Pledoi Fikasa Grup: Kriminalisasi Perkara Perdata Dijadikan Pidana oleh Jaksa Penuntut
SabangMerauke News, Pekanbaru - Empat terdakwa perkara surat utang (promissory note) Fikasa Grup blak-blakan saat menyampaikan nota pembelaan (pledoi) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis (10/3/2022).
"Archenius Napitupulu cs selama bertahun-tahun menikmati bunga uangnya. Ketika mereka mendapatkan untung dari bunga, mereka tak laporkan kami ke polisi. Setelah tidak mendapatkan bunga, mereka lalu melaporkan kami ke polisi untuk dijerat pidana. Padahal, perjanjian utang piutang lewat promissory note itu dibuat dengan kesepakatan bersama secara perdata," kata Agung Salim dalam pledoinya.
Agung menjelaskan soal jenis bisnis dan usaha Fikasa Grup yang sudah berdiri sejak tahun 1980an. Dalam pengembangan usaha itu, Fikasa Grup melalui dua anak perusahaan yakni PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) menerbitkan surat utang dalam perjanjian promissory notes dengan imbal balik bunga yang disepakati bersama.
Hingga awal 2020, WBN dan TGP tak pernah molor dalam membayar imbal balik bunga pinjaman kepada pemegang promissory notes. Praktis, para pelapor telah menerima imbalan sesuai perjanjian yang sudah disepakati bersama.
Namun, sejak datangnya pandemi Covid-19 di awal 2020 lalu, hampir seluruh sektor usaha mengalami pukulan hebat. Dalam kondisi perekonomian yang sangat berat ini, perusahaan tak bisa bertahan cukup lama menghadapi gejolak ekonomi pandemi yang berkepanjangan. Pendapatan usaha yang minim telah menyebabkan gagalnya perusahaan menunaikan kewajiban pembayaran bunga promissory notes.
Agung menegaskan bahwa seluruh pinjaman dari pemegang promissory notes dipakai semuanya untuk pengembangan dan perluasan usaha Fikasa Grup.
"Tidak ada perusahaan yang fiktif. Dana yang kami pinjam murni untuk kepentingan usaha yang tergabung di Fikasa Grup," tegas Agung.
Penasihat hukum Agung Salim dkk, Syafardi SH MH juga menilai, seluruh isi tuntutan jaksa tidak dapat menjelaskan adanya tindak pidana dari penerbitan promissory note. Dan keterikatan tindakan satu per satu pengurus perusahaan, oleh banyak ahli dan praktisi hukum dan lintas profesi lain telah berpendapat kalau perkara ini adalah kasus perdata.
Itu sebabnya, Agung dkk bingung ketika dilaporkan berujung dipenjarakannya mereka karena laporan Archenius Napitupulu cs, yang sebenarnya telah menerima manfaat dari perusahaan Fikasa Grup. Apalagi, ketika mereka rutin menerima bunga tanpa pernah molor, para pelapor (Archenius Napitupulu dkk) justru melakukan roll over dan top up dana untuk mendapatkan keuntungan bunga yang lebih banyak.
Syafardi juga mempertanyakan keterangan pelapor Archenius Napitupulu yang mengaku melakukan roll over dana karena takut uangnya tidak dikembalikan. Padahal pihak pelapor Archenius Napitupulu berkali-kali melakukan perpanjangan dan memberikan tambahan pada promissory notes yang diterbitkan kliennya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya Archenius Napitupulu dkk dengan sadar betul sepenuhnya melakukan hal tersebut.
Syafardi mempertanyakan perhitungan dana pelapor kasus dengan total Rp 84,9 miliar. Padahal, menurut dia setelah dikalkulasi, total penempatan dana para pelapor hanya sebesar Rp 80,9 miliar.
"Kekeliruan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal. Jaksa telah bermain-main dalam melakukan perhitungan dana. Apakah nasib klien kami seperti ini karena telah dipermainkan juga?" katanya.
Dalam tuntutannya kata Syafardi, JPU menyatakan Agung dkk terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana ketentuan pasal 46 ayat (1) Undang-undang Perbankan. Padahal berdasarkan kesaksian para ahli, penerbitan promissory notes tidak ada hubungannya dengan pasal tersebut, sehingga terkesan adanya pemaksaan kehendak dari JPU.
Malahan jika melihat dari bukti-bukti yang telah ditampilkan oleh tim penasihat hukum, kata Syafardi sebenarnya Archenius Napitupulu-lah yang telah melakukan hal tersebut.
"Bisa dilihat dengan praktik yang telah dilakukannya, yaitu merekrut orang-orang lain melakukan perjanjian promissory notes dengan klien kami yang selanjutnya bunga dari peminjaman uang tersebut diinstruksikan ditransfer ke rekening pribadi Archenius Napitupulu yang kemudian memberikan bunga yang tidak sesuai kepada orang-orang yang direkrutnya. Apakah tindakan tersebut yang seharusnya dipidanakan dengan pasal 46 ayat (1) tersebut? Untuk itu kami persilahkan kepada jaksa penuntut umum untuk segera melakukan pemeriksaan yang mendalam pada Archenius Napitupulu," jelas Syafardi.
"Sebagaimana dengan pasal 64 KUHP sebagai salah satu pasal yang digunakan oleh JPU untuk menuntut klien kami, apakah perbuatan Archenius Napitupulu bukan suatu perbuatan berulang-ulang dengan melakukan perekrutan terhadap para pelapor lainnya untuk bergabung dengannya memberikan pinjaman kepada kami dengan perjanjian promissory notes? Perlu untuk ditelusuri bahwa atas tindakannya merekrut pelapor lainnya, dia (Archenius, red) telah mendapatkan keuntungan bonus dan potongan bunga yang luar biasa besar tanpa sepengetahuan pelapor lainnya tersebut, hal tersebut lebih lanjut disampaikan dalam pledoi yang telah dibacakan," tambahnya lagi.
Terakhir dalam pledoinya, Agung dkk memohon kepada majelis hakim melepaskan mereka dari jeratan hukum pidana yang dituntut jaksa. Soalnya, jika Agung dinyatakan bersalah dan dipenjara, maka banyak pihak lain yang akan menderita atas putusan hukum tersebut.
Apalagi, perusahaan telah membuka jalan perdamaian (homologasi) berdasarkan putusan PKPU yang secara perlahan sudah mulai dijalankan.
"Kami memohon kearifan dan hati nurani majelis hakim. Berikan kami kesempatan untuk mengembalikan seluruh uang pelapor. Kami masih percaya kalau pengadilan adalah tempat mencari keadilan, bukan untuk penghukuman seperti tuntutan jaksa," pungkas Agung. (*)