Perkara Fikasa Grup Murni Perdata, Bukan Pidana! Mantan Kepala PPATK Yunus Husein Bantah Pendapat Jonker Sihombing
SabangMerauke News, Pekanbaru - Pakar hukum pidana perbankan, Dr Yunus Husein SH, LLM menegaskan kasus surat sanggup bayar utang (promissory notes) Fikasa Grup murni berada dalam ranah perdata. Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini menegaskan, tidak ada alasan dan dasar yang kuat untuk mempidanakan empat bos Fikasa Grup yang perkaranya sedang diadili di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
"Perkara itu jika dianalisis dengan jujur dan kredibel adalah murni berada dalam ranah keperdataan. Yakni soal utang. Jadi, sama sekali bukan perkara pidana, baik pidana perbankan maupun pidana umum (penipuan dan penggelapan) seperti yang didakwakan dan dituntut oleh jaksa," kata Yunus Husein kepada media, Senin (14/3/2022).
Pendapat hukum tersebut disampaikan merespon pernyataan Prof Jonker Sihombing yang menyebut perkara Fikasa Grup murni pidana. Bahkan, Jonker menyebut kalau penerbitan promissory notes harus mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jonker adalah ahli tambahan di luar berkas yang dihadirkan jaksa untuk memperkuat dakwaannya.
Yunus Husein mengemukakan, 3 dakwaan yang dituduhkan kepada para terdakwa Salim Bersaudara tidak tepat dan tidak terpenuhi unsur-unsurnya. Hal tersebut berdasarkan analisa hukum dan juga menjadikan banyak kasus-kasus sejenis sebagai rujukan pendapat hukumnya.
Menurut Yunus Husein, surat sanggup bayar atau promissory note (PN) bukanlah merupakan aktivitas penyimpanan dana dan bukan pula simpanan sebagaimana dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang Perbankan. Sehingga perjanjian PN sebagai surat berharga tidak dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian penyimpanan dana. PN berbentuk surat sanggup yang diatur dalam pasal 174 KUHDagang.
"Hubungan hukum antara penerbit dan penerima PN (surat sanggup) berbeda dengan hubungan hukum perjanjian penyimpanan dana di pasal 1 angka 5 Undang-undang Perbankan. Kalau perjanjian penyimpanan dana seperti di bank ada jaminan ketersediaan dan keamanan simpanan. Sementara, ekspektasi di PN selain bunga adalah juga risiko pemegang PN gagal bayar," jelas Yunus.
Menurut Yunus, surat PN yang diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) yang terafiliasi dalam Fikasa Grup bukanlah simpanan dana seperti di bank.
"Jadi penerbitan surat PN oleh PT WBN dan PT TGP tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Sehingga unsur 'dalam bentuk simpanan' sebagaimana dalam pasal 46 ayat 1 tidak terpenuhi," terang Yunus.
Yunus mengutip surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 7 tahun 2012 yang menurutnya dalam poin 4 disebutkan 'jika suatu perkara pidana yang di dalamnya mengandung ikatan perjanjian, penyelesaiannya harus masuk ke ranah perdata'.
Menurut Yunus, ia tidak menemukan adanya itikad buruk dari PT WBN dan PT TGP dalam penerbitan promissory note (PN) dan pelaksanaan perjanjian yang timbul dalam penerbitan PN tersebut. Soalnya, PN tersebut diterbitkan secara transparan yang mengatur secara jelas tentang hak dan kewajiban para pihak serta mekanisme teknis isi perjanjian tersebut. Kedua perusahaan juga telah menjalankan kewajibannya membayar bunga keuntungan.
Selain itu jelas Yunus, PT WBN dan PT TGP juga telah tunduk pada proses hukum menyelesaikan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yakni lewat putusan PKPU. Saat ini proses homologasi (perdamaian) sedang berjalan antara ribuan kreditur dengan Fikasa Grup.
"PT WBN dan PT TGP tidak berupaya untuk menghindar dari kewajibannya kepada para kreditur. Jadi, tidak ada itikad buruk dari perusahaan dalam penerbitan PN, termasuk juga dalam pelaksanaan PN dan penyelesaian permasalahan," jelas Yunus.
Yunus juga dalam analisis hukumnya menyebut tidak ada unsur melawan hukum dan kesengajaan dalam penerbitan PN maupun dalam pelaksanaan perjanjian yang timbul dari penerbitan PN tersebut.
"Dalam kasus ini, perbuatan yang dipermasalahkan adalah penerbitan PN dan keterlambatan pembayaran perusahaan kepada kreditur. Kedua perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum karena tidak melanggar ketentuan UU Perbankan” jelas Yunus lagi.
Dalam kesimpulannya, Yunus menegaskan kalau PN yang diterbitkan Fikasa Grup tidak termasuk kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Selain itu, penerbitan PN oleh PT WBN dan PT TGP tidak memerlukan izin OJK atau Bank Indonesia, karena apabila ada telah ditemukan pelanggaran atas PN tersebut, maka OJK atau Bank Indonesia sudah memperingatkan PT. WBN dan PT. TGP, tapi apa? Hingga saat ini mereka (Fikasa Grop) belum pernah dapat peringatan atau teguran.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa kasus surat utang (promissory note) Fikasa Grup mengkritik pendapat hukum Jonker Sihombing yang disampaikan saat memberi keterangan di PN Pekanbaru dan yang diekspos media, Sabtu kemarin.
"Kami telah melakukan langkah pengumpulan dan telaah atas fakta-fakta persidangan yang terungkap dan diungkapkan sepanjang sidang perkara ini. Termasuk analisa informasi yang kami peroleh dari luar persidangan perkara ini. Dari situ, kami mendapati adanya inkonsistensi pendapat hukum saudara ahli Dr Jonker Sihombing yang pernah disampaikan dalam persidangan klien kami," kata Ade Palti Simamora SH, kuasa hukum terdakwa Fikasa Grup, Senin sore.
Dalam persidangan kliennya pada Senin, 24 Januari 2022 lalu, ahli Prof Jonker Sihombing menyatakan kalau dokumen surat utang (promissory note) yang diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo (kedua perusahaan terafiliasi Fikasa Grup), perlu mendapatkan izin dari BI/ OJK sesuai dengan pasal 46 UU Perbankan, kemudian membeberkan bahwa pendapat Jonker Sihombing ternyata berbeda dengan yang pernah disampaikan oleh Jonker Sihombing saat menjadi ahli dalam kasus high yield promissory notes (HYPN) PT Indosterling Optima Investa (IOI) yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 9 Januari 2021 lalu.
Berdasarkan salinan putusan perkara tersebut, Dr Jonker menyebut bahwa promissory note tidak perlu ijin OJK adalah hal yang benar, karena OJK tidak mengurusi tentang promissory note tersebut. Anehnya kata Palti, untuk dokumen surat utang (promissory note) yang identik, Jonker Sihombing bisa memberikan pendapat yang berbeda, sehingga integritasnya selaku ahli harus dipertanyakan.
Promissory note diterbitkan sebagai bukti kesanggupan dari Fikasa Group untuk mengembalikan hutang yang telah diberikan oleh para pelapor. Promissory note tersebut merupakan bukti adanya hubungan antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hingga dengan bulan Maret 2020, pemberi pinjaman Fikasa Group masih menerima bunga atas pinjaman dananya.
Menurut Palti, kemacetan pembayaran bunga kepada para pemberi pinjaman dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang terpuruk akibat Pandemic Covid-19 sejak bulan Maret 2020. Ia menegaskan kegagalan pembayaran bunga dan pokok bukanlah kesengajaan dari Fikasa Group. Soalnya, jenis usaha yang dimiliki oleh Fikasa Group bergerak di bidang perhotelan dan consumer goods, sebagai perusahaan yang sangat merasakan dampak terbesar akibat pandemi Covid-19.
Ade Palti Simamora, S.H. menjelaskan, pendapat hukum Jonker yang tidak konsisten dalam menilai dua perkara tersebut, diharapkan keterangannya dikesampingkan sebagai pertimbangan bagi majelis hakim yang diketuai oleh Dr Dahlan SH, MH.
Ade Palti Simamora, S.H. menegaskan dalam persidangan Fikasa Grup, pihaknya telah menyatakan keberatan atas kehadiran saksi Jonker. Alasannya, Dr Jonker bukan merupakan ahli yang ada dalam berkas perkara penyidikan di Bareskrim Polri, namun sebagai ahli tambahan yang disiapkan oleh jaksa penuntut umum.
Sebagai referensi, dalam kasus HYPN PT Indosterling Optima Investa (IOI), majelis hakim PN Jakarta Pusat pada 3 Februari 2022 lalu membebaskan Direktur PT IOI, Sean William Henley dari segala tuntutan hukum (onslag van alle recht vervolging). Majelis hakim dalam amar putusannya menyatakan Sean William terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun bukan merupakan tindak pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menegaskan kalau perkara tersebut berada dalam lingkup hukum perdata yakni tindakan ingkar janji (wan prestasi). (*)