Tajuk Redaksi
Demam 'Keterlanjuran' Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan: Nikmat Sesaat Berujung Tangis Kemudian?
SABANGMERAUKE NEWS - Tersiar kabar kalangan pengusaha kelapa sawit di Indonesia resah, panik dan kecewa. Gundah-gulana itu tak hanya dialami kelompok korporasi sawit kakap yang tergabung dalam organisasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), namun juga pengelola kebun sawit di level kelompok tani dan koperasi.
Pemicunya, penetapan besaran denda kebun sawit dalam kawasan hutan yang menjadi jurus sapu jagat Undang-undang Cipta Kerja sektor Kehutanan. Petinggi Gapki menyebut anggotanya telah mendapat kabar penetapan besaran denda mencapai Rp 100 juta hingga Rp 130 juta per hektare sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Bagi pengusaha yang mengikuti program 'keterlanjuran' berdasarkan Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja, angka denda itu dirasakan sangat memberatkan. Coba bayangkan, andai saja satu korporasi mengelola 1.000 hektare kebun sawit tanpa perizinan kehutanan, maka harus membayar denda berkisar Rp 130 miliar. Itu memang bukan uang kecil, ya?
Yang lebih sial, meski nantinya telah membayar denda jumbo itu ke negara, lahan kebun sawit yang dikelola perusahaan harus dikembalikan ke negara, setelah satu daur tanam selesai. Konsep ini kerap disebut sebagai 'pemutihan', namun diksi itu dirasa kurang tepat karena status lahan sawit masih dinyatakan sebagai kawasan hutan.
Anggota Gapki resah. Namun kegundahan yang paling dalam juga dirasakan oleh pengelola kebun berbasis kelompok tani maupun korporasi. Diketahui, ada pula individu yang mengelola kebun sawit dalam kawasan hutan di atas 25 hektare.
Kabar adanya anggota Gapki yang menerima pemberitahuan besaran denda antara Rp 100 juta sampai Rp 130 juta per hektare kini menghantui mereka.
"Kalau begitu, tutup sajalah kebun sawitnya. Biar negara saja yang mengelola. Denda sebesar itu tak masuk akal, apalagi lahan dikembalikan ke negara," kata seorang pengelola kebun sawit di Riau.
Patokan besaran denda kebun sawit dalam kawasan hutan itu dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Beleid itu merupakan instrumen turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Belakangan UU tersebut direvisi menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Pada awalnya, terbitnya UU Cipta Kerja sektor Kehutanan ini disambut antusias kalangan pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan. Kebijakan ini dianggap terobosan untuk mengakhiri sengkarut kehutanan yang banyak beralih fungsi menjadi kebun sawit selama puluhan tahun. Pemerintah juga dianggap bersalah karena justru membiarkan kondisi itu berlangsung terus menerus. Hutan banyak digarap, bersalin rupa menjadi kebun sawit.
Banyak cerita yang beredar, kalau sebelumnya pemilik dan pengelola kebun sawit dalam kawasan hutan menjadi incaran aparat penegak hukum (APH). Terlanjur mengelola hutan tanpa izin, mereka dibidik dengan pasal-pasal pengrusakan hutan dan lingkungan.
Namun, dengan munculnya UU Cipta Kerja, para pemilik kebun sawit itu bisa sedikit bernafas lega. Soalnya, ada semacam kesan yang muncul bahwa dalam kasus pengelolaan hutan tanpa izin, bisa bersifat ultimum remedium. Artinya, penyelesaian masalah secara hukum pidana menjadi pilihan akhir, sepanjang pengusaha kebun sawit bersedia mengikuti program Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja yang ujung-ujungnya diminta membayar denda administratif.
Beleid ini yang sempat membuat kalangan pengusaha kelapa sawit merasakan nikmat sesaat. Pasalnya, kebijakan denda administratif tersebut berlaku selama tiga tahun sejak UU Cipta Kerja diterbitkan tahun 2020 silam. Paling tidak, selama tiga tahun mereka bisa "terhindar" dari tangan-tangan hukum yang selama ini kerap membuat mereka cemas dijerat pidana.
Tapi apa lacur. Di ujung masa berlakunya penerapan sanksi atau denda administratif sektor kehutanan tersebut, kalangan pengusaha kini seakan mulai tersadar atau mungkin ingin mencari pembelaan diri. Mereka diwajibkan membayar denda yang dirasa sangat besar dan bisa memukul investasi di perkebunan kelapa sawit.
Untuk percepatan implementasi dan target UU Cipta Kerja sektor kehutanan tersebut, Presiden Jokowi pada 14 April 2023 lalu membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2023. Tim adhoc yang populer disebut Satgas Sawit ini ini dikomandani oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai Ketua Pengarah.
Sebelumnya, masalah kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan hanya menjadi gawean sektoral Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Bahkan, jauh sebelumnya sejak tahun 2021, Menteri LHK Siti Nurbaya sudah meneken belasan surat keputusan berisi data dan informasi tentang subjek hukum (korporasi, kelompok dan individu) yang mengelola hutan tanpa izin. Sampai saat ini, terhitung sudah lebih 21 surat keputusan yang diteken Menteri Siti berisi daftar ribuan subjek hukum yang mengelola hutan tanpa izin, didominasi oleh subjek hukum di bidang kelapa sawit. Lebih dari separuh dari ribuan subjek hukum itu berada di Provinsi Riau.
Pada Selasa hingga Rabu (8/5/2024), Satgas Sawit turun ke Riau. Sebanyak 557 pengusaha kelapa sawit diundang dalam acara bertajuk 'Coaching Clinic Pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja'.
Namun kabarnya, tak banyak pengusaha yang mau datang. Mereka khawatir undangan itu akan menjadi urusan panjang, yang ujung-ujungnya akan dikenai denda.
Apalagi, perusahaan harus menyerahkan laporan keuangan yang berisi keuntungan bersih korporasi. Di sini, masalah pajak bisa jadi bidikan lanjutan Satgas Sawit. Pengusaha di Riau menyebutnya dengan istilah 'Piti Kaluar' alias uang keluar.
Panitia pun tak mau buka suara. Saat awak media datang memantau acara tersebut, mereka bungkam. Dalilnya, Satgas Sawit tak mengundang media dan hanya berurusan dengan subjek hukum (perusahaan).
Bukan Seperti Tax Amnesty
Penerapan denda administratif penggunaan kawasan hutan ini konsepnya beda jauh dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Kebijakan itu pernah ditempuh oleh pemerintah untuk memastikan kepemilikan aset dan kewajiban pajak orang-orang kaya di Indonesia.
Tax Amnesty yang menuntut adanya deklarasi para wajib pajak berjalan lebih mulus. Para konglomerat dan kaum berpunya lebih nyaman alias enjoy.
Beda halnya dengan kebijakan keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan, penuh keresahan dan tanda tanya. Tak ada kepastian penyelesaian secara permanen terhadap nasib kebun sawit dalam kawasan hutan. Alih-alih bisa memiliki kepastian hukum atas pengelolaan kebun sawit, para pelaku usaha juga diwajibkan membayar denda yang cukup besar.
Rasanya, kebijakan keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan ini mirip seperti permen. Nikmat sesaat, namun berujung tangis kemudian. (R-03)