Pekebun Sawit di Riau Nilai Denda Keterlanjuran Sawit Dalam Kawasan Hutan Mencekik: Yang Menikmati Kayunya Dulu Bukan Kami!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kebijakan pengampunan atas keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan yang ditempuh pemerintah lewat Undang-undang Cipta Kerja awalnya mendapat respon dan antusias dari pekebun kelapa sawit. Namun, dalam perjalanannya, penetapan besaran denda yang akan ditagih ke pengusaha kebun sawit dinilai sangat berat dan mencekik.
"Kita sangat dukung soal kebijakan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan, khususnya yang dimanfaatkan untuk kebun sawit. Awalnya kami merasa UU Cipta Kerja itu bisa menjadi solusi. Tapi, kabar yang kami dengar dendanya sangat besar. Ini yang akan membuat kami terpuruk," kata Asdri, seorang pekebun sawit di Riau kepada SabangMerauke News, Jumat (3/5/2024).
Asdri menjelaskan, kabar yang ia terima terkait besaran denda keterlanjuran penggunaan hutan bisa mencapai Rp 100 juta per hektare. Itu sebabnya, ia bersama sejumlah rekannya wanti-wanti dengan nominal denda tersebut.
"Dari mana uang untuk membayar denda sebesar itu? Bayangkan saja kalau mengelola 1.000 hektare, berarti bayar dendanya Rp 100 miliar. Itu kan jumlah denda yang sangat tidak realistis?" katanya.
Menurutnya, banyak pekebun sawit, termasuk yang dikelola sejumlah koperasi dan korporasi mendapatkan lahan awalnya dalam kondisi semak belukar, tidak lagi memiliki tegakan kayu hutan. Sehingga, para pekebun kelapa sawit sama sekali tidak mendapat keuntungan dari hasil kayu hutan yang diambil.
Lahan tersebut bahkan dibeli dengan cara ganti rugi dan membayar sejumlah uang kepada pihak yang mengklaim memilikinya. Setelah lahan diganti rugi, barulah ditanami kelapa sawit.
"Jadi kami sebenarnya tidak pernah menikmati hasil kayu yang katanya dalam kawasan hutan itu. Lahan yang dikelola itu sudah semak belukar sejak awalnya," tegas Asdri.
Menurutnya, pembangunan kebun kelapa sawit tidak sekadar hanya bermodalkan lahan tanam. Namun, investasi yang dicurahkan sangat besar, mulai dari persiapan lahan, pembibitan, pemeliharaan infrastruktur dan tanaman.
"Sehingga kalau kami dibebankan denda yang sangat besar, tentu kami tidak sanggup. Itu besaran dendanya kok selangit, sangat tidak masuk akal. Dasar perhitungannya tak berdasar," kata seorang pengelola kebun sawit yang tak ingin disebut namanya.
Menurutnya, penetapan denda keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan akan membuat sektor kelapa sawit kolaps. Padahal, ada banyak tenaga kerja yang terserap dalam perkebunan kelapa sawit.
"Kalau bayar dendanya sebesar itu, maka sama saja menyuruh untuk menutup kebun kelapa sawit. Kami mohon agar besaran denda tersebut dibuat lebih rasional dan masuk akal," tegasnya.
Apalagi, setelah membayar denda yang sangat besar, pelaku usaha kebun sawit tidak secara otomatis dapat menguasai atau memiliki lahannya. Pemerintah hanya memberikan kesempatan satu daur tanam, kemudian lahan diserahkan kembali ke negara.
"Sudah membayar denda yang sangat besar, lahan juga katanya dikembalikan lagi ke negara setelah satu musim daur tanam. Ini kan sangat ironis," keluhnya.
Ia juga mempertanyakan tentang perkembangan hasil pendataan usaha kebun sawit dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Satgas Tata Kelola Sawit bentukan Presiden Jokowi.
Soalnya, sejak pelaku usaha secara sukarela melakukan pengajuan (self reporting) hingga terbitnya surat keputusan Menteri LHK tentang daftar usaha dalam kawasan hutan, sampai saat ini belum ada informasi terkini perkembangannya.
"Banyak kawan-kawan yang bertanya apa kelanjutan dari pendaftaran usaha kebun sawit yang pernah dilakukan beberapa waktu lalu. Padahal katanya berakhir pada September 2024 mendatang. Ini jelas membuat kegundahan," tegasnya.
Dasar Perhitungan Denda
Penetapan besaran denda administratif keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Adapun formula perhitungan denda dihitung berdasarkan perkalian sejumlah variabel yakni luas areal hutan yang dikelola, jangka waktu pelanggaran (lama usaha) dan tarif denda.
Jangka waktu pelanggaran dihitung berdasarkan perhitungan masa produksi usaha tersebut. Misalnya, untuk kebun sawit, masa produksinya mulai memasuki tahun ke 6 setelah usia tanam.
Besaran tarif denda diperoleh dari perkalian antara pendapatan bersih usaha per tahun dengan tarif denda tutupan hutan. Adapun kondisi tutupan hutan dilakukan berdasarkan hasil citra satelit dan data pendukung lainnya.
Variabel tutupan hutan dibagi dalam 3 kategori. Yakni kategori tutupan hutan tinggi (>50%) dengan tarif denda dikalikan 60 persen. Kemudian tutupan hutan sedang (21-49%) tarif denda dikalikan 40 persen). Sementara tutupan hutan rendah (<20%), tarif denda dikalikan 20 persen.
Berikut contoh kasusnya:
Ada sebuah usaha perkebunan kepala sawit seluas 10 ribu hektare yang dibuka sejak tahun 2005. Kemudian diasumsikan pendapatan bersih per hektare sebesar Rp 25 juta per tahun.
Kemudian berdasarkan hasil citra satelit, diketahui persentase tutupan hutan di kawasan itu adalah <20 persen (kategori rendah), sehingga tarif denda tutupan hutan masuk dalam kategori 20 persen.
Maka, besaran denda yang harus dibayarkan, perhitungannya dirumuskan sebagai berikut:
J= Jangka Waktu Pelanggaran
Maka, J= 15 tahun - 5 tahun (jika asumsinya perhitungan denda dilakukan tahun 2020)
J= 10 tahun
TD= Tarif Denda
Maka, TD= Pendapatan Bersih (PB) x Tarif Denda Tutupan Hutan (DTH)
TD= Rp 25.000.000 x 20%
TD= Rp 5.000.000
D= Denda Administratif
D= Luas Lahan x Jangka Waktu Pelanggaran x Tarif Denda
D= 10.000 hektare x 10 tahun x Rp 5.000.000
D= Rp 500.000.000.000 (Lima Ratus Miliar Rupiah)
Maka denda administratif yang harus dibayarkan oleh pengusaha kebun sawit tersebut yakni sebesar Rp 500 miliar. (R-04)