Sudah Jarang Terdengar, Begini Penjelasan KPK Tentang OTT
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir mata publik tertuju ke Kejaksaan Agung (Kejagung) dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ramai-ramai pengusutan kasus korupsi. Apa benar KPK sudah kehilangan tajinya?
Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia pada Juni 2023 merilis survei angka kepercayaan publik pada KPK adalah 75,6 persen. Bukan angka yang buruk tetapi bila dibandingkan sebelum tahun-tahun sebelumnya sampai tahun 2019, KPK sebenarnya selalu tembus 80 persen untuk kepercayaan publik. Yang terparah pada 2021 ketika tren kepercayaan publik ke KPK anjlok di angka 65,1 persen.
Belum lagi bila dibandingkan dengan aparat penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan. Masih dari Survei Indikator Politik Indonesia pada Juni 2023, kepercayaan publik untuk Polri 76,4 persen sedangkan Kejaksaan berjaya di angka 81,2 persen.
"KPK pernah bahkan lebih tinggi trust-nya di atas presiden 2014-2015 sampai 2018 dan mohon maaf datanya menunjukkan setelah revisi UU KPK, trust publik justru melorot dan setelah itu KPK belum pulih itu sejak melorot di 2020," kata Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam konferensi pers virtual ketika merilis survei itu pada Minggu, 2 Juli 2023.
Angka-angka itu didapat Survei Indikator Politik melalui survei pada 20-24 Juni 2023 terhadap 1.220 responden dengan metode wawancara tatap muka oleh pewawancara yang terlatih. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling dan margin of error survei +/- 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Apa yang salah dengan KPK?
Dalam beberapa tahun terakhir KPK memang mendapat sorotan tapi bukan urusan prestasi. Yang bikin miris, pucuk pimpinannya sendiri malah menjadi tersangka yaitu Firli Bahuri. Perkara-perkara di internal KPK sendiri juga seolah tak habis dari kontroversi. Ambil contoh yang hangat menjadi perbincangan yaitu adanya pungutan liar (pungli) di rumah tahanan atau rutan KPK. Duh!
Disadari atau tidak, sebenarnya KPK memiliki salah satu senjata ampuh yang seringkali menarik perhatian publik yaitu operasi tangkap tangan (OTT). Sampai-sampai ketika aturan baru KPK diketok yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, OTT menjadi sorotan tak habis-habis dari para aktivis antikorupsi sebab aturan itu dinilai bisa mengebiri KPK dalam hal OTT.
Melihat ke belakang pada tahun 2020, Kurnia Ramadhana pernah menyentil soal UU KPK yang baru itu bisa memperlambat kinerja KPK. Gerak KPK yang gesit menurutnya bisa terhalangi dengan urusan administrasi seperti perizinan dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan dengan kekhawatiran adanya celah-celah kebocoran informasi.
"KPK melakukan tangkap tangan yang melibatkan salah satu Komisioner KPU karena diduga menerima suap untuk pertukaran anggota DPR RI. Banyak pihak yang menganggap tangkap tangan kali ini, membuktikan bahwa pimpinan KPK dan UU KPK baru tidak relevan lagi untuk dipersoalkan. Faktanya justru sebaliknya, UU KPK baru (UU No 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia," ujar Kurnia saat itu.
Dia mengambil contoh OTT terhadap Wahyu Setiawan yang saat itu aktif sebagai Komisioner KPU yang belum tuntas. Sebagai pengingat, perkara itu masih menyisakan borok menganga bagi KPK yaitu 'hilangnya' Harun Masiku sampai detik ini.
Pertanyaan besarnya kemudian kenapa OTT KPK semakin jarang terdengar?
Data menunjukkan OTT KPK pada tahun 2018 tercatat sebagai OTT terbanyak sepanjang sejarah yaitu 30 kali OTT dalam setahun. Angka itu menurun di 2019 menjadi 21 kali dan merosot di tahun-tahun setelahnya yaitu 8 kali di 2020, 6 kali di 2021, 10 kali di 2022, dan 8 kali di 2023. Untuk tahun ini, 2024, yang baru berjalan 4 bulan, KPK tercatat baru melakukan OTT 2 kali pada bulan Januari yaitu terkait kasus di Labuhanbatu dan Sidoarjo. Setelahnya tak ada kabar lagi.
Namun bukan berarti tanpa OTT, KPK tidak bekerja. KPK masih mengusut kasus-kasus lain meski bukan melalui OTT tapi salah satunya terkait korupsi di internal KPK sendiri yaitu kasus pungli di rutan.
Terlepas dari itu coba tengok komentar Pimpinan KPK sendiri. Pada 28 Maret 2024, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memiliki pandangan bahwa sanksi pidana adalah cara kuno. Maksudnya?
"Yang masih menggunakan sanksi pidana itu sesungguhnya itu negara-negara yang masih agak kuno. Tetapi faktanya Anda-anda semua ini yang selalu ditunggu dan jadi berita," kata Ghufron dalam acara diskusi dengan media di Gedung Merah Putih KPK saat itu.
Ghufron lalu membandingkan penanganan pemberantasan korupsi dengan OTT. Menurutnya, OTT telah identik dengan kerja KPK.
"Sebenarnya KPK ingin sekali lagi, bukan ingin meninggalkan OTT, tapi ingin menyeimbangkan. Karena apa? Karena sekali lagi kami memandang pendekatan pencegahan itu lebih beradab," ucap Ghufron.
"Karena kita kan bukan ingin pemberantasan korupsi itu bukan bertujuan untuk memenjarakan seseorang, tapi tujuannya agar bagaimana keuangan-keuangan publik itu tidak disimpan kan, tidak disalahgunakan. Karena itu ada OTT, jadi OTT itu adalah cara terakhir," imbuhnya.
Pimpinan KPK lainnya, Alexander Marwata, juga bicara soal OTT dalam diskusi 'Pemberantasan Korupsi: Refleksi & Harapan' pada 2 April 2024. Menurut Alex, para koruptor semakin pintar karena belajar cara KPK melakukan OTT.
"Kalau OTT sebetulnya saya sampaikan orang makin lama makin belajar bagaimana KPK melakukan OTT," kata Alex.
Alex berkisah sebelum di KPK dirinya menjabat sebagai hakim di Pengadilan Tipikor. Dia menilai salah satu kunci sukses OTT adalah penyadapan. Namun dengan terkuaknya kunci itu membuat para pelaku tindak pidana korupsi menjadi lebih hati-hati.
"Saya ketika jadi hakim, saya sempat, ketika jaksa itu akan menyampaikan hasil penyadapan, percakapan, dan hasil transkrip, saya bilang, buat apa? Toh saksi sudah mengakui seluruh kelakuan, kenapa harus diyakinkan hakim itu dengan mutar penyadapan, menampilkan transkrip," katanya.
"Sehingga apa? Orang tahu, oh saya ternyata disadap. Sehingga apa? Orang menjadi hati-hati," imbuh Alex.
Alex menyebut penyadapan yang dilakukan KPK masih berjalan. Namun komunikasi yang tercatat malah semakin sedikit. Hal inilah yang kemudian disebut Alex menjadi salah satu hambatan KPK.
"Saya sampaikan tadi di forum ini kan, tidak kurang banyaknya dengan periode-periode sebelumnya nomor handphone yang disadap, sampai sekarang ini, ratusan, ratusan, mungkin bagian tapping kita, bagian penyadapan kita nggak tidur kali kan," kata Alex.
"Tapi apa yang terjadi? Makin sedikit komunikasi itu yang terjadi. Artinya apa? Orang belajar. Makanya ya mohon maaf saya sampaikan ketika fit and proper test, hanya orang-orang yang sial aja kena OTT itu. Jarang terjadi di Jakarta, mereka sudah tahu. Tapi yang di daerah-daerah yang masih polos-polos tadi itu, berbicara uang lewat handphone, ya sudahlah," sambung Alex menambahkan ucapannya itu.
Jadi akankah OTT KPK semakin lama akan menjadi sejarah atau KPK sedang mencari formula canggih lain demi memperkuat pemberantasan korupsi dan kembali meraih kepercayaan publik? Kita nantikan saja. (*)