Jangan Ganggu Pengusaha Kelapa Sawit Dalam Kawasan Hutan yang Ikut Program Keterlanjuran, Sudah Dijamin Lewat UU Cipta Kerja
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kebijakan pengampunan atas keterlanjuran penguasaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Instrumen undang-undang tersebut memberi kesempatan kepada pengelola perkebunan kelapa sawit untuk menempuh mekanisme penyelesaian keterlanjuran secara administratif.
Adapun kebijakan pengampunan tersebut diatur dalam Pasal 110 A dan Pasal 110 B Undang-undang Cipta Kerja. Dalam beleid tersebut, usaha yang berada dalam kawasan hutan, termasuk perkebunan kelapa sawit, dapat mengajukan pemenuhan persyaratan sesuai ketentuan di bidang kehutanan.
Instrumen teknis turunan UU Cipta Kerja yang mengatur keterlanjuran kelapa sawit dalam kawasan hutan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Bahkan, Presiden Jokowi telah membentuk Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2023, di mana Menko Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan ditunjuk sebagai Ketua Pengarah Satgas.
Dengan terbitnya UU Cipta Kerja dan turunannya, maka penyelesaian masalah keterlanjuran penguasaan kawasan hutan telah bersifat ultimum remedium. Artinya, pengenaan sanksi pidana hanya sebagai upaya terakhir, sepanjang pemenuhan persyaratan sesuai ketentuan administratif tidak ditempuh atau dipenuhi oleh pemilik usaha perkebunan.
Praktisi hukum, Parlindungan SH menyatakan, regulasi tentang penyelesaian masalah keterlanjuran penguasaan hutan, merupakan bentuk jaminan pemerintah terhadap pelaku usaha yang dengan sukarela bersedia mengikuti program pengampunan. Itikad baik pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dalam memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah harus mendapat apresiasi.
"Bagi penguasa dan pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan telah mendapat jaminan perlindungan usahanya, sepanjang bersedia mengikuti program keterlanjuran tersebut sesuai batas waktu yang diberikan, yakni tiga tahun sejak UU Cipta Kerja disahkan," kata Parlindungan SH di Jakarta, Rabu (23/4/2024).
Parlindungan mendapat informasi adanya semacam tekanan kepada pengelola kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan di Riau, padahal telah secara sukarela mengikuti petunjuk UU Cipta Kerja dan instrumen turunannya. Tekanan tersebut menurutnya berasal dari sekelompok yang menamakan dirinya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemberitaan media yang tidak berimbang serta jernih.
Menurut Parlindungan, bagi pengelola kebun sawit dalam kawasan hutan yang telah mengikuti program keterlanjuran dan memenuhi persyaratan, tidak perlu khawatir lagi. Sebab negara melalui undang-undang telah memberikan jaminan masalah tersebut dapat diselesaikan secara administratif lewat mekanisme pembayaran denda.
"Roh pada UU Cipta Kerja, khususnya berkaitan dengan usaha dalam kawasan hutan (kelapa sawit) yakni mengedepankan asas hukum ultimum remedium. Jadi, tidak perlu khawatir lagi dengan isu-isu soal ancaman pidana. Tentu, syaratnya yakni harus ikut dalam program keterlanjuran yang sudah ditetapkan oleh pemerintah," tegas Parlindungan.
Ia juga mengingatkan kepada pihak-pihak tertentu untuk tidak mengganggu para pengelola kebun sawit dalam kawasan hutan yang sudah mengikuti mekanisme penyelesaian secara administratif lewat UU Cipta Kerja. Sebab, jika bayang-bayang gangguan itu terus dimunculkan, maka akan menimbulkan suasana tak kondusif di kalangan pengelola kebun sawit dalam kawasan hutan.
"Jangan ganggu lagi para pengelola kebun sawit dalam kawasan hutan yang secara sukarela mematuhi mekanisme UU Cipta Kerja. Pemerintah dan otoritas terkait juga harus memberikan jaminan soal kondusivitas usaha sektor kelapa sawit yang telah menopang ekonomi daerah dan nasional," katanya.
Parlindungan meminta agar semua pihak menunggu proses penyelesaian masalah kebun sawit dalam kawasan hutan yang sudah dilakukan oleh pemerintah saat ini. Sebab langkah yang ditempuh oleh pemerintah saat ini telah memasuki fase finalisasi, menunggu keputusan penetapan besaran denda yang dikenakan kepada pengelola kebun kelapa sawit.
"Jadi, jangan lagi merusak kondisi yang sudah baik saat ini. Pemerintah telah memberikan solusi, kita harus tunggu sampai ada penetapan akhir dari pemerintah yakni melalui Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit. Kita hormati itikad baik dari pengelola kebun sawit untuk menyelesaikan mekanisme yang sudah berlangsung," tegas Parlindungan.
Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit
Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan lebih dari 20 pucuk surat keputusan terkait data dan informasi terhadap usaha yang berada dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan kehutanan. Secara khusus, ada ratusan pengelola kebun sawit dalam kawasan hutan di Riau yang sudah masuk dalam SK Menteri LHK tersebut.
Selain itu, pengelola kebun sawit di Riau juga telah melakukan pelaporan mandiri (self reporting) terkait keberadaan usahanya kepada Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit yang dipimpin Menko Bidang Marves Luhut Binsar Panjaitan.
Saat ini, pemerintah melalui Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit sedang melakukan finalisasi terhadap pengenaan denda administratif bagi para pelaku usaha kelapa sawit tersebut.
Dengan demikian, kesediaan secara sukarela para pengusaha kebun sawit di Riau layak untuk diapresiasi, tanpa harus mendapat gangguan dari isu-isu miring yang mungkin dilakukan pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau motif-motif lain yang menyebabkan investasi kelapa sawit terusik. (R-05/Novita AI)