Respon KPK Soal Investigasi Majalah Tempo Terkait Dugaan Cawe-cawe Izin Tambang Menteri Bahlil
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK merespons laporan investigasi Majalah Tempo berjudul Tentakel Nikel Menteri Bahlil edisi pekan ini, 3 Maret 2024.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia diduga menyalahgunakan wewenang dalam pencabutan dan perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) dengan mematok tarif atau fee Rp 5-25 miliar untuk menghidupkan kembali IUP yang telah dicabut.
“Informasi Tempo akan menjadi atensi KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada Tempo, Senin (4/3/2024).
Alex mengatakan KPK mencermati informasi yang disampaikan masyarakat atau laporan investigasi Majalah Tempo. Selanjutnya KPK akan mempelajari informasi itu dan melakukan klarifikasi kepada para pihak yang dilaporkan mengetahui atau terlibat dalam proses perijinan tambang nikel.
“KPK akan berkoordinasi dengan Kementerian Investasi/BKPM. Laporan investigasi Tempo sudah dianggap juga informasi dari masyarakat. Apalagi mereka sudah klarifikasi ke beberapa pengusaha,” kata Alex.
Dalam laporan Majalah Tempo, pencabutan IUP membuat banyak pengusaha tambang resah. Para pengusaha mengaku izin usaha pertambangannya telah dicabut Bahlil dengan kebijakan yang dinilai tebang pilih.
Berdasarkan cerita para pengusaha, orang-orang di sekeliling Bahlil meminta upeti untuk menghidupkan kembali IUP yang telah dicabut. Besarannya Rp 5-25 miliar. Informasi ini pun dibenarkan oleh tiga kolega Bahlil.
Kepala Biro Hukum Kementerian Investasi Rilke Jeffri Huawe mengaku mendapatkan informasi serupa dari sejumlah pengusaha. “Pernah ada pengusaha datang ke saya dan mengeluh soal permintaan fee,” ujar Rilke.
Para pengusaha itu juga mendapatkan informasi bahwa izin perusahaan Bahlil tetap berlaku meski tak produktif.
Bahlil mengklaim telah mencabut 2.078 izin tambang dengan dalih ketiadaan produksi. Namun, klaim 2.078 izin tambang dicabut sejak awal 2022 dibantah Kepala Biro Hukum Kementerian Investasi Rilke Jeffri Huawe. Menurut Rilke, jumlahnya tak sebesar itu karena ada juga daerah otonomi seperti di Aceh yang batal dicabut.
Bahlil tak menanggapi pesan dan panggilan telepon Majalah Tempo. Ia pun tak membalas surat permintaan wawancara yang dikirim dua kali ke kantor dan rumah dinasnya. (*)