Mengenal Harimau Sumatera dan Peradaban Masyarakat yang Sakral
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah.
Populasi harimau sumatera yang hanya sekitar 400 ekor saat ini tersisa di dalam blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan.
Sebagian besar kawasan tersebut telah mengalami pembukaan hutan untuk lahan pertanian ataupun perkebunan sehingga habitat kucing besar ini semakin berkurang.
Provinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari seluruh populasi harimau sumatera. Salah satu habitat kucing besar ini yaitu Taman nasional bukit tigapuluh. Berdasarkan data kompilasi mitra YPKHS dan balai TNBT pada tahun 2017, harimau sumatera yang hidup di TNBT berjumlah 47 ekor.
Jumlah ini semakin meningkat semenjak pendataan awal yang berjumlah hanya 35 ekor saja. Angka tersebut dianggap kecil dibandingkan satwa lain disebakan jumlah yang hanya berkisaran puluhan ekor saja. Oleh karena itu harimau sumatera berstatus kritis ( Cricically Endangered ).
Harimau sumatera memiliki tubuh relatif kecil dibandingkan semua sub-spesies harimau yang hidup saat ini. Ciri khusus harimau sumatera ini yaitu berwarna kulit paling gelap dibanding seluruh jenis harimau, mulai dari kuning kemerahan hingga oranye tua.
Hingga tahun 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa populasi harimau sumatra tinggal tersisa 603 ekor di Indonesia. Dan 50 persen di antaranya berada di luar habitatnya. Tren pertumbuhannya masih memperlihatkan tren turun, itulah alasan harimau sumatra berstatus kritis atau critically endangered.
Atas dasar sikap itu, seharusnya masyarakat melahirkan sebuah tradisi atau budaya untuk menjaga keberadaan harimau. Terutama harimau Sumatra yang kini sudah sangat terancam punah.
Berikut adalah beberapa peradaban masyarakat Sumatra yang sejak dulu ditanamkan kala harus hidup berdampingan dengan harimau.
Aceh
Masyarakat Aceh biasa menyebutnya dengan rimueng yang dikenal memiliki nilai-nilai mistis. Hal ini tertulis dalam buku karya penulis asal Belanda, Henri Carel Zentgraff berjudul Atjeh. Zentgraff diketahui menjelaskan harimau hitam dan harimau putih sebagai penjaga makam tokoh-tokoh yang diyakini keramat.
Diketahui makam Teuku Cot Bada di daerah Kabupaten Pidie, Kota Sigli, Aceh, kerap didatangi oleh rimueng menjelang waktu shalat maghrib.
Gunung Kerinci
Salah satu masyarakat yang tinggal di gunung yang terletak di Provinsi Jambi dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatra Barat ini juga diketahui sangat menghormati harimau. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan rimau.
Mereka percaya jika manusia dan masyarakat sopan memasuki hutan, maka sang rimau tidak akan mengganggu. Saking menghormati keberadaannya, saat ditemukan ada rimau mati maka masyarakat akan menggelar tarian yang disebut Ngagah Harimau. Yang artinya menghibur roh harimau.
Hal ini dilakukan dan dipentaskan sebagai kegiatan ritual agar harimau dan masyarakat bisa hidup dengan damai tanpa ada konflik atau saling menyerang. Rimau tidak menyerang manusia, manusia pun tidak menyerang rimau.
Sumatra Utara
Warga Sumatra Utara menyebut harimau dengan ompung yang artinya ‘kakek’ dalam Bahasa Batak. Sama halnya memperlakukan seorang kakek, sebutan ompung untuk harimau pun merupakan tanda hormat masyarakat Sumatra Utara kepada harimau.
Hal ini beralasan sebab di kalangan masyrakat suku Batak, Sumatra Utara, terkenal dengan legenda Babiat Sitelpang. Babiat Sitelpang adalah harimau pincang yang konon menjaga ibu serta seorang anak yang diasingkan ke dalam hutan.
Atas penghormatannya tersebut, perilaku masyarakat Sumatra Utara saat memasuki hutan atau membuka ladang pun akan ada menggelar ritual meminta izin terlebih dahulu kepada Babiat Sitelpang. Ini karena Babiat Sitelpang dikenal sebagai penguasa hutan.
Selanjutnya menurut kepercayaan masyarakat Batak Mandailing, ketika melihat ompung masuk ke dalam kampung itu artinya ompung ‘’mendeteksi’’ ada warga kampung yang telah berbuat dosa.
Minangkabau
Sama halnya dengan masyarakat Sumatra Barat yang menghormati harimau sebagai yang dituakan, masyarakat Minangkabau juga melakukan hal serupa. Pasalnya hewan ini dipanggil dengan sebutan datuak atau inyiak yang artinya kakek atau nenek.
Ya, Kawan GNFI mungkin sudah tahu bahwa istilah Datuak kemudian menjadi inspirasi aliran ilmu bela diri yang disebut silek (silat) harimau. Ilmu bela diri ini pun menggunakan senjata kecil yang disebut kurambik. Bentuknya seperti pisau kecil serupa cakar harimau.
Bengkulu
Agak sedikit berbeda dengan masyarakat Sumatra lainnya, masyarakat Bengkulu justru memiliki kepercayaan bahwa ketika harimau memakan hewan ternak milik warga, secara tidak langsung itu adalah peringatan untuk warga setempat yang berperilaku kurang baik.
Salah satu penulis novel Motinggo Busye pernah mengisahkan tentang Tujuh Manusia Harimau. Motinggo Busye menulis kisah itu berdasarkan cerita rakyat tentang tujuh manusia harimau yang hidup di Bukit Sarang Macan, Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Legenda ini juga pernah disinggung William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra (1984).
Itulah beberapa peradaban masyarakat seantero Sumatra yang ternyata tak bisa lepas dari kehadiran harimau, khususnya harimau sumatra, hewan endemik Sumatra. Jika kawanan harimau itu hilang, dipindahkan, atau bahkan punah, para budayawan menilai bahwa ini sama saja memusnahkan tradisi atau budaya luhur yang sudah ditanam sejak ratusan tahun lalu.
Terutama terkait budaya bijak dan arif terhadap lingkungan dan spesies yang hidup di dalamnya. (R-05)