Tajuk Redaksi
Pekanbaru Setelah 23 Mei 2024...
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Tak terasa, sudah hampir dua tahun lamanya Muflihun menduduki kursi Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru. Ia dilantik pertama kali pada 23 Mei 2022 silam. Setahun kemudian, Muflihun mendapat perpanjangan masa jabatan.
Pada Selasa, 23 Mei 2023, Muflihun kembali diangkat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk meneruskan tugasnya. Itu artinya, masa jabatannya akan berakhir tinggal hitungan dua bulan lagi, tepatnya 23 Mei 2024 mendatang.
Beda cerita kalau ternyata nantinya jabatan Muflihun akan diperpanjang lagi oleh Mendagri untuk tahun ketiga. Entahlah.
Rezim pilkada serentak membuat Muflihun bisa menjadi orang nomor satu di Kota Bertuah selama hampir dua tahun, tanpa bersusah payah harus ikut pilkada. Ini terasa spesial dan berkah untuk seorang yang bermimpi menduduki jabatan eksekutif tertinggi di level kota.
Soal cost yang dikeluarkan, publik tak pernah tahu, hanya sekadar menerka-nerka. Tapi rasanya jauh lebih 'murah' ketimbang biaya pilkada.
Sudah jadi rahasia umum, untuk mendapatkan tiket perahu parpol, seorang calon kepala daerah konon harus merogoh kocek tak sedikit, apalagi bukan kader partai. Itu pun terkadang kena tipu muslihat, karena di injury time rekomendasi parpol bisa berubah seketika. Perkara lobi-melobi, juga bukan gratis. Everythings about cost.
Praktis, hampir tak ada perbedaan tugas dan kewenangan antara penjabat wali kota dengan wali kota defenitif hasil pilkada. Posisi politiknya justru lebih kuat. Nasib jabatannya hanya ditentukan oleh Mendagri yang konon melakukan penilaian tiap 3 bulan. Sepanjang Mendagri puas dan menilai masih layak, maka jabatannya tetap aman.
Bahkan, dalam banyak hal, keberadaan DPRD pun tak lagi efektif dalam mengontrol jalannya pemerintahan eksekutif (Pj Wali Kota). DPRD kini sekadar menjadi lembaga stempel doang. Sikapnya belum tentu didengar, apalagi oleh Mendagri.
Tapi, dua tahun masa pemerintahan Muflihun, apakah wajah Kota Pekanbaru telah berubah?
Jawaban pertanyaan ini tentu akan subjektif. Ukurannya pun bisa bermacam-macam. Semua pihak bebas menilai, tak ada yang salah.
Pertanyaan reflektif itu layak untuk disampaikan ketika mekanisme dan ukuran kinerja Pj Wali Kota hanya disandarkan dari penilaian Mendagri di Jakarta. Suara DPRD tak lagi dihiraukan, meski judul lembaganya merupakan representasi rakyat.
Tentu saja editorial ini bukanlah paparan hasil survei yang ditujukan mengukur tingkat kepuasan masyarakat Kota Pekanbaru terhadap kinerja Pj Wali Kota Muflihun.
Editorial ini tak lebih sekadar oret-oretan, nukilan kecil ocehan di warung kopi. Tapi, cerita warung kopi saat ini tak bisa lagi disepelekan, karena terkadang bisa menjadi representasi suara hati masyarakatnya.
Secara umum, ukuran majunya sebuah kota hanya terletak pada satu indikator saja, yakni apakah warganya bahagia. Kebahagiaan tentu tidak semata ditentukan dengan tebalnya kantong rakyatnya. Namun, lebih dari itu yakni kemudahan mereka bisa beraktivitas, bebas dari bencana dan kenyamanan untuk tinggal.
Bila ukurannya adalah tiga elemen di atas, maka hampir dipastikan warga Kota Pekanbaru belumlah bahagia. Jalan rusak berlubang-lubang, banjir dan genangan air dimana-mana, sampah berserakan, tukang parkir merajalela dan aneka keluhan warga lain masih terlalu sering untuk didengarkan.
Ironisnya, penanganan masalah dasar itu seperti masih jalan di tempat. Langkah yang dilakukan tak sesuai espektasi, normatif dan lamban serta tak terukur.
Kita masih terlalu sering mendengar alasan terbatasnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), didengungkan sebagai hambatan penanganan masalah dasar itu tak kunjung terselesaikan. Tapi, di sisi lain kita juga terus menyaksikan banyaknya agenda-agenda seremonial Pemko Pekanbaru yang menyedot APBD. Ini dua hal yang sangat kontradiktif.
Untuk ukuran kota sekelas Pekanbaru, rasa-rasanya pemerintah harus mampu mencari sumber pendapatan daerah yang lebih besar. Keberhasilan menembus target PAD, bukanlah ukuran kinerja yang sesungguhnya.
Bisa saja target PAD dibuat ala kadarnya (ukuran batas minimal), sekadar untuk menunjukkan kalau OPD terkait bisa bekerja. Potensi PAD dan pajak daerah harus benar-benar dihitung ulang, pada sisi lain kebocoran harus ditambal.
Rasanya, sangat sulit berharap akan banyak perubahan di Kota Pekanbaru jelang 23 Mei 2024 mendatang, di ujung masa tugas Pj Wali Kota Muflihun. Dua bulan adalah waktu yang sangat singkat.
Kita membutuhkan kepemimpinan baru yang lebih greget dalam menyelesaikan masalah dasar di kota ini. Kita mencari sosok pemimpin kota yang memiliki visi jelas, kreatif, berani dan mau bekerja lebih serius.
Penjabat Gubernur Riau, SF Hariyanto dua hari lalu mengaku malu melihat banyaknya jalan berlubang di Kota Pekanbaru. Ia menyebut susah mencari jalan bagus di Pekanbaru, padahal kota ini adalah perwajahan Riau yang dikenal sebagai daerah kaya.
Ibarat teras rumah provinsi, Kota Pekanbaru mestinya bisa berdandan lebih elok dan memikat. Bukan menampilkan wajah bopeng-bopeng dan tak terurus.
Pekanbaru setelah 23 Mei 2024 harus lebih baik. Saatnya para calon wali kota muncul dan berani bertarung. Kapan lagi, pilkada sudah di depan mata. Rakyat di kota ini butuh perubahan, bukan sekadar keberlanjutan. (*)