Takwa Sebagai Wujud Sikap Moderat dalam Beragama
Penulis: Dr Asmuri, M.Ag l Dosen UIN Suska Riau
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Secara konseptual normatif banyak ayat Alquran maupun Hadis yang menjelaskan agar orang beriman menjadi orang yang bertakwa. Terdapat sebanyak 232 kata takwa dalam Alquran dengan berbagai macam bentuknya.
Dalam khotbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha ajakan agar umat Islam untuk senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan merupakan wasiat khatib yang wajib disampaikan kepada jamaah. Begitu juga dengan ibadah-ibadah ritual dalam tradisi dan ajaran Islam dilakukan agar umat menjadi orang yang bertakwa.
Seperti perintah untuk menunaikan kewajiban berpuasa sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 183 bahwa dengan menunaikan ibadah puasa agar dapat menjadi orang yang bertakwa la’aalakum tattaqun.
Takwa juga merupakan sebaik-baik bekal yang akan dibawa saat nanti menghadap Allah SWT di hari kiamat kelak watazawwadu fa-inna khaira az-zadi at-taqwa. Dalam terminologi Islam, takwa artinya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Arti takwa ini merujuk pada kata waqa-yaqi-wiqayah dalam bahasa Arab yang berarti memelihara atau menjaga diri. Kata waqa memiliki makna melindungi sesuatu, yaitu melindungi dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takwa adalah terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Takwa juga merupakan keinsafan diri yang diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Takwa adalah sikap mental yang positif berupa kewaspadaan dan mawas diri sedemikian rupa sehingga dapat melaksanakan segenap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam praksisnya, segenap perintah Allah meliputi hablun min Allah dan hablun min AnNas. Ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah tidak saja dalam bentuk ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dalam bentuk ibadah-ibadah sosial yang berkaitan dengan sesama manusia dan makhluk Allah lainnya.
Praktik bertakwa model inilah yang dominan telah dipraktikkan oleh umat Islam pada generasi awal yaitu oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Namun belakangan, pengertian takwa di kalangan umat Islam mengalami distorsi.
Bertakwa lebih dipahami berupa ketaatan terhadap perintah Allah dalam bentuk pelaksanaan ibadah-ibadah ritual an sich, sehingga kurang memperhatikan bahkan cenderung mengabaikan ibadah-ibadah sosial.
Oleh sebab itu dalam realitanya tidak jarang didapati betapa masjid-masjid selalu ramai dan dipenuhi oleh umat melaksanakan salat berjamaah.
Setiap harinya dijumpai ratusan bahkan ribuan orang berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah. Di bulan Ramadan dijumpai betapa antusias dan semangat umat Islam menunaikan ibadah puasa.
Sementara di sisi lain realitanya, masih banyak dijumpai berbagai bentuk-bentuk kemungkaran, kezaliman, kemaksiatan dan kejahatan sebagai imbas dari praktik-praktik ketidak jujuran, ketidakadilan dan ketidakpedulian serta ketidakharmonisan hubungan kepada sesama manusia.
Narasi-narasi provokatif yang memecah belah umat dan ujaran-ujaran bernada kebencian masih terus menghiasi dunia maya sebagaimana yang terdapat di medsos-medsos seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, YouTube dan lain-lain.
Lebih ironis lagi ketika narasi-narasi tersebut mengatasnamakan ajaran “agama” yang seakan mendapat restu dan legalitas agama. Pada titik inilah pentingnya mengembalikan makna takwa yang sebenarnya dan merealisasikannya ke dalam realitas kehidupan umat dengan melakukan amal-amal soleh sebagaimana diperintahkan Tuhan di dalam kitab suci dan hadis Nabi-Nya secara seimbang antara hablun min Allah dan hablun min An-nas, antara ibadah-ibadah ritual dan ibadah-ibadah sosial.
Di dalam kitab suci, misalnya surat Ali Imran ayat 133-134 dijelaskan bahwa orang yang bertakwa itu adalah orang yang secara konsisten baik dalam keadaan lapang maupun sempit senantiasa menginfakkan hartanya, orang yang mampu menahan amarahnya, dan orang yang senantiasa memaafkan kesalahan orang lain.
Di dalam ayat lain juga dikatakan i’dilu Huwa aqrabu littaqwa berlaku adillah, karena berlaku adil sebagai tanda orang yang bertakwa. Sifat-sifat orang bertaqwa sebagaimana dijelaskan di atas, sesungguhnya merupakan gambaran dari sikap moderat dalam beragama.
Moderat dalam pengertian mampu berbuat dan berperilaku secara seimbang dalam memainkan peran dan fungsi manusia baik sebagai abdullah (hamba Allah) maupun sebagai khalifah fil ardhi dan berperilaku tidak diskriminatif di tengah perbedaan dan keberagaman umat, termasuk keberagaman dalam keyakinan dan agama yang dianut.
Jangan sampai karena kita tidak menyukai dan tidak sejalan dengan penganut agama yang lain menyebabkan kita tidak berlaku adil kepadanya. Karena, Allah SWT menyukai orang-orang yang selalu berbuat baik dan berlaku adil.
Perbedaan dan keberagaman dalam penciptaan manusia di atas dunia ini adalah suatu keniscayaan dan merupakan sunnatullah. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran Surat AlHujurat (49) ayat 13.
Melalui perbedaan dan keberagaman tersebut kita dituntut untuk berlaku arif (bijaksana) lita’arafu. Agar kita mampu berlaku arif (bijaksana) maka perlunya untuk saling mengenal dan mengetahui.
Dalam adagium bahasa arab diungkapkan al insan a’daa-u ma juhila (manusia cenderung memusuhi sesuatu yang tidak ia ketahui). Dan berlaku arif (bijaksana) merupakan ciri orang bertakwa, karena itulah di dalam ayat tersebut juga ditegaskan inna akramakum ‘indallahi atqaakum (sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah dalam perbedaan dan keberagaman tersebut adalah orang yang paling bertakwa).
Moderat dalam beragama cenderung bersikap dan berperilaku arif (bijaksana) terhadap segala sesuatu. Mampu menahan amarah dan tidak mengambil keputusan saat sedang marah atau dalam keadaan emosi.
Perilaku arif (bijaksana) juga telah dicontohkan dan dipraktikkan oleh ulama-ulama dahulu yang banyak berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Pada saat awal-awal penyebaran Islam di Indonesia, para ulama tersebut berhadapan dengan berbagai tradisi dan budaya lokal yang ada.
Mereka tidak serta merta menolak budaya yang ada, tetapi memasukkan nilai-nilai agama (keislaman) kedalam budaya tersebut dengan terlebih dahulu melakukan proses dialektika antara pesan-pesan langit (wahyu) yang bersifat universal dan pesan-pesan bumi (budaya) yang bersifat lokal dan parsial.
Perilaku arif (bijaksana) oleh ulama-ulama terdahulu sebagai manifestasi dari keimanan dan ketakwaan mereka pada gilirannya melahirkan Islam dengan corak keindonesiaan sebagaimana dirasakan hingga saat ini.
Hal ini juga menegasi bahwa moderat dalam beragama sebagai ciri orang yang bertakwa berarti dapat menerima budaya-budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia. (R-05)