Berbahaya! Pengrusakan Hutan Percepat Polusi Merkuri yang Membunuh Kehidupan
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Ilmuwan menghitung penyebab emisi merkuri yang berhubungan dengan manusia yang sebelumnya terabaikan. Berdasarkan studi baru Massachusetts Institute of Technology (MIT), sekitar 10% emisi merkuri yang dihasilkan manusia ke atmosfer setiap tahunnya disebabkan oleh penggundulan hutan global.
Studi MIT mengungkap, vegetasi di dunia, mulai dari hutan hujan Amazon hingga sabana di Afrika sub-Sahara, bertindak sebagai penyerap yang menghilangkan polutan beracun dari udara. Namun, jika laju deforestasi saat ini tidak berubah atau semakin cepat, para peneliti memperkirakan emisi bersih merkuri akan terus meningkat.
"Kami selama ini mengabaikan sumber merkuri yang signifikan, terutama di wilayah tropis," kata Ari Feinberg, mantan postdoc di Institute for Data, Systems, and Society (IDSS) dan penulis utama studi tersebut, dikutip dari MIT.edu.
Model yang dibuat oleh para peneliti menunjukkan bahwa hutan hujan Amazon memainkan peran yang sangat penting sebagai penyerap merkuri, yang menyumbang sekitar 30% dari penurunan daratan global. Dengan demikian, membatasi deforestasi Amazon dapat berdampak besar pada pengurangan polusi merkuri.
Tim tersebut juga memperkirakan bahwa upaya reboisasi global dapat meningkatkan serapan merkuri tahunan sekitar 5%. Meskipun hal ini penting, para peneliti menekankan bahwa reboisasi saja tidak bisa menggantikan upaya pengendalian polusi di seluruh dunia.
"Negara-negara telah melakukan banyak upaya untuk mengurangi emisi merkuri, terutama negara-negara industri di wilayah utara, dan untuk alasan yang sangat bagus. Namun 10% dari sumber antropogenik global sangatlah besar, dan terdapat potensi peningkatan yang lebih besar di masa depan. Mengatasi emisi terkait deforestasi] perlu menjadi bagian dari solusi," kata penulis senior Noelle Selin, seorang profesor di IDSS dan Departemen Ilmu Bumi, Atmosfer, dan Planet MIT.
Merkuri Belum Mendapat Perhatian
Selama beberapa dekade terakhir, para ilmuwan umumnya fokus mempelajari deforestasi sebagai sumber emisi karbon dioksida global. Merkuri, yang merupakan salah satu elemen jejak emisi, belum mendapat perhatian yang sama.
Daun tumbuhan menyerap merkuri dari atmosfer, sama seperti mereka menyerap karbon dioksida. Namun tidak seperti karbon dioksida, merkuri tidak memainkan fungsi biologis yang penting bagi tanaman. Merkuri sebagian besar tetap berada di dalam daun sampai jatuh ke tanah, tempat merkuri diserap.
Merkuri menjadi perhatian serius bagi manusia jika berakhir di perairan, yang dapat dimetilasi oleh mikroorganisme. Methylmercury, neurotoksin yang kuat, dapat diserap oleh ikan dan terakumulasi secara hayati melalui rantai makanan. Hal ini dapat menyebabkan tingkat metilmerkuri yang berisiko pada ikan yang dimakan manusia.
"Di dalam tanah, merkuri terikat jauh lebih erat dibandingkan jika disimpan di lautan. Hutan melakukan semacam jasa ekosistem, yaitu menyerap merkuri dalam jangka waktu yang lebih lama," kata Feinberg, yang kini menjadi postdoc di Blas Cabrera Institute of Physical Chemistry di Spanyol.
Dengan cara ini, hutan mengurangi jumlah metilmerkuri beracun di lautan. Banyak penelitian mengenai merkuri berfokus pada sumber-sumber industri, seperti pembakaran bahan bakar fosil, penambangan emas skala kecil, dan peleburan logam.
Sebuah perjanjian global, Konvensi Minamata 2013, menyerukan negara-negara untuk mengurangi emisi yang dihasilkan manusia. Namun, laporan ini tidak secara langsung mempertimbangkan dampak deforestasi.
Para peneliti meluncurkan penelitian mereka untuk mengisi bagian yang hilang tersebut.
Pada penelitian sebelumnya, mereka telah membuat model untuk menyelidiki peran vegetasi dalam serapan merkuri. Dengan menggunakan serangkaian skenario perubahan penggunaan lahan, mereka menyesuaikan model untuk mengukur peran deforestasi.
Mengevaluasi Emisi
Model transportasi kimia ini melacak merkuri dari sumber emisinya ke tempat merkuri diubah secara kimia di atmosfer dan akhirnya ke tempat di mana merkuri disimpan, terutama melalui curah hujan atau serapan ke dalam ekosistem hutan.
Mereka membagi Bumi menjadi delapan wilayah dan melakukan simulasi untuk menghitung faktor emisi deforestasi di masing-masing wilayah, dengan mempertimbangkan elemen seperti jenis dan kepadatan vegetasi, kandungan merkuri dalam tanah, dan riwayat penggunaan lahan.
Namun, data yang baik untuk beberapa daerah sulit diperoleh. Pengukurannya tidak dilakukan di Afrika tropis atau Asia Tenggara, dua wilayah yang mengalami deforestasi besar-besaran.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, mereka menggunakan model offline yang lebih sederhana untuk mensimulasikan ratusan skenario, yang membantu mereka meningkatkan estimasi potensi ketidakpastian. Mereka juga mengembangkan formulasi baru untuk emisi merkuri dari tanah.
Formulasi ini menangkap fakta bahwa penggundulan hutan mengurangi luas daun, sehingga meningkatkan jumlah sinar Matahari yang mengenai tanah dan mempercepat keluarnya gas merkuri dari tanah.
Model ini membagi dunia menjadi kotak-kotak, yang masing-masing berukuran beberapa ratus kilometer persegi. Dengan mengubah parameter permukaan tanah dan vegetasi pada kotak-kotak tertentu untuk mewakili skenario deforestasi dan reboisasi, para peneliti dapat menangkap dampak pada siklus merkuri.
Secara keseluruhan, mereka menemukan bahwa sekitar 200 ton merkuri dilepaskan ke atmosfer akibat penggundulan hutan, atau sekitar 10% dari total emisi yang dihasilkan manusia. Namun di negara tropis dan subtropis, emisi deforestasi mempunyai persentase lebih tinggi dari total emisi. Misalnya, di Brasil, emisi dari deforestasi mencapai 40% dari total emisi yang dihasilkan oleh manusia.
Selain itu, masyarakat sering kali menyalakan api untuk mempersiapkan kawasan hutan tropis untuk kegiatan pertanian, yang menyebabkan lebih banyak emisi karena pelepasan merkuri yang disimpan oleh tumbuh-tumbuhan.
"Jika deforestasi adalah sebuah negara, maka negara tersebut akan menjadi negara penghasil emisi tertinggi kedua, setelah China, yang mengeluarkan sekitar 500 ton merkuri per tahun," tambah Feinberg.
Dan karena Konvensi Minamata kini menangani emisi primer merkuri, para ilmuwan memperkirakan deforestasi akan menjadi bagian terbesar dari emisi yang disebabkan oleh aktivitas manusia di masa depan.
"Kebijakan untuk melindungi hutan atau menebangnya mempunyai dampak yang tidak diinginkan melebihi targetnya. Penting untuk mempertimbangkan fakta bahwa ini adalah sistem, dan melibatkan aktivitas manusia, dan kita perlu memahaminya dengan lebih baik agar benar-benar memecahkan masalah yang kita tahu ada di luar sana," kata Selin.
Dengan memberikan perkiraan pertama ini, tim berharap dapat menginspirasi lebih banyak penelitian di bidang ini. Di masa depan, mereka ingin memasukkan model sistem Bumi yang lebih dinamis ke dalam analisis mereka, yang akan memungkinkan mereka melacak serapan merkuri secara interaktif dan memodelkan skala waktu pertumbuhan kembali vegetasi dengan lebih baik.
"Makalah ini mewakili kemajuan penting dalam pemahaman kita tentang siklus merkuri global dengan mengukur jalur yang telah lama disarankan namun belum dapat diukur. Sebagian besar penelitian kami hingga saat ini berfokus pada emisi antropogenik primer, emisi yang dihasilkan langsung dari aktivitas manusia melalui pembakaran batu bara atau pembakaran amalgam merkuri-emas di pertambangan emas skala kecil," kata Jackie Gerson, asisten profesor di Departemen Kebumian dan Ilmu Lingkungan di Michigan State University, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
"Penelitian ini menunjukkan bahwa deforestasi juga dapat mengakibatkan emisi merkuri dalam jumlah besar dan perlu dipertimbangkan baik dari segi model merkuri global maupun kebijakan pengelolaan lahan. Oleh karena itu, hal ini mempunyai potensi untuk memajukan bidang sains serta mendorong kebijakan yang mengurangi emisi merkuri melalui deforestasi," tutupnya. (R-05)