Tajuk Redaksi
Cerita Usang Penertiban Kebun Kelapa Sawit Ilegal di Riau, Sekadar Membentuk Satgas dan Pansus Tapi Apa Hasilnya?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Isu seksi perkebunan kelapa sawit ilegal dan yang tak mengantongi perizinan lengkap di Riau kembali mengemuka dalam sebulan terakhir. Bermula dari kisruh perkebunan sawit PT Surya Intisari Raya (SIR) yang dipersoalkan kelompok masyarakat, hingga Gubernur Riau Edy Natar Nasution kemudian menginstruksikan pembentukan tim terpadu untuk menelisik persoalan tersebut.
Belakangan, Edy Natar pada Rabu (24/1/2024) mengumpulkan sejumlah pengusaha pemanfaat lahan di Riau khususnya di sektor kepala sawit, pimpinan daerah dan unsur masyarakat. Isu yang dibahas lagi-lagi seputar perizinan lahan.
Dalam rapat itu, Edy Natar mengemukakan ada sebanyak 128 korporasi sawit di Riau yang tak memiliki hak guna usaha (HGU). Ia menyebut dari luas perkebunan sawit 1,73 juta hektare, baru 145 perusahaan perkebunan sawit yang mengantongi HGU dengan luasan lahan 992.992 hektare atau baru 57 persen.
Entah mengapa, isu perizinan lahan kembali muncul di tengah momentum politik pemilu 2024 yang kian dekat. Apakah hanya sekadar move, atau benar-benar langkah serius membenahi carut marut penggunaan lahan perkebunan dan kehutanan di Riau, biarkan publik yang menilai.
Cerita penggunaan lahan perkebunan dan kehutanan ilegal di Riau bukanlah kisah baru. Masih ingat begitu gegap-gempitanya DPRD Provinsi Riau membentuk Panitia Khusus (Pansus) Monitoring Perizinan Lahan pada 2017 lalu?
Kala itu, banyak pihak dibuat kaget. Temuan pansus cukup fantastis: dari 4,2 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Riau, seluas 1,8 juta hektare di antaranya tergolong perkebunan sawit ilegal dengan segala macam jenis perizinan yang belum dikantongi pengelola perkebunan.
Namun, hebohnya temuan Pansus Monitoring Perizinan Lahan DPRD Riau itu seakan terbang begitu saja. Kita tak bisa melihat action lanjutannya dari para pihak dan otoritas terkait. Temuan pansus sekadar macan kertas yang tak terdengar lagi saat ini.
Di awal kepemimpinannya, duet Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, Syamsuar-Edy Natar Nasution pada 2019 lalu juga telah membentuk tim menelisik persoalan lahan di Riau. Gubernur Syamsuar menamakan tim ini dengan nomenklatur Tim Satgas Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan Hutan/Lahan Secara Ilegal Riau. Penetapan tim dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau.
Tim Terpadu bentukan Gubernur Syamsuar ini terbilang super jumbo dan superkomplit, dengan pelibatan banyak lembaga, termasuk instansi vertikal penegakan hukum. Satgas ini dibagi menjadi tiga yaitu Tim Pengendali, Tim Operasi, dan Tim Yustisi.
Tim Pengendali terdiri atas Wakil Gubernur Riau sebagai ketua, lalu Wakapolda Riau, Sekdaprov Riau, Kakanwil ATR/BPN, Kadis LHK, Kadis TPH Bun, Asisten Pemerintahan dan Kesra, Kadis LHK, Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Asisten Administrasi Umum, Kadis PUPR, dan Kepala Bapenda.
Tim Operasi diketuai oleh Direskrimum Polda Riau, Kalog Korem 031 WB, Kasubdit I Ditreskrimum, Komandan Detasemen ZB 6/1 Korem 031 WB, Panit Unit 4 Subdit 1 Ditreskrimum, lalu Kabid Infrastruktur Pertanahan BPN, Kabid Penataan LHK, Kabid Perkebunan, Satpol PP serta polisi kehutanan.
Terakhir, Tim Yustisi akan dipimpin Dirreskrimsus Polda, selanjutnya Asisten Datun Kejati, Kabiro Hukum Setdaprov, Kabid Pajak Daerah, serta perwakilan Direktorat Jenderal Pajak.
Sementara Gubernur Riau ditetapkan sebagai penanggung jawab. Kapolda, Danrem 031 Wirabima, Kajati dan Ketua Pengadilan Tinggi ditunjuk sebagai pelindung atau penasehat. Jajaran kepala daerah bupati dan wali kota ditempatkan sebagai pengarah.
Tapi, lagi-lagi keberadaan Satgas Terpadu ini bak hilang ditelan waktu. Hingga saat ini belum pernah diketahui laporan kerja Satgas Terpadu tersebut. Apakah Satgas Terpadu telah dibubarkan, publik belum pernah mendengarnya.
Kisah pembentukan tim khusus berkaitan dengan lahan perkebunan di Riau belum selesai. Episode barunya pada tahun 2022 lalu, DPRD Riau kembali membentuk Pansus Konflik lahan.
Ironisnya, hasil kerja pansus DPRD Riau ini pun terkesan dipendam. Konon kabarnya, atas temuannya Pansus telah merekomendasikan peninjauan ulang perizinan sejumlah korporasi perkebunan dan kehutanan di Riau. Tapi tak jelas korporasi mana saja yang dibidik oleh Pansus DPRD Riau ini.
Hipotesa awal, kisah pembentukan Satgas dan Pansus lahan di Riau tak pernah berujung pada tindakan konkret. Lebih pada upaya 'gertak sambal' dan manuver para elit belaka?
Temuan dan rekomendasi berhenti di atas meja. Kemungkinan faktor kewenangan daerah yang terbatas. Bisa saja dianalogikan dengan kiasan lawas: nafsu kuat, tenaga kurang.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit non prosedural, termasuk lahan kebun di kawasan hutan kini makin tak tersentuh. Apalagi setelah pemerintah pusat menerbitkan Undang-undang Cipta Kerja pada 2020 silam.
Bagi para penguasa hutan ilegal, beleid tersebut seakan menjadi angin surga. Dengan dalih pengenaan sanksi administratif berupa pembayaran denda, mereka seakan bisa lepas dari jerat hukum pidana.
Asas ultimum remedium berdasarkan UU Cipta Kerja dikampanyekan, penegakan hukum pidana dikesampingkan dengan pembayaran denda. Namun, hingga saat ini pengenaan denda administratif itu pun kabarnya makin kabur.
Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit bentukan Presiden Joko Widodo pada 2022 lalu sampai saat ini juga belum mengumumkan hasil kerjanya.
Soal pemanfaatan lahan perkebunan dan kehutanan ilegal memang masih seru untuk didengar, tapi nihil hasilnya. (R-03)