OJK/ BI. Dengan inkonsistensi pendapat ahli itu, maka pendapatnya tidak layak dipertimbangkan majelis hakim," tegas Syafardi.
"Membebaskan para terdakwa dari dakwaan atau setidak-tidaknya melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum (Onstlaag van alle Rechtvervolging)," tutup Syafardi dalam dupliknya. (*)