Ketika Dua Bupati dan Walikota Kecewa ke Gubernur Syamsuar, Kemana Pergi Uang APBD Riau?
SabangMerauke News - Suara kritis Walikota Dumai, Paisal yang mengeluhkan kecilnya alokasi anggaran bersumber dari APBD Riau menjadi isu sensitif. Sang Walikota dalam sebuah acara di media mengungkap kalau Dumai sebagai pintu gerbang Indonesia hanya mendapat kucuran bantuan Rp 10 miliar.
Jumlah tersebut dinilai Walikota Paisal amat minim. Tidak sebanding dengan kebutuhan Kota Dumai yang harus dipermak. Infrastruktur jalan dan drainase ketinggalan. Kota pelabuhan ekspor ini sulit berdandan dengan dana yang minim dari Pemprov Riau.
Lebih awal, keluhan yang sama telah diungkap lebih gamblang oleh Bupati Kepulauan Meranti, M Adil. Bupati kabupaten termuda di teras Indonesia tersebut mengkritik Gubernur Riau, Syamsuar tidak peduli dengan kondisi Kepulauan Meranti sebagai kabupaten termiskin di Riau.
Adil mengamuk. Ia mengungkapkan kekecewaannya dengan mendeklarasikan diri menjadi calon Gubernur Riau di pilkada 2024. Deklarasi 'prematur' itu seolah menjadi sinyal penantang atas kepemimpinan Gubernur Syamsuar yang dinilainya tak sensitif dengan kebutuhan Kepulauan Meranti.
"Saya yakin dapat membawa Riau lebih maju dan cerdas," kata Adil saat melantik dua tim sukses pemenangannya di Pekanbaru, Januari lalu.
Sebagai contoh, tahun 2022 ini, Kepulauan Meranti hanya mendapat dana bantuan keuangan (bankeu) dari Pemprov Riau sebesar Rp 3,8 miliar. Bankeu itu diperuntukkan untuk gaji guru bantu, rumah layak huni dan bantuan untuk kecamatan.
Kota Dumai sedikit lebih beruntung. Jatah bankeu dari Pemprov Riau diterima tahun ini sebesar Rp 10,4 miliar.
Alokasi bankeu Pemprov Riau untuk Kota Dumai dan Kepulauan Meranti adalah bilangan terkecil jika dibanding dengan kabupaten wilayah pesisir Riau lainnya. Misalnya, Bengkalis yang mendapat jatah Rp 13,4 miliar, Siak sebesar Rp 10,7 miliar dan Rokan Hilir sebesar Rp 16 miliar lebih.
Ikhwal alokasi dana Rp 10 miliar untuk Kota Dumai, pernah diklarifikasi oleh Kepala Bappedalitbang Provinsi Riau, Emri Juliharnis. Kata Emri, Kota Dumai mendapat alokasi anggaran Rp 207 miliar tahun ini.
Tapi, pernyataan Emri itu langsung dikoreksi oleh Walikota Paisal. Ia menegaskan anggaran Rp 207 miliar yang diklaim Emri itu berasal dari APBN, bukan dari kantong APBD Riau. Uang itu memang merupakan hak Kota Dumai dari alokasi APBN. Bahkan, kata Paisal jumlah tersebut lebih sedikit jika dilihat item angka untuk bidang pendidikan, sosial, pariwisata, pertanian dan lainnya, dibanding dengan kabupaten/ kota lain.
"Saya pahamlah masalah anggaran. Dana Rp 207 miliar itu bersumber APBN yang memang untuk Dumai. Kami pertanyakan itu adalah janji gubernur untuk membantu penanganan banjir dan drainase, padahal proposal sudah masuk dan dipresentasikan," kata Paisal kecewa.
Lantas, mengapa terjadi ketimpangan alokasi APBD Riau untuk kedua kabupaten dan kota tersebut? Kemana uang APBD Riau pergi dan dipakai? Apakah kabupaten/ kota lainnya merasakan hal yang sama namun enggan protes?
Bila ditilik dari representasi politik, Kota Dumai dan Kepulauan Meranti memang berada dalam satu daerah pemilihan (dapil), bersamaan dengan Kabupaten Bengkalis di DPRD Provinsi Riau. Tiga daerah otonom ini masuk dalam peta dapil 5. Dari sebanyak 65 anggota DPRD Riau, 11 orang atau sekitar 17 persen komposisinya berasal dari dapil tersebut.
Apakah benar kalau 11 orang anggota DPRD Riau dari dapil tersebut tak cukup kuat untuk mengerek APBD Riau ke dapilnya? Pertanyaan ini sulit dijawab. Namun, memang keluhan Paisal dan Adil bisa saja dihubungkan dengan indikator kinerja para wakil rakyat tersebut.
Salah satu fungsi dan kewenangan DPRD memang memiliki hak budgeting (anggaran). Sudah jadi rahasia umum, dalam pembahasan APBD, suara anggota Dewan cukup didengar. Jika mereka tidak setujui, mata anggaran bisa dicoret. Dulu, mata anggaran yang dinilai tidak sreg oleh para wakil rakyat, dibubuhi tanda bintang.
Tapi, menghakimi kinerja anggota Dewan saja sepertinya tidak cukup adil. Kewenangan terbesar penyusunan anggaran tetap berada di tangan eksekutif daerah, yakni Gubernur Riau melalui tim anggaran pemerintah daerah (TAPD).
Jika berkaca dari total APBD Riau tahun 2021 lalu, jumlah APBD Riau sebesar Rp 9,7 triliun. Angka itu melorot menjadi sebesar Rp 8,3 triliun dalam pengesahan APBD Riau 2022 tahun ini. Kemana saja uang sebesar itu pergi?
Perlu kita ketahui, bahwa sebagian besar kewenangan pemerintahan daerah kini sudah otonom, berada di pemerintahan kabupaten/ kota. Pembiayaan soal gaji pegawai yang selama ini menyerap anggaran terbesar juga dibiayai dari APBD kabupaten/ kota. Menteri Keuangan, Sri Mulyani baru-baru ini kembali mengingatkan hal tersebut.
Dari segi wilayah administrasi, pemerintah kabupaten/ kota juga memiliki kewenangan yang besar untuk mengaturnya, termasuk soal pembiayaannya. Jadi, wajar jika dengan APBD yang relatif kecil yang sudah terserap oleh belanja pegawai, sehingga alokasi anggaran infrastruktur mendapat porsi kecil.
Dengan kondisi tersebut, praktis secara de facto, pemerintah provinsi tidak lagi memiliki wilayah teritori yang jelas. Ia sekadar menjadi wakil pemerintah pusat di daerah yang menjalankan fungsi harmonisasi, pembinaan dan akselerasi pembangunan.
Itu sebabnya, dengan APBD Riau yang cukup besar Rp 8,3 triliun tersebut, sangat wajar jika diarahkan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di kabupaten/ kota. Jika saja anggaran tersebut tidak dominan terserap untuk belanja pegawai, kegiatan seremonial, perjalanan dinas dan pencitraan lainnya, maka sebenarnya cukup efektif untuk membangun akselerasi di kabupaten/ kota.
Jargon 'Membangun Riau Lebih Baik' sebenarnya relevan jika dikaitkan dengan suara kritis dari Walikota Paisal dan Bupati Adil. Atau, bisa jadi para kepala daerah lainnya segan dan takut untuk ikut menyampaikannya secara terbuka. Ada faktor politis kepartaian dan juga menjaga gengsi.
'Riau Lebih Baik' hanya diukur dari sejauh mana efektivitas APBD Provinsi dapat ditransmisikan ke daerah-daerah. Beban keuangan kabupaten/ kota cukup besar yang terkadang lebih besar pasak daripada tiang. Dalam hal inilah, kebijakan alokasi dan pengelolaan keuangan APBD Riau harus diselaraskan dan berorientasi pada kabupaten/ kota.
Membangun Riau berarti membangun kabupaten dan kotanya. Tentu saja, sinkronisasi pembangunan antara kabupaten/ kota dengan pemprov harus ditata dengan baik. Jangan sampai, visi pembangunan pemerintah provinsi tidak nyambung dengan kabupaten/ kota, atau sebaliknya.
Tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) Provinsi Riau yang dikomandani sekretaris daerah dan Kepala Bappedalitbang sebagai 'otaknya', pasti paham soal ini. Bahwa keuangan daerah (APBD) harus dipakai untuk melayani rakyat yang tersebar di kabupaten dan kota. Karena memang sejatinya, pemerintah provinsi tidak lagi memiliki wilayah otoritas dan kependudukan yang jelas.
Suara kritis Walikota Paisal dan Bupati Adil perlu dijawab dengan konkret, tidak sebaliknya dibalas dengan sentimen. Pemprov Riau harus segera mengoreksi arah kebijakan alokasi anggarannya.
Jangan sampai 'Membangun Riau Lebih Baik' hanya sekadar retorika dan janji belaka. (*)