4 Masalah Pelik di Blok Minyak Rokan yang Dikelola PT PHR Jelang Kedatangan Presiden Jokowi ke Riau
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Presiden Joko Widodo dijadwalkan akan kembali berkunjung ke Provinsi Riau pada Jumat (31/5/2024) besok. Lawatan orang nomor satu di republik ini, berlangsung selama dua hari hingga Sabtu (1/6/2024) lusa.
Selama berada di Riau, Jokowi direncanakan akan melakukan sejumlah agenda, termasuk meresmikan sejumlah proyek strategis, di antaranya ruas tol Bangkinang-XIII Koto Kampar.
Jokowi juga akan berkunjung ke Blok Minyak Rokan yang sejak 9 Agustus 2021 lalu resmi dikelola oleh cucu Pertamina yakni PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Pada Sabtu lusa, Jokowi bertindak sebagai Inspektur Upacara dalam peringatan Hari Lahir (Harlah) Pancasila 1 Juni di Lapangan Garuda, Blok Rokan, Kota Dumai.
Pemilihan Lapangan Garuda, Blok Rokan sebagai lokasi upacara nasional Harlah Pancasila 1 Juni, dinarasikan sebagai simbol ketahanan energi Indonesia. Meski faktanya, Indonesia saat ini berada pada ranking ke 25 sebagai negara penghasil minyak terbesar di dunia. Bahkan Indonesia saat ini masuk daftar sebagai negara importir minyak.
Produksi minyak Blok Rokan juga tak baik-baik amat, cenderung stagnan di bawah 164 ribu barel per hari (bph). Padahal, dua tahun lalu, Jokowi mematok target produksi minyak di blok ini bisa menyentuh angka 400 ribu bph.
Operator Blok Rokan, PT PHR berdalih kalau perusahaan menerima warisan banyaknya sumur-sumur tua (mature) yang ditinggalkan Chevron. Manajemen PHR bangga masih mampu mempertahankan produksi minyak lewat sejumlah kegiatan pengeboran dan optimalisasi sumur-sumur lama.
Kunjungan Jokowi ke Blok Rokan kali ini, seolah untuk mengenang "romantika" atas keputusan politik-ekonomi yang diambilnya pada 2018 silam. Saat itu, bertepatan dengan akhir masa jabatan periode pertamanya, jelang Pilpres 2019, Jokowi memutuskan mengambil alih pengelolaan Blok Rokan dari tangan raksasa migas Amerika Serikat PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Sebelum dikelola PT CPI, Blok Rokan selama berpuluh-puluh tahun digarap oleh PT Caltex.
Kunjungan Jokowi ke Blok Rokan pekan ini merupakan kali kedua yang dilakukannya, setelah pada awal Januari 2023 lalu, Jokowi bersama sejumlah menteri juga beranjangsana ke blok minyak terbesar di Tanah Air ini.
Kini, setelah hampir 3 tahun dikelola oleh PT PHR, bagaimana kondisi dan dampak pengelolaan Blok Migas Rokan?
Berikut ini 4 masalah pelik yang masih terus berlangsung di Blok Rokan pasca-pengelolaan oleh PT PHR:
1. Ekspansi Massif Anak Cucu BUMN
Setelah Blok Rokan digarap oleh PT PHR, ekspansi massif anak cucu perusahaan BUMN marak terjadi. Padahal, saat blok minyak ini dikelola oleh PT CPI, perusahaan plat merah milik negara cenderung jadi penonton.
Dengan dalih 'Sinergi BUMN' yang menjadi jargon Menteri BUMN Erick Thohir, proyek-proyek di lingkungan Blok Rokan diambil alih oleh sejumlah anak dan cucu perusahaan BUMN, khususnya yang terafiliasi dengan Pertamina.
Kondisi ini, praktis menyebabkan lesuhnya bisnis dan mati surinya pelaku usaha lokal-nasional yang selama ini bermain di Blok Rokan. Ironisnya, akibat 'aneksasi' proyek di Blok Rokan, rentang bisnis (supply chain) proyek menjadi panjang. Peran BUMN dan anak cucu perusahaannya cenderung bertindak sebagai 'bos' pemilik proyek, sementara pengerjaannya dilakukan oleh perusahaan lain.
Masalah ini pernah diributkan di DPR RI. Anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi Migas menyebut anak cucu BUMN di Blok Rokan tak punya modal. Pekerjaan proyek justru diserahkan ke perusahaan-perusahaan mitra lain. Akibat rentang proyek yang cukup panjang, membuat nilai pekerjaan menjadi seret dan tak cuan lagi.
Masuknya anak cucu perusahaan BUMN secara massif ke Blok Rokan menyebabkan pelaku usaha migas lokal mati suri. Jangankan untuk naik kelas, bertahan saja sudah sangat sulit.
"Kalau sekarang kondisinya justru makin ugal-ugalan. Dominasi anak cucu BUMN makin massif," kata pengamat Migas, Aris Aruna.
2. Pemulihan Lingkungan Tercemar Minyak Stagnan
Blok minyak Rokan menyisakan masalah banyaknya tanah terkontaminasi minyak (TTM) di sejumlah wilayah. Baik TTM warisan dari Chevron maupun yang dihasilkan oleh PHR sendiri sejak 3 tahun silam.
Diperkirakan ada lebih dari 250 titik atau area yang terdampak TTM. Sumber lain menyebut ada ribuan lokasi TTM, tersebar di sejumlah wilayah operasi Blok Rokan.
Pencemaran limbah minyak bumi ini merupakan masalah pelik yang penanganannnya cenderung berjalan stagnan. Hingga saat ini, upaya pemulihan TTM belum terlihat signifikan, termasuk pada lahan-lahan yang dikelola masyarakat.
Penunjukan Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati sebagai Komisaris Utama (Komut) PT PHR dinilai tak memberikan efek signifikan pada percepatan pemulihan TTM di Blok Rokan.
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Chalid Said Salim menyebut anggaran pemulihan TTM mencapai US$ 600 juta atau setara Rp 9,5 triliun. Dana itu berasal dari pemerintah dan operator lama Blok Rokan, yakni PT CPI.
Ia menyebut pemulihan TTM membutuhkan waktu lama hingga mencapai 5 tahun. Mantan Direktur Utama PHR ini mengklaim pelelangan kegiatan pemulihan TTM sudah dilakukan untuk dua paket pekerjaan. Sementara satu paket lainnya diulang.
3. Minim Perlindungan Buruh Kontrak
Isu perlindungan terhadap buruh kontrak di lingkungan Blok Rokan mencuat saat peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) yang diselenggarakan oleh Federasi Pertambangan Energi (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak dan Kota Pekanbaru pada 2 Mei 2024 lalu. Dalam laporannya ke Disnaker Riau, FPE-KSBSI menyebut telah terjadi sejumlah praktik penyimpangan dalam pemenuhan hak-hak buruh kontrak di Blok Rokan.
Organisasi ini mengungkap sejumlah persoalan. Yakni tidak seragamnya penerapan besaran upah pekerja, termasuk masih terjadinya pembayaran upah di bawah angka upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang ditetapkan pemerintah daerah.
Masalah lain yang dilaporkan yakni adanya dugaan penghalang-halangan terhadap buruh yang mengajukan hak cuti. Termasuk keluhan soal pembebanan biaya pemeriksaan kesehatan (MCU) kepada pekerja oleh perusahaan sub kontraktor (mitra kerja PHR).
Soal ini, Kadisnaker Riau, Boby Rachmat sudah memanggil manajemen PT PHR. Namun perusahaan urung hadir dan hanya membalas lewat sepucuk surat.
Pejabat PHR dalam suratnya justru menyebut masalah pemenuhan hak-hak pekerja kontrak merupakan tanggung jawab dari perusahaan sub kontraktor (mitra kerja). Sampai di sini, Disnaker Riau belum melakukan tindakan lebih lanjut.
Ketua DPC FPE-KSBSI Kabupaten Siak, Suwandi Hutasoit menyebut PHR terkesan lepas tangan dan tak mau bertanggung jawab atas nasib buruh kontrak di Blok Rokan. Padahal, para buruh kontrak tersebut bekerja di lingkungan Blok Rokan yang seharusnya PHR ikut bertanggung jawab dalam menertibkan perusahaan mitra kerjanya.
"Masalah yang kami laporkan itu masih berupa kepingan-kepingan kecil. Faktanya, upah buruh kontrak sektor migas sangat kecil sekali. Tak sebanding dengan nilai komoditi migas yang dihasilkan. Perlindungan terhadap buruh kontrak sangat minim dan rentan," kata Suwandi.
Sebelumnya, kasus kecelakaan kerja di lingkungan Blok Rokan sejak dikelola PT PHR juga menjadi sorotan. Kematian sedikitnya 11 pekerja dalam kurun dua tahun pengelolaan Blok Rokan oleh PHR menjadi isu nasional. Pengawasan PHR terhadap perusahaan mitra kerjanya dinilai sangat minim.
4. Isu Tenaga Kerja Lokal
Masalah penyerapan tenaga kerja lokal juga terus berdengung saat ini. Bulan lalu, sekelompok masyarakat di Rokan Hilir menyetop aktivitas pembangunan sumur minyak yang dilakukan mitra kerja PT PHR.
Masyarakat di sana menuntut dilibatkan dan direkrut oleh perusahaan agar dapat bekerja. Dasar tuntutannya yakni adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur porsi penggunaan tenaga kerja lokal sebanyak 70 persen.
Ikhwal penyerapan tenaga kerja lokal juga terjadi di sejumlah wilayah operasional lainnya. Disnaker didesak untuk mengaudit penggunaan tenaga kerja lokal di lingkungan Blok Rokan.
"Jangan sampai putra/putri daerah justru jadi penonton di negeri sendiri. Disnaker harusnya melakukan pendataan secara transparan dan kredibel soal jumlah tenaga kerja lokal di Blok Rokan," kata Suwandi.
Ia menilai ada kesan Pemda di Riau takut dan enggan dalam melakukan penegakan aturan ketenagakerjaan di Blok Rokan. Kondisi ini makin santer terjadi pasca cairnya dana Participating Interest (PI) 10 Persen yang diterima oleh PT Riau Petroleum pada akhir tahun 2023 lalu. Disebut-sebut PT Riau Petroleum melalui anak perusahaannya yakni PT Riau Petroleum Rokan (RPR) telah menerima kucuran dana PI mencapai Rp 3,5 triliun. Dana itu akan dibagi secara proporsional kepada sebanyak 5 kabupaten/ kota yang wilayahnya menjadi daerah operasi PT PHR.
"Jangan gara-gara dana PI 10 Persen dari PT PHR menyebabkan pemda di Riau menjadi acuh dengan persoalan yang terjadi di Blok Rokan," tegas Suwandi. (R-03)