Kuasa Hukum Fikasa Grup 'Kuliti' Pendapat Ahli Profesor Agus Surono, Singgung Keterangannya di Perkara PT Indosterling
SabangMerauke News, Pekanbaru - Jelang sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi), tim penasihat hukum empat terdakwa Fikasa Grup, Agung Bakti dkk melakukan langkah pemeriksaan dan analisa fakta-fakta persidangan. Kasus high yield promissory notes (HYPN) PT Indosterling Optima Investa (IOI) menjadi salah satu sumber informasi dan perbandingan, mengingat kedua perkara ini disebut identik dan melibatkan beberapa orang ahli yang sama.
Hasilnya, tim penasihat hukum bos Fikasa Grup, Agung Salim dkk menemukan adanya dugaan kontradiksi pendapat ahli yang dihadirkan jaksa penuntut dalam kasus surat sanggup bayar (promissory note) yang disidangkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Ahli yang dihadirkan jaksa tersebut yakni Prof Dr Agus Surono yang telah memberikan kesaksian pada sidang 21 Januari lalu.
Tim penasihat hukum terdakwa Agung Salim dkk membandingkan pendapat yang pernah disampaikan Prof Agus Surono saat menjadi ahli di kasus HYPN PT Indosterling Optima Investa (IOI) yang sudah divonis bebas segala tuntutan hukum (onslag van alle recht vervolging) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 3 Februari 2022 lalu. Majelis hakim dalam perkara itu menyatakan kasus dengan terdakwa Direktur PT IOI, Sean William Henley itu berada dalam ranah keperdataan, bukan pidana.
"Kami menemukan adanya kontradiksi pendapat ahli pada dua kasus identik terkait promissory note (PN). Yakni dalam kasus Fikasa Grup dan PT Indosterling. Meski ahlinya sama figur orangnya, namun pendapatnya dalam kasus yang identik itu justru kontradiktif," kata Palti Simamora SH, anggota tim penasihat hukum Agung Salim dkk, Senin (7/3/2022).
Palti menjelaskan kalau timnya telah membaca kesaksian Prof Agus dalam berkas putusan PT Indosterling. Dari dokumen itu, ahli Prof Agus menyatakan PN tidak diatur dalam pasal 46 Undang-undang Perbankan. Prof Agus, kata Palti juga menyatakan tindakan menerbitkan PN tidak dapat dikualifikasi dalam pasal 1 angka 6 UU Perbankan tentang simpanan.
"HYPN (promissory notes) harus dimaknai apakah perbuatan tersebut diatur dalam pasal 46 ayat 1 secara komprehensif tentang menghimpun dana apakah harus dalam bentuk simpanan. Jadi HYPN (promissory notes) adalah perjanjian utang piutang, maka tidak perlu izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," terang Palti mengutip pendapat ahli Prof Agus dalam berkas putusan perkara tersebut.
Palti menambahkan, pendapat ahli Prof Agus dalam putusan PT Indosterling juga menyebut jika satu unsur saja tidak terpenuhi, maka penerapan pasal 46 juga tidak terpenuhi. Selain itu, Prof Surono juga menyatakan soal unsur kedua yakni menghimpun dana masyarakat juga tidak diatur dalam UU Perbankan. Yang mana merujuk pada pasal 1 angka 6 Undang-undang Perbankan diklasifikasi sebagai simpanan. Kata Prof Agus, jika bukan dalam bentuk simpanan, tetapi perjanjian utang piutang, maka tidak terpenuhi secara sistematis unsur-unsur terkait pelanggaran pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan.
Sementara kata Palti, dalam pendapat ahlinya di perkara PN (promissory notes) Fikasa Grup, Prof Agus menyebut kalau penerbitan PN harus seizin Bank Indonesia atau OJK, sekalipun itu perjanjian antar orang per orang.
"Di sini letak kontradiksi pendapat ahli tersebut. Pada kasus PT Indosterling, ahli menyatakan tidak perlu izin OJK, namun dalam perkara Fikasa Grup ahli Prof Agus justru berpendapat sebaliknya. Jadi, pendapat ahli yang berubah-ubah ini menunjukkan inkonsistensi ahli tersebut," terang Palti.
Palti juga menyoroti kontradiksi pendapat Prof Agus yang sangat tidak konsisten sebagai ahli karena menyebut norma dalam pasal 46 ayat 1 UU Perbankan adalah mengenai izin.
"Lagi-lagi, ahli Prof Agus menyatakan soal izin OJK dalam penerbitan PN. Padahal, dalam kasus PT Indosterling, ahli menyebut tidak perlu izin OJK," kata Palti.
Prof Agus Surono belum dapat dikonfirmasi ikhwal penilaian pendapat ahlinya oleh tim penasihat hukum Agung Salim dkk ini.
Empat bos Fikasa Grup dituntut jaksa hukuman 14 tahun penjara dan pidana denda masing-masing Rp 20 miliar subsider 11 bulan kurungan. Jaksa menuntut dengan dakwaan pertama yakni pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan. Padahal awalnya, dalam surat dakwaan jaksa mendakwa keempatnya dengan pasal berlapis yakni pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan, pasal 372 KUHPidana, pasal 378 KUHPidana jo pasal 64 jo pasal 55 KUHPidana.
Sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) akan digelar pada Kamis (10/3/2022) mendatang. (*)