Ironi Calon Pegawai BUMN Harus Ikuti 7 Tahapan Seleksi, Tapi Kursi Komisaris Justru Dibagi-bagi
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Kinerja sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini sudah mengkhawatirkan dan butuh pengawasan yang kuat dari komisaris yang kompeten.
Sehingga, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai, balas jasa politik dalam bentuk bagi-bagi komisaris BUMN mesti dihentikan.
"Saat ini, kinerja BUMN besar, mulai dari Angkasa Pura, Hutama Karya, Garuda Indonesia, hingga Pertamina sangat mengkhawatirkan. Utang menggunung dengan tingkat kerentanan bisnis yang sangat tinggi," katanya dilansir dari Tempo, Minggu (25/2/2024).
Jual beli jabatan komisaris, kata Media, jelas berdampak pada kinerja BUMN. Mulai dari ketidakstabilan organisasi, inefisiensi, hingga kredibilitas.
"Selama beberapa tahun terakhir, jumlah kasus korupsi di BUMN tercatat merugikan negara hingga Rp 50 triliun. Itu belum termasuk kasus korupsi yang tidak terungkap, serta masalah nepotisme di BUMN yang tidak bisa dihitung dampaknya secara kuantitatif," kata Media.
Sementara, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, negara telah merugi akibat korupsi di BUMN setidaknya Rp 47,92 triliun sepanjang 2016 hingga 2021. Kerugian tersebut diungkap dalam 119 kasus korupsi yang telah disidik aparat penegak hukum di lingkungan BUMN.
Temuan ICW menunjukkan, ada 83 aktor korupsi dengan latar belakang pimpinan menengah di BUMN. Sementara itu, 76 pegawai BUMN tercatat sebagai aktor korupsi dan 51 aktor korupsi dari kalangan direktur BUMN. Sedangkan 40 aktor korupsi lagi diklasifikasikan berlatar belakang pekerjaan lain.
Selain besarnya potensi korupsi dan nepotisme, Media juga menyoroti kacaunya pengawasan terhadap kinerja organisasi.
Tak hanya itu, penunjukan komisaris BUMN sebagai balas jasa politik juga menjadi preseden buruk bagi anak muda. Peserta seleksi pegawai BUMN harus mealui tes berjenjang, bahkan hingga tujuh tahapan.
"Mereka diseleksi psikologisnya, keilmuannya, dilatih tentang pentingnya akuntabiltas. Tapi ketika komisarisnya malah dipilih dari kalangan politisi dan inkompeten, itu akan membuat anak muda makin pesimis dengan bangsa ini," ujar Media.
Hal ini, kata Media, sangat berbahaya. Berbahaya sekali.
"Lambat laun mereka juga menerima sistem yang rusak seperti ini dan melakukan hal yang sama. Seharusnya Jokowi malu dan orang-orang terdidik di belakang Jokowi malu masih melanggengkan strategi politik kuno seperti ini," ucapnya.
Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat dua pendukung Prabowo-Gibran sebagai komisaris. Erick mengangkat Prabu Revolusi sebagai komisaris independen PT Kilang Pertamina Internasional dan istri Arief Rosyid, Siti Zahra Aghnia, sebagai Komisaris Independen PT Pertamina Patra Niaga.
Arief sendiri sebelumnya menjabat komisaris Bank Syariah Indonesia namun mundur setelah masuk dalam tim kampanye Prabowo-Gibran pada Pemilu 2024. (*)