Langgar Aturan Dagang Karbon, KLHK Cabut Izin PT Rimba Raya Conservation Seluas 36.331 Hektare
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membekukan dan mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Rimba Raya Conservation (RRC) karena melakukan pelanggaran perdagangan karbon.
Hal ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.146/Menhut-II/2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam.
Direktur Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan, Khairi Wenda mengungkap, pencabutan tersebut disebabkan karena PT. Rimba Raya Conservation selaku pemegang PBPH antara lain telah melakukan pemindahtanganan perizinan kepada pihak ketiga melalui tanpa persetujuan dari Menteri LHK.
Serta melakukan transaksi perdagangan karbon lebih luas dari areal perizinan (PBPH) yang dimiliki, melanggar perjanjian kerja sama dengan Taman Nasional Tanjung Puting, serta dinilai tidak membayarkan PNBP sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, ia menyebut penerapan sanksi ini merupakan penegakan peraturan dalam perdagangan karbon di Indonesia.
Selain merupakan ketaatan terhadap konstitusi, juga dalam rangka mencegah double counting dan double claim antar negara dalam upaya bersama menurunkan emisi karbon sesuai Paris Agreement yaitu membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dan berusaha untuk menuju 1,5 derajat Celcius.
Sebagai informasi, dalam Perpes 98 Tahun 2021 serta PermenLHK 21/2022 secara ketat diatur tata cara pelaksanaan perdagangan karbon antara lain sebagai berikut:
a. Pelaku usaha/kegiatan mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi GRK ke dalam Sistem Registri Nasional (SRN);
b. Pelaku usaha/kegiatan dalam menghitung penurunan emisi GRK harus sesuai dengan prinsip MRV (Measurable, Reportable, Verifiable) cara penghitungan yang sesuai dengan standar nasional dalam sistem dan metoda Indonesia (SNI) merujuk kepada metodologi IPCC serta sudah disepakati secara nasional melalui Panel Metodologi di KLHK.
Kompatibilitas terhadap perdagangan yang sudah terjadi sejak lama bisa dilakukan dengan penyesuaian dalam prosedur yang sederhana, sehingga tidak akan menyulitkan pihak-pihak pelaku perdagangan karbon.
c. Apabila penurunan emisi GRK yang telah dihitung akan diperdagangkan, maka harus diubah ke dalam bentuk Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) melalui proses sertifikasi. SPE menjadi alat tukar yang bernilai moneter.
d. Untuk melakukan perdagangan karbon luar negeri perlu dilakukan otorisasi sehingga dapat diketahui seberapa besar karbon yang diperdagangkan, kemana karbon tersebut akan di tujukan, termasuk berapa harga atau nilai karbon dimaksud.
Otorisasi tersebut dilakukan juga untuk menghindari terjadinya kontrak karbon yang tidak terkendali yang selain dapat mengakibatkan hilang potensi negara juga mempengaruhi tata kelola pengelolaan hutan.
Sementara diketahui, PT Rimba Raya Conservation sebelumnya mengelola konsesi seluas 36.331 hektare di Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.146/Menhut-II/2013. (*)