Ironi Gajah Rahman Mati Diracun dan Sikap Menteri LHK Tak Kunjung Eksekusi Putusan Kebun Sawit 1.200 Ha di TNTN yang Digugat Yayasan Riau Madani
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kematian gajah latih bernama Rahman di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau menyisakan misteri dan kisah perih. Hingga kini, otoritas terkait belum berhasil mengungkap siapa pihak yang membunuh Rahman.
Gajah Rahman merupakan salah satu ikon dari TNTN, hutan konservasi yang kerap digadang-gadang sebagai hamparan hutan tropis paru-paru dunia. Hasil nekropsi menyimpulkan Rahman tewas dibunuh dengan cara diracun. Pelakunya memotong gading gajah Rahman.
Kematian gajah Rahman pada Rabu, 10 Januari 2024 lalu, telah menimbulkan duka bagi dunia konservasi dan pecinta lingkungan. Seharusnya, TNTN menjadi tempat yang aman bagi satwa dilindungi, tapi faktanya hewan sebaik Rahman bisa terbunuh. Apakah TNTN gagal menjadi rumah yang aman bagi gajah dan satwa dilindungi lainnya?
Kematian gajah Rahman seharusnya menjadi alarm keras bagi otoritas terkait, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan introspeksi terhadap kinerjanya di TNTN. Soalnya, pengelolaan dan pengamanan TNTN berada di bawah kendali KLHK melalui Balai TNTN.
Jika kematian gajah Rahman masih dianggap peristiwa biasa, maka alamatlah satwa-satwa langka dilindungi lainnya seperti gajah Sumatera dan harimau Sumatera yang populasinya kian seret, akan menunggu giliran dari aksi pembantaian orang-orang yang tak memiliki hati.
BERITA TERKAIT: Inkrah! Kasasi Menteri LHK Dkk atas Gugatan Yayasan Riau Madani Ditolak, MA Perintahkan Proses Hukum Kebun Sawit 1.200 Hektare di TNTN
Dalam kurun tiga tahun terakhir, kasus kematian harimau Sumatera dan gajah Sumatera di Riau berlangsung kian massif. Pada sisi lain, sejumlah nyawa manusia juga hilang karena amukan satwa tersebut.
Kematian gajah Rahman seharusnya juga membuat KLHK merevisi sikapnya atas gugatan yang dilayangkan Yayasan Riau Madani terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 di hutan konservasi TNTN. Sejak 27 November 2023 lalu, perkara ini sebenarnya sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah) oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru.
Perlu dicatat, bahwa keberadaan kebun sawit seluas 1.200 hektare itu hanyalah bagian kecil dari aksi massif alih fungsi hutan konservasi TNTN. Faktanya memang, puluhan ribu hektare area TNTN sudah beralih fungsi menjadi kebun sawit.
Gugatan Yayasan Riau Madani terhadap Menteri LHK, Dirjen Gakkum KLHK dan Kepala Balai TNTN tersebut, harusnya menjadi pintu masuk dan ajang pembuktian akan kesungguhan KLHK dalam mengamankan dan menyelamatkan TNTN. Putusan hukum yang sudah inkrah itu, mestinya segera dieksekusi dan tak perlu diulur-ulur lagi.
Adalah sikap ksatria jika sejak terbitnya putusan PTUN Pekanbaru (putusan tingkat pertama) nomor: 26/G/TF/2022/ PTUN.PBR tanggal 15 November 2022 lalu, Menteri LHK dkk langsung mengambil tindakan konkret dengan segera mengeksekusinya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, KLHK menempuh upaya banding ke PT TUN Medan.
Ironisnya, ketika PT TUN Medan pun telah menolak banding, lagi-lagi putusan itu pun tak mau diterima dengan baik oleh Menteri LHK dkk. Sebaliknya, Menteri LHK terus melanjutkan perlawanan dengan menempuh upaya hukum kasasi.
Perlawanan terakhir Menteri LHK cs pun kandas pada 3 Oktober 2023 lalu, ketika Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi Menteri LHK dkk. Berdasarkan putusan MA, Menteri LHK dan Dirjen Gakkum KLHK diperintahkan melakukan proses hukum berupa penyegelan dan penyidikan hukum terhadap keberadaan kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN.
Tapi, cerita ini ternyata belum ditutup. Sejak putusan MA diketuk dan terbitnya penetapan perkara dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap oleh PTUN, hingga kini Menteri LHK dkk tak kunjung mengeksekusi putusan tersebut.
Publik pun bertanya-tanya, mengapa Kementerian LHK masih terus 'menunda' pelaksanaan eksekusi putusan MA. Publik juga mewanti-wanti apakah justru Menteri LHK dkk kembali menempuh upaya hukum luar biasa lewat Peninjauan Kembali (PK).
Jika Menteri LHK dkk memilih untuk menempuh PK, maka kepada siapa lagi publik bisa menagih penyelamatan TNTN? Bukankah TNTN sudah kondisi kritis?
Seperti yang disampaikan Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, MH, gugatan yang dilayangkan pihaknya semata hanya ingin menagih kewajiban dan tugas konstitusi negara (KLHK) dalam menjaga kawasan hutan yang tersisa. Sebab, kata Surya, tidak ada cara lain yang ampuh untuk menyelamatkan TNTN, selain penegakan hukum yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang merambah TNTN.
"Seharusnya gugatan kami yang sudah diputus inkrah oleh MA dimaknai sebagai dukungan ke KLHK untuk menyelamatkan TNTN. Bukan seperti sekarang kesannya justru kami dijadikan lawan. Orientasi kami adalah menyelamatkan TNTN yang sebenarnya ini merupakan tugas pokok negara melalui Kementerian LHK," tegas Surya Darma.
Surya menyebut eksekusi putusan mesti segera dilaksanakan mengingat kegiatan di kebun sawit pada areal TNTN yang menjadi objek perkara hingga kini masih terus berlanjut.
"Putusan hukum yang sudah inkrah ini sebagai ujian penting sejauh mana negara dalam hal ini Menteri LHK bertanggung jawab atas kondisi TNTN yang sudah hancur lebur oleh kegiatan pembukaan kebun sawit ilegal yang berlangsung massif berkelanjutan," tegas Surya Darma.
Menurut Surya, kematian gajah latih Rahman adalah peringatan keras bagi KLHK untuk melakukan refleksi dan introspeksi dalam menyelamatkan TNTN secara nyata dan komprehensif.
"Atau apakah KLHK masih harus menunggu-nunggu tewasnya satwa langka dilindungi lainnya?," kritik Surya.
Masyarakat Adat Kecewa ke Menteri LHK
Sebelumnya, masyarakat adat Pelalawan, Provinsi Riau kecewa berat dengan sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare di hutan konservasi TNTN.
Hulubalang Datuk Engku Raja Lela Putra Wajir Tengku Besar Pelalawan, Marjoni menyatakan, langkah Menteri LHK Siti Nurbaya yang tidak melaksanakan putusan MA patut dicurigai.
"Ada apa di balik semua ini? Mengapa putusan hukum MA sebagai putusan hukum yang tertinggi belum dilaksanakan. Katanya, kita negara hukum yang harus taat pada hukum, tapi institusi pemerintah sendiri terkesan tidak patuh pada putusan hukum," kata Marjoni kepada SabangMerauke News, Selasa (12/12/2023).
Marjoni menyatakan, jika pemerintah saja tidak tunduk pada putusan hukum, maka hal itu akan dicontoh oleh masyarakat. Ia khawatir, dengan tidak dilakukannya putusan MA terhadap 1.200 hektare kebun sawit di TNTN tersebut, akan membuat para perambah TNTN bersorak-sorai bergembira serta melanjutkan aksi perambahan hutan konservasi TNTN.
Marjoni khawatir, tidak dilaksanakannya putusan MA yang sudah inkrah tersebut, akan menjadi preseden buruk dan meningkatkan laju pengerusakan TNTN.
"Apakah memang TNTN ini mau dihancurkan sampai habis? Mengapa Menteri LHK tidak langsung menjalankan putusan MA yang sudah inkrah itu? Rasanya aneh sekali," kata Marjoni.
"Kan ini aneh namanya, ketika ada putusan hukum yang pro pada penyelamatan hutan TNTN, tapi Menteri LHK tak melaksanakannya dengan segera. Apakah memang Menteri LHK tidak pro penyelamatan hutan? Ini menjadi tanda tanya publik, ada apa di belakang semua ini. Kami minta agar Menteri LHK patuh dan menjalankan putusan MA tersebut," tegas Marjoni.
Ia mengingatkan, lahan area hutan konservasi TNTN secara historis merupakan warisan Kerajaan Pelalawan yang diserahkan ke negara. Harapannya, keberadaan hutan tersebut bisa lestari dan menjadi penyangga kehidupan masyarakat. Masyarakat adat Pelalawan dulunya hidup berdampingan dengan alam.
"Putusan MA atas gugatan Yayasan Riau Madani yang sudah inkrah ini harusnya menjadi momentum penyelamatan TNTN. Kami akan mengawalnya. Segera harus dieksekusi," tegas Marjoni.
Isi Putusan Kasasi MA
Dalam putusan kasasinya MA mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani. MA juga memerintahkan Dirjen Gakkum KLHK semula merupakan tergugat I (pemohon kasasi I) untuk membatalkan izin-izin yang berada di hutan konservasi kawasan pelestarian alam TNTN, khususnya terhadap areal kebun sawit seluas 1.200 hektare yang menjadi objek gugatan.
Majelis hakim agung MA dalam putusannya juga telah mewajibkan Kepala Balai TNTN awalnya tergugat II (pemohon kasasi II) untuk menertibkan izin-izin di TNTN, khususnya terhadap areal kebun sawit seluas 1.200 hektare.
Secara khusus, MA juga mewajibkan Dirjen Gakkum KLHK dan Menteri LHK semula tergugat III (pemohon kasasi III) untuk melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan menghentikan kegiatan pemanfaatan TNTN yang telah disulap menjadi kebun sawit seluas 1.200 hektare.
"Dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan atau tindakan hukum lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," demikian bunyi putusan kasasi MA.
Adapun trio Hakim Agung yang menyidangkan kasasi ini diketuai oleh Dr Yulius dan dua anggota majelis hakim agung yakni Lulik Tri Cahyaningrum serta Yodi Martono Wahyunadi.
Pihak Kementerian LHK sejak awal tak pernah merespon dan memberikan pernyataan ke media ikhwal gugatan hukum Yayasan Riau Madani ini.
Dalam perkara kualifikasi tindakan administrasi pemerintah/ tindakan faktual ini, Yayasan Riau Madani menyeret Kepala Balai TNTN, Menteri LHK dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK sebagai pihak termohon.
Disebut-sebut kalau kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar di kawasan konservasi TNTN diduga dikelola atau terafiliasi dengan PT Inti Indosawit Subur. Meski demikian, manajemen PT Inti Indosawit Subur telah membantah keras tudingan serius tersebut.
Perusahaan yang terafiliasi dengan Asian Agri Grup ini menolak disebut sebagai pengelola kebun sawit. PT Inti Indosawit Subur sepanjang persidangan selalu mangkir, meski PTUN Pekanbaru sudah melakukan dua kali pemanggilan. (*)