Kapan Jokowi Bicara Tegas dan Jelas Tolak Pemilu 2024 Ditunda?
SabangMerauke News - Sejumlah ilmuwan politik meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi tampil di depan publik dan menyampaikan sikap tegasnya untuk menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyebut pernyataan langsung dari Jokowi diperlukan agar wacana ini bisa berhenti bergulir.
"Sekarang harus diklimakskan, supaya tidak ada gelombang berikutnya, supaya tidak menimbulkan kebingungan," kata dokter Ilmu Politik dari Curtin University, Perth, Australia, ini saat dihubungi, Senin, 7 Maret 2022.
Siti menyoroti tiga gelombang yang muncul terkait wacana ini. Dimulai dari Juni 2021 ketika Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, yang mendorong amandemen konstitusi agar Jokowi bisa kembali maju di Pemilu 2024 bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Lalu pada 11 Januari 2022, anak buah Jokowi, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia tiba-tiba mengklaim adanya usulan pengusaha untuk penundaan Pemilu 2024. Kemudian 23 Februari, giliran Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang menyampaikan usulan yang sama setelah bertemu pengusaha karena alasan stagnasi ekonomi.
Siti menyebut wacana ini nyaris diusulkan secara sempurna oleh lembaga survei, menteri, hingga partai politik. "Menurut saya ini bahaya, karena yang menyampaikan bukan lagi aktivis, tapi juga mereka yang duduk di MPR dan tahu konstitusi," kata dia.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Center for Strategis and International Studies (CSIS) Indonesia, Arya Fernades juga menilai Jokowi harus tampil di publik dan menyampaikan sikap tegas menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Arya menyadari bahwa masyarakat tidak bisa memaksa Jokowi harus bicara secara jelas dan tegas.
"Tapi presiden punya tanggung jawab konstitusi untuk menegaskan kembali soal pentingnya pelaksanaan Pemilu secara tertib dan teratur, dan pentingnya adanya pembatasan masa jabatan dua periode," kata dia.
Dengan Jokowi memberikan penegasan secara jelas, kata dia, maka hal itu akan memberikan kepastian politik. Kepastian yang dimaksud yaitu penyelenggara Pemilu bisa memulai tahapan Pemilu 2024, DPR bisa menyetujui anggaran Pemilu, hingga partai bisa menjalankan proses perekrutan calon legislatif (caleg). "Itu kenapa statement Presiden itu penting," kata magister komunikasi politik dari Univesitas Paradamina, Jakarta, ini.
Sikap Bersayap Jokowi
Jauh sebelum isu penundaan Pemilu 2024, sudah pernah muncul wacana menambah masa jabatan presiden dari 2 periode menjadi 3 periode. Kala itu, Jokowi langsung menolak ini. Dia menyebut pengusul ide tersebut kemungkinan punya tiga motif.
"Satu, ingin menampar muka saya, ingin cari muka padahal saya sudah punya muka, atau ingin menjerumuskan saya," katanya saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 2 Desember 2019.
Lalu sejak pertengahan 2021, muncullah aneka tiga gelombang wacana ke publik seperti yang disinggung Siti Zuhro. Jokowi pun mulanya tak pernah memberikan penolakan langsung.
Hingga pada 5 Maret kemarin, Jokowi kepada harian Kompas menyatakan usul tersebut sah-sah saja dalam negara demokratis dan mengklaim akan patuh dan tunduk pada konstitusi, seperti dikutip dari Majalah Tempo.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno juga mempertanyakan kenapa Jokowi menjadi tidak "segalak dan setegas" saat merespon wacana masa jabatan presiden 3 periode. "Giliran penundaan Pemilu, kok sangat soft sekali, mengayun, berdalih atas nama demokrasi, menurut saya cukup bias," kata Adi.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio juga menilai pernyataan terbaru Jokowi soal wacana penundaan Pemilu 2024 belum tegas. "Ini kan sebuah komentar atau pernyataan yang sebenarnya bersayap," kata dia.
Staf khusus Menteri Sekretariat Negara Faldo Maldini memberi penjelasan soal perbedaan sikap yang ditunjukkan Jokowi antara wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan 3 periode. Faldo menilai sikap Jokowi sebenarnya sudah jelas dan wacana tersebut tak perlu dikembangkan lagi.
"Presiden sudah jelas bersikap. Jangan sampai ada yang bikin imajinasi, kaget sama imajinasinya, terus marah sama imajinasinya sendiri. Kan aneh," kata dia saat dihubungi, Senin, 7 Maret 2022.
Faldo juga menilai apa yang diucapkan Jokowi sudah bisa dipahami semua pihak. "Itu pikiran yang bersayap dari sebagian pihak yang disebutkan itu. Statement Presiden sudah diucapkan, berarti sudah dapat dipahami. Tidak usah otak-atik gatuk," kata dia
Faldo menyebut bahwa saat ini semua pihak berada dalam sebuah konstuksi kenegaraan. "Jadi ini harus dilihat dalam kerangka kenegaraan, jangan maunya Presiden, pengennya gini dan gitu dari elit-elit," kata dia.
Jokowi Diklaim Ingin Pemilu 2024
Di tengah wacana penundaan Pemilu 2024 yang terus bergulir, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud Md akhirnya angkat bicara dan membuat video penjelasan.
Mahfud menyebut Jokowi sejak 2021 meminta agar Pemilu 2024 tetap dilaksanakan. Bahkan, kata Mahfud, permintaan tersebut Jokowi sampaikan kepada dirinya sebanyak dua kali dalam rapat Kabinet.
"Presiden Joko Widodo atau Jokowi sampai dua kali memimpin rapat Kabinet, yaitu pada 14 September 2021 dan 27 September 2021," ujarnya dalam keterangannya di YouTube resmi Menko Polhukam, Senin, 7 Maret 2022.
Mahfud menerangkan dalam rapat tersebut Jokowi meminta dirinya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Kepala BIN Budi Gunawan agar berkoordinasi dengan KPU, Bawaslu, DKPP, dan DPR untuk menentukan jadwal Pemilu 2024.
Lalu berdasarkan hasil rapat lintas kementerian dan lembaga yang dilaksanakan di kantor Kemenkopolhukam pada 17 September 2021 dan 23 September 2021, Mahfud mengatakan pemerintah mengusulkan pemungutan suara dilaksanakan tanggal 8 atau 15 Mei 2024. Usul itu kemudian disetujui dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden pada 27 September 2021 dan akan disampaikan ke KPU dan DPR.
Namun, ketika alternatif itu disampaikan dalam Rapat Kerja bersama KPU dan DPR pada 6 Oktober 2021, Mahfud mengatakan mereka tidak setuju dan mengajukan alternatif tanggal lain. Presiden kemudian berkomunikasi langsung dengan KPU di Istana Merdeka pada 11 November 2021. "Presiden kemudian menyatakan setuju pemungutan suara 14 Februari 2024, sesuai dengan yang diusulkan oleh KPU dan DPR," ujar Mahfud.
Setelah tanggal Pemilu 2024 dipastikan, Mahfud mengatakan Jokowi memerintahkan dirinya dan Mendagri agar menyiapkan semua instrumen pilkada serentak. Dengan demikian sikap Presiden sudah jelas soal Pemilu 2024. Jadi tidak usah di pisah-pisah lagi di luar urusan pemerintahan.
Beda Sikap soal Pernyataan Jokowi
Pandangan berbeda disampaikan oleh Kepala Laboratorum Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk, terkait pernyataan terbaru Jokowi taat konstirusi, tapi tak bisa melarang wacana penundaan Pemilu 2024. "Itu bisa dipahami, secara ketatanegaraan, tidak ada yang salah," kata dia.
Guru besar psikologi UI ini menyebut sejak awal Jokowi sebenarnya selalu memberi penjelasan bahwa dirinya taat pada konstitusi. Tapi sebagian pihak, kata dia, berekspektasi Jokowi langsung menyampaikan agar wacana penundaan Pemilu 2024 ini bisa dihentikan.
Tapi Jokowi sebagai kepala negara, kata Hamdi, tentu juga tidak bisa melarang orang untuk berpendapat yang menjadi asas dalam demokrasi. "Kalau presiden bilang tak benar itu orang yang minta penundaan, ya dia (Jokowi) jadi otoriter doang. Lho kok presiden nggak kasih ruang kebebasan berpendapat?" ujarnya.
Hamdi menilai Jokowi sebagai presiden tentu harus menjaga perasaan semua pihak di masyarakat. Apalagi, Jokowi selama ini juga tak pernah menghentikan munculnya wacana lain, seperti halnya wacana atau ceramah soal negara khilafah. "Gak pernah juga presiden bilang hentikan ceramah seperti itu. Apalagi seperti ini (wacana penundaan Pemilu 2024), itu hak orang berwacana," kata dia.
Hamdi pun menilai dalam politik ada ekuilibirum yang sepanjang tercapai, maka sulit memaksakan sebuah keinginan yang melawan rasionalitas politik. Ia yakin tidak akan ada penundaan Pemilu 2024, sehingga wacana ini tak perlu dipermasalahkan. "Tak perlu paksa-paksa juga, presiden harus tegas dong, setop itu. Ini kan demokrasi," kata Hamdi.
Sementara, Arya Fernandes menilai pernyataan terbaru Jokowi soal taat konstitusi justru membuat wacana penundaan Pemilu 2024 ini belum sepenuhnya selesai. Dengan memakai alasan bagian dari demokrasi, Jokowi justru membuka peluang agar isu ini terus menggelinding.
Padahal seharusnya, kata dia, pernyataan politik Jokowi harus jelas bahwa konstitusi sudah mengatur masa jabatan 5 tahun sekali dan diperpanjang untuk satu periode. "Harusnya lebih menohok. "Menurut saya pernyataan presiden harusnya lebih menohok," kata dia.
Sebab, Arya menilai gerakan dari kelompok yang mendukung wacana penundaan Pemilu 2024 ini juga sudah kehilangan pamor. Pertama karena peta politik berubah dan partai lain menolak, kedua karena tingginya penolakan publik.
Adapun Siti Zuhro berharap wacana ini bisa berakhir seperti kejadian di zaman mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Saat itu pernah muncul usulan perpanjangan masa jabatan dari kader partai, lalu ada resistensi di masyarakat, hingga tidak ada lagi gelombang wacana berikutnya.
Jokowi, kata dia, harus punya komitmen yang sangat jelas terkait ketaatan sebagai presiden dalam menjunjung konstitusi. Siti menyoroti bagaimana Jokowi mendapat rapor merah dari pegiat hukum di akhir periode pertamanya.
Sehingga seharusnya, periode kedua ini jadi kesempatan bagi Jokowi untuk menunjukkan bahwa ketaatannya pada konstitusi tak perlu diragukan. "Jangan sampai timbul terjemahan yang keliru," kata dia.
Siti pun mengingatkan agar presiden jangan melanggar konstitusi lewat penundaan Pemilu 2024 ini, karena bisa menimbulkan mosi tidak percaya. "Ini nantinya akan berpengaruh terhadap legitimasi pemerintah. Kaidah itu yang harus dipertimbangkan secara serius," ujarnya. (*)