Kisah Awal Mula THR di Indonesia, Awalnya Diprotes Keras Kaum Buruh
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Tunjangan hari raya (THR) merupakan sesuatu yang selalu ditunggu pekerja, terutama dalam masa hari raya Lebaran 2024 seperti saat ini.
THR merupakan tunjangan atau pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan pemerintah dan pemberi kerja atau pihak swasta kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan. Umumnya, pemberian THR ini biasanya dijadwalkan jelang Hari Raya Idulfitri setiap tahunnya.
Pemerintah memberikan THR kepada aparatur negara (ASN/PNS/TNI dan Polri), pensiunan, penerima pensiun dan penerima tunjangan, sedangkan pemberi kerja atau perusahaan swasta memberikan kepada para pekerjanya.
Bagi aparatur negara, THR pada 2024 diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 14/2024 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya dan Gaji Ketiga Belas kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan Tahun 2024.
Sementara itu, bagi pemberi kerja atau pihak swasta, kewajiban pemberian THR merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No/6/2016.
Lantas, bagaimana sejarah THR ini? Berikut rangkuman informasi yang dihimpun bisnis mengenai atau asal-usul THR:
Sejarah THR di Indonesia dari Masa ke Masa
Tradisi pemberian THR pertama kali dimulai pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi yang dilantik Presiden Soekarno pada April 1951. Salah satu program kerja kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan Pamong Pradja (kini PNS).
Soekiman, yang merupakan adik kandung Satiman Wirjosandjojo, pendiri Jong Java, menetapkan THR keagamaan sebagai salah satu program kerja Kabinet Soekiman guna meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.
Dengan kata lain, program tunjangan menjelang hari raya ini hanya ditujukan pamong pradja atau yang kini dikenal sebagai ASN/PNS. Saat itu, besaran THR yang dibayarkan kepada para pamong pradja berkisar Rp125–Rp200 per orang.
Selain THR dalam bentuk uang, Kabinet Soekiman juga memberikan tunjangan dalam bentuk beras yang diberikan ke pegawai negeri sipil setiap bulannya.
Patut dimaklumi, situasi ekonomi negara pada periode itu terbilang baik. Namun, belum ada aturan yang mewajibkan perusahaan swasta membayar THR kepada pegawainya kala itu.
Protes Buruh
Kebijakan Kabinet Soekiman yang memberikan THR bagi pamong pradja menuai protes dari kalangan buruh. Protes dilayangkan karena para buruh merasa tidak adil bila pegawai negeri mendapatkan THR, sedangkan mereka tidak.
Padahal, para buruh juga merasa sudah bekerja keras untuk membangkitkan perekonomian nasional. namun sama sekali tak mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Gelombang protes membesar. Bahkan pada 13 Februari 1952, para buruh melakukan aksi mogok kerja guna menuntut pemberian THR dari pemerintah.
Aksi buruh itu kemudian bisa diredam oleh pemerintah. Solusinya, Soekiman meminta perusahaan swasta ikut memberikan THR kepada para pekerjanya.
Kendati begitu, pemberian THR dari pemberi kerja kepada buruh tidak semudah yang dibayangkan.
Pemberian THR bagi pegawai swasta baru menjadi mandatori setelah diatur pemerintah pada 1994. Saat itu, Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan.
Pada 2003, regulasi tersebut disempurnakan dengan terbitnya UU No. 13/ 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa pegawai yang sudah bekerja lebih dari tiga bulan wajib mendapatkan tunjangan.
THR yang diterima juga disesuaikan dengan lamanya masa kerja, sedangkan untuk pekerja yang sudah satu tahun bekerja mendapat THR sebesar 1 bulan gaji kerja.
Pemerintah kembali melakukan revisi aturan tentang THR pada 2016. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa THR diberikan selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan masing-masing pekerja. (*)