Ini yang Membuat Utang Garuda Indonesia Menggunung Hingga Capai Rp 128 Triliun
SABANGMERAUKE, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan masalah keuangan yang saat ini dihadapi oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) disebabkan karena kesalahan manajemen masa lalu yang berujung pada aksi dugaan korupsi, ditambah dengan kondisi pandemi Covid-19.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyebut kondisi ini sebagai perfect story untuk Garuda Indonesia. Untuk itu saat ini perusahaan tengah berupaya untuk memperbaiki struktur biaya (cost structure) untuk menyehatkan kembali kondisi perusahaan.
"Jadi saya sering bertanya Garuda ini kinerjanya turun karena apa, apakah karena korupsi apa karena Covid? Ya dua-duanya, bukan salah satu. Dua-duanya dampaknya, terdampak secara signifikan di dua-duanya menjadi penyebab bersama-sama membuat kondisi perusahaan yang saat ini tidak baik," kata Tiko, panggilan akrabnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11/2021).
Berikut rincian permasalahan yang dialami Garuda saat ini, dirangkum CNBC Indonesia berdasarkan keterangan Wamen BUMN Tiko, Menteri BUMN Erick Thohir, dan pemberitaan CNBC Indonesia dari manajemen perusahaan.
1. Kebanyakan Lessor Pesawat
Wamen BUMN Tiko juga menyebut saat ini jumlah lessor pesawat yang berurusan dengan Garuda Indonesia jumlahnya sangat banyak. Setidaknya saat ini terdapat sebanyak 32 lessor, padahal normalnya untuk sebuah maskapai penerbangan hanya terdapat 4-5 lessor saja.
"Ada 32 lessor dan harus nego one-on-one dan beda caranya. Airline lain cuma 4-5 lessor," kata dia.
2. Jenis Pesawat Banyak
Selain jumlah lessor yang banyak, masalah lainnya yang juga dialami Garuda adalah banyaknya jenis pesawat yang digunakan, berdampak pada inefisiensi keuangan dan tingginya biaya tiket yang ditawarkan kepada calon penumpang.
Wamen menjelaskan, setidaknya jumlah pesawat yang dimiliki Garuda saat ini sebanyak 202 pesawat dengan 13 jenis pesawat. Normalnya, kata dia, satu maskapai hanya memiliki 3-4 jenis pesawat saja.
"Nah di Garuda mulai dari 777, 737, A320, A330, ada CRJ, ATR45, ATR75. Jadi memang pesawatnya banyak sekali dan itu membuat kompleksitas pengelolaan, maintenance-nya sehingga akhirnya cost per seat-nya jadi mahal," terang dia.
3. Rute yang Tidak Menguntungkan
Garuda juga disebut banyak memiliki rute penerbangan yang tidak menguntungkan, terutama untuk rute penerbangan internasional. Sebelumnya rute penerbangan yang dimiliki Garuda sebanyak 437 rute dan rencananya akan dikurangi menjadi 140 rute saja.
"Di mana rutenya itu diperkirakan akan turun dari sekitar 437 rute jadi 140 rute. Ini jadi tantangan karena mungkin akan banyak airport yang akan mengalami kelangkaan jumlah flight karena rutenya akan kita kurang signifikan karena rutenya fokus kepada rute yang menghasilkan positif margin," terang dia.
4. Dugaan Korupsi dan Dampak Covid-19
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo atau biasa disapa Tiko mengatakan dua yakni kasus korupsi dan dampak Covid menjadi faktor utama neraca keuangan perusahaan terus memburuk karena biaya yang harus dikeluarkan perusahaan menjadi sangat tinggi.
"Pertama tentunya kita mengetahui kasus korupsi yang sudah diketahui KPK di mana memang itu mereka pesawat dan sebagainya. Itu memang menjadi isu utama di masa lalu dan ini juga menyebabkan kontrak dengan lessor Garuda ini cukup tinggi dibanding dengan airline lain," kata Tiko, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11/2021).
Mantan Dirut Bank Mandiri ini menjelaskan karena korupsi yang berhubungan dengan lessor atau perusahaan penyewa pesawat tersebut, biaya sewa pesawat alias aircraft rental cost perusahaan mencapai 24,7% dari pendapatan perusahaan. Angka ini empat kali lipat lebih tinggi dibanding dengan maskapai lainnya.
Selanjutnya, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu juga menjadi penyebab berikutnya kondisi keuangan perusahaan makin memburuk.
"Kalau kita lihat mulai Januari 2020 turun revenue per bulannya. Itu dulu US$ 235 juta-US$ 250 juta peak-nya pada 2019 akhir. Drop pernah di US$ 27 juta per bulan dan saat ini di kisaran US$ 70 juta dan itu terlihat setiap kali ada pengetatan selalu ada downside risk kepada Garuda setiap ada pengetatan daripada pergerakan ataupun penerapan PCR," kata Tiko.
"Tentunya setelah 2020/2021 ini harus diakui bahwa pandemi Covid menjadi trigger. Kenapa kemudian saya istilahkan menjadi perfect story buat Garuda karena di saat Garuda memang berjuang dengan cost structure yang tinggi untuk bersaing, kemudian revenue base-nya turun secara signifikan," ungkap dia.
Untuk itu, korupsi dan pandemi ini dinilai menjadi faktor utama terjadinya pemburukan pada kondisi perusahaan.
"Jadi saya sering bertanya Garuda ini kinerjanya turun karena apa, apakah karena korupsi apa karena Covid? Ya dua-duanya, bukan salah satu. Dua-duanya dampaknya, terdampak secara signifikan di dua-duanya menjadi penyebab bersama-sama membuat kondisi perusahaan yang saat ini tidak baik," tegas Tiko.
Sejak tahun lalu, Garuda memang digegerkan dengan pemberitaan mengenai dugaan skandal korupsi pemesanan pesawat jenis Bombardier.
Sebelumnya Serious Fraud Office (SFO) alias lembaga penyidik tindak pidana pasar keuangan Inggris melakukan penyelidikan terkait dugaan korupsi Bombardier dan Garuda terkait pemesanan pesawat pabrikan Kanada tersebut.
Otoritas Inggris ini turun tangan mengingat saham Class B Bombardier tercatat di Bursa London Stock Exchange (LSE).
Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mendukung penuh pemeriksaan yang dilakukan SFO. Lembaga ini tengah menyelidiki dugaan penyuapan dan korupsi terkait kontrak dan pesanan Garuda.
"Kami di Kementerian BUMN sangat mendukung untuk penindaklanjutan masalah hukum di Garuda karena ini merupakan bagian dari Good Corporate Governance dan transparansi yang dijalankan sejak awal kami menjabat," kata Erick melalui pesan singkat, Jumat (6/11/2020).
5. Total Kewajiban Rp 138 T, Ekuitas Minus
Dalam paparannya, Wamen Tiko menjelaskan masalah utama yang saat ini dialami Garuda adalah tingginya tingkat utang perusahaan.
Tercatat perusahaan memiliki total kewajiban mencapai US$ 9,756 miliar atau setara Rp 138,53 triliun (asumsi kurs Rp 14.200/US$) di neraca keuangan Garuda. Dari nilai tersebut, utang terbesar adalah kepada lessor yang mencapai US$ 6,351 miliar atau Rp 90,14 triliun.
Terbesar selanjutnya adalah utang bank senilai US$ 967 juta atau Rp 13,73 triliun dan utang kepada vendor BUMN senilai US$ 630 miliar atau Rp 8,94 triliun.
Dengan kondisi ini, perusahaan tengah berada dalam negatif ekuitas senilai US$ 2,82 miliar atau setara dengan Rp 40,04 triliun per September 2021.
Kondisi ini terus memburuk sebab setiap bulannya nilai ekuitas negatif ini terus meningkat setiap bulannya sebesar US$ 100 juta-US$ 150 juta (Rp 1,42 triliun-Rp 2,13 triliun).
"Nah sementara dalam kondisi seperti ini kalau istilah perbankan sudah technically bankrupt, technically, tapi legally belum. Ini yang sekarang kita berusaha bagaimana kita bisa keluar dari situasi yang secara technically bankrupt, karena practically semua kewajiban Garuda sekarang sudah tidak dibayar, bahkan gaji pun sebagai sudah ditahan," ungkapnya.
Dalam paparannya, Tiko menjelaskan bahwa dari total kewajiban yang ada, sebetulnya utang dari sewa pesawat mendominasi mencapai US$ 9 miliar atau setara Rp 128 triliun.
"Kalau bapak ibu melihat neraca, ada ekuitas negatif US$ 2,8 miliar, rekor [ekuitas negatif BUMN terbesar] itu dulu dipegang PT Asuransi Jiwasraya kini dipegang Garuda," katanya dalam forum tersebut.
Sebab itu perseroan berkomitmen terus melakukan pembicaraan dengan para lessor untuk melakukan restrukturisasi, menurunkan kewajiban Garuda dari US$ 9,75 miliar menjadi US$ 2,6 miliar.
Pembicaraan itu dilakukan dengan lessor dan juga bank-bank termasuk Bank Himbara dan juga BUMN Pertamina. (*)