Aroma Kriminalisasi Promissory Note Fikasa Grup, Kuasa Hukum: Tuntutan Jaksa Abaikan Fakta Persidangan, Sekadar Bikin Sensasi!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kuasa hukum terdakwa kasus surat utang (promissory note) Fikasa Grup menilai tuntutan jaksa terhadap kliennya sangat lemah dan tidak berdasar pada fakta persidangan. Jaksa justru dinilai kelimpungan mencari-cari pasal yang diterapkan dan terkesan ugal-ugalan memaparkan data terutama dalam ekspos jumlah uang Fikasa grup. Tindakan jaksa dinilai sekadar mencari sensasi dan kehebohan belaka yang jauh dari fakta persidangan yang sudah terungkap.
"Ketidakmampuan jaksa penuntut jelas terlihat dari waktu yang dibutuhkan dalam menyusun surat tuntutan. Sampai 3 minggu dan satu kali ditunda, karena jaksa kebingungan dalam mendapatkan dasar hukumnya. Jaksa terlalu sensasional dan sengaja membuat heboh saja," kata tim hukum Fikasa Grup, Palti Simamora SH lewat keterangan tertulis diterima SabangMerauke News, Rabu (2/3/2022).
Empat bos Fikasa Grup kemarin dituntut hukuman 14 tahun penjara dan pidana denda Rp 20 miliar subsider 11 bulan kurungan.
Keempat terdakwa yakni Agung Salim, Bhakti Salim, Elly Salim dan Christian Salim. Keempatnya merupakan pengurus sekaligus pemilik dua perusahaan afiliasi Fikasa Grup yakni PT PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo. Kedua perusahaan tersebut menerbitkan surat utang (promissory note) yang akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020 mengalami gagal bayar kepada kreditur.
Palti menegaskan, tuntutan jaksa mengesankan kalau tim jaksa tidak mampu menganalisis kondisi ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 yang membuat sejumlah sektor usaha ambruk. Apalagi, jenis usaha Fikasa Grup bergerak di sektor perhotelan dan consumer goods yang terdampak paling berat akibat pandemi tersebut.
BERITA TERKAIT: Nasabah Investasi Fikasa Grup Minta '4 Salim Bersaudara' Tak Dipidana: Kami Mau Damai, Agar Uang Kami Kembali!
Palti menegaskan, tuntutan jaksa tersebut menegaskan nuansa kriminalisasi dalam perkara tersebut. Kasus ini menurut Palti cenderung merupakan perdata namun dipaksakan ke ranah pidana.
"Tuntutan jaksa dilakukan secara membabi-buta. Tanpa melakukan analisa yuridis yang benar sehingga terkesan sembarangan memberikan tuntutan. Ini kental sekali nuansa kriminalisasi," kata Palti.
Palti menegaskan kalau jaksa banyak menggunakan angka-angka yang salah dalam surat tuntutannya. Hal tersebut menunjukkan jaksa tidak cermat dan gegabah dengan memunculkan jumlah uang Fikasa Grup secara fantastis.
Padahal, majelis hakim yang diketuai Dr Dahlan SH, MH sejak awal sudah mengingatkan agar jaksa membatasi pembuktian pada perkara 10 orang kreditur yang mengaku rugi sebesar Rp 84,9 miliar.
"Nyatanya, jaksa sengaja bikin heboh dengan memunculkan angka uang yang fantastis. Yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dengan laporan 10 kreditur. Jaksa sengaja mencari sensasi sehingga tuntutannya keluar dari konteks perkara yang sebenarnya. Jaksa ingin membangun opini buruk terhadap klien kami dengan angka-angka yang tidak jelas itu," kata Palti.
Palti menyatakan, fakta persidangan mengungkap jelas kalau perkara tersebut adalah masuk dalam lapangan hukum perdata, namun sengaja dipaksakan penyidik dan penuntut umum dibawa ke ranah pidana. Perkara serupa terjadi dengan kasus high yield promissory notes (HYPN) PT Indosterling Optima Investa (IOI) yang oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat divonis bebas segala tuntutan hukum (onslag van alle recht vervolging).
Direktur PT IOI, Sean William Henley pada 3 Februari 2022 lalu diputuskan majelis hakim terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun bukan merupakan tindak pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menegaskan kalau perkara tersebut berada dalam lingkup hukum perdata yakni tindakan ingkar janji (wan prestasi). (*)