Tok! Gugatan Bupati Rokan Hulu Sukiman Dkk Ditolak Mahkamah Konstitusi, Masa Jabatannya Tak Sampai 4 Tahun
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Gugatan Bupati Rokan Hulu Sukiman dkk terkait permohonan agar pilkada serentak digeser ke Desember 2025 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/3/2024). MK menegaskan bahwa pilkada serentak tetap dilaksanakan pada November 2024 mendatang.
Meski demikian, Bupati Sukiman bersama 12 kepala daerah lain yang menjadi pemohon gugatan, tetap akan menjabat hingga terpilih kepala daerah hasil pilkada serentak 2024. Dengan demikian, wacana penunjukan penjabat kepala daerah di 270 daerah (provinsi, kabupaten dan kota) secara otomatis batal dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dalam amar putusan perkara nomor 27/PUU-XXII/2024 tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan Bupati Sukiman dkk atas pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Bunyi pasal 201 ayat (7) UU tersebut pun diubah karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”, kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Selain Bupati Sukiman, 12 kepala daerah lainnya yang mengajukan gugatan ke MK yakni Al Haris (Gubernur Jambi), Mahyedi (Gubernur Sumatera Barat), Agus Istiqlal (Bupati Pesisir Barat), Simon Nahak (Bupati Malaka), Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen), Sanusi (Bupati Malang), Asmin Laura (Bupati Nunukan), Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar), Basri Rase (Walikota Bontang), Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Rusdy Mastura (Gubernur Sulawesi Tengah), dan Ma’mur Amin (Wakil Gubernur Sulawesi Tengah). Sebenarnya, ada total 270 kepala daerah se Indonesia yang terpilih dalam pilkada tahun 2020 lalu.
Mereka merasa dirugikan karena masa jabatannya terancam dipotong hingga lebih 1 tahun, akibat pelaksanaan pilkada serentak 2024 pada 27 November ini. Para penggugat meminta agar pilkada di daerah mereka dilaksanakan pada Desember 2025. Alasannya, Sukiman dkk terpilih dalam pilkada tahun 2020 lalu, dan baru dilantik pada 2021.
Diketahui, Bupati Sukiman memenangi pilkada Rohul pada 2020 lalu. Namun, pilkada Rohul saat itu digugat ke MK sehingga dirinya baru dilantik menjadi Bupati Rokan Hulu pada Senin, 21 Juni 2021. Jika merujuk pada ketentuan masa jabatan kepala daerah selama 5 tahun, idealnya masa jabatan Bupati Sukiman berakhir pada 21 Juni 2026.
Namun, karena Pilkada serentak digelar pada 27 November 2024 mendatang, maka kemungkinan kepala daerah hasil pilkada ini akan dilantik paling cepat pada Januari 2025. Tapi, jika hasil pilkada serentak 2024 digugat ke MK, maka kepala daerah hasil pilkada serentak berpotensi dilantik pada Maret 2025, karena proses persidangan gugatan pilkada di MK memakan waktu maksimal 45 hari kerja.
Pada kasus Bupati Sukiman, maka masa jabatannya akan berkurang sekitar 1 tahun dan 2 bulan (14 bulan).
Pertimbangan Hukum
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan, MK menegaskan terhadap norma Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada memungkinkan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 untuk tetap terus menjalankan tugas dan jabatannya sampai pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melebihi masa jabatan 5 (lima) tahun.
Pemaknaan MK terhadap Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada tersebut berbeda dengan yang dimohonkan oleh para pemohon.
"Maka dalil permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian," kata Saldi Isra.
Terhadap dalil para pemohon mengenai Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada, sambung Saldi, Mahkamah perlu mengaitkannya dengan petitum para pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar norma Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada dimaknai “Pemungutan suara serentak untuk 276 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang mengakhiri masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023 dilaksanakan pada Bulan November 2024 dan pemungutan suara serentak untuk 270 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 dilaksanakan pada Desember 2025”.
Terhadap petitum penggugat tersebut, menurut MK justru akan menghilangkan makna keserentakan yang telah dirancang oleh pembentuk undang-undang. Sebab, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas beberapa gelombang, yaitu pelaksanaan pemilihan serentak pada 2015, 2017, 2018, 2020, dan November 2024.
"Terlebih lagi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024, MK telah menegaskan jadwal pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016, yaitu November 2024," terangnya.
Meskipun penegasan terkait dengan jadwal tersebut tidak diamarkan dalam putusan tersebut, namun melalui putusan a quo, MK penting menegaskan kembali bahwa pertimbangan hukum putusan MK juga mempunyai kekuatan hukum mengikat sebab pertimbangan hukum merupakan ratio decidendi dari putusan secara keseluruhan.
"Berdasarkan pertimbangan hukum, maka permohonan para pemohon berkenaan dengan norma Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang mengakibatkan berubahnya jadwal pemungutan suara serentak secara nasional adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Pendapat Berbeda
Putusan MK tersebut diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Menurut Daniel, MK seharusnya melakukan pendalaman lebih lanjut terhadap perkara tersebut, setidak-tidaknya mendengar keterangan Pemerintah terkait evaluasi pelaksanaan pengisian penjabat kepala daerah setelah Putusan MK Nomor 37/PUU-XX/2022 dan pemaknaan baru terhadap Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 dalam Putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023.
Terlebih lagi, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah mengajukan Surat Nomor 100.4.8/875/SJ, tanggal 19 Februari 2024, perihal Permohonan Untuk Menyampaikan Keterangan Pemerintah yang pada pokoknya memohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi RI agar diberikan kesempatan untuk menyampaikan Keterangan Pemerintah dalam proses persidangan Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024.
"Mahkamah semestinya melanjutkan pemeriksaan perkara a quo ke tahap sidang pleno untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan akurat," demikian pendapat berbeda Daniel Yusmic. (*)