Ternyata Ini Alasan Patah Hati Itu Menyakitkan
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Patah hati bisa dialami siapa saja dan penyebabnya bisa sangat beragam, seperti berpisah dengan pasangan, dikhianati oleh teman dekat, dan lain-lain.
Saat dilanda patah hati, kita merasa sedih, stres, dan tidak bersemangat. Sementara itu, stres yang berkepanjangan atau meningkat dari waktu ke waktu, dapat berakibat buruk bagi kesehatan.
Mengapa patah hati sangat menyakitkan?
Ada alasan fisiologis mengapa patah hati bisa menjadi pengalaman yang menyakitkan. Saat seseorang jatuh cinta, terjadi pencurahan hormon secara alami di dalam tubuhnya. Ini termasuk hormon oksitosin dan hormon dopamin.
Namun, saat putus cinta, kadar oksitosin dan dopamin turun, sementara pada saat yang sama terjadi peningkatan kadar hormon yang bertanggung jawab atas stres, yakni hormon kortisol
Peningkatan kadar kortisol ini dapat menyebabkan kondisi seperti tekanan darah tinggi, penambahan berat badan, munculnya jerawat, dan peningkatan kecemasan.
Menurut sebuah studi tahun 2011 di jurnal Biological Sciences, penolakan sosial, seperti putus dari pasangan, juga mengaktifkan area otak yang berhubungan dengan rasa sakit fisik.
Dalam penelitian tersebut, peserta studi yang baru saja putus cinta diperlihatkan foto mantan pasangannya.
Pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) terhadap para peserta menemukan, area otak yang biasanya berhubungan dengan cedera fisik, termasuk korteks somatosensori sekunder dan insula posterior dorsal, diaktifkan.
Efek neurobiologis dari patah hati juga bisa mencapai tingkat yang sangat tinggi sehingga disamakan dengan rasa sakit fisik dengan gejala seperti nyeri dada dan serangan panik.
Patah hati melibatkan mekanisme saraf
Eric Ryden, dokter psikologi klinis dan terapis di klinik Couples Therapy, mengatakan, patah hati tampaknya melibatkan beberapa mekanisme saraf yang sama seperti rasa sakit fisik.
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis, yang biasanya saling mengimbangi, keduanya bisa diaktifkan saat patah hati. Sistem saraf simpatik bertanggung jawab atas respons fight-or-flight, mempercepat detak jantung dan pernapasan, sedangkan sistem saraf parasimpatis bertanggung jawab atas tubuh saat istirahat.
Hormon yang dilepaskan saat patah hati mengaktifkan kedua bagian sistem saraf ini. Menurut Ryden, otak dan jantung, yang merespons jalur ini, menjadi bingung karena menerima pesan yang beragam.
Hal ini dapat mengakibatkan gangguan pada aktivitas listrik jantung, dengan variabilitas detak jantung yang lebih rendah. Seringkali orang dengan variabilitas detak jantung rendah juga akan menunjukkan gejala seperti kelelahan, kecemasan, depresi, dan kurang tidur. (*)