Pertama Kali Terjadi! Lembaga Survei Pilpres 2024 Ini Ditolak Warga, Ini Alasannya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Lembaga Survei dan Konsultan Indopol tak merilis tingkat elektabilitas setiap pasangan calon presiden-calon wakil presiden karena selama survei berlangsung menghadapi penolakan dari sejumlah warga.
Dalam survei ini, Indopol melibatkan 1.240 responden sebagai pemilih yang tersebar di 38 provinsi. Margin of error dalam penelitian ini lebih kurang pada angka 2,85 persen.
Penolakan dari sejumlah warga itu diduga menyebabkan munculnya anomali undecided voters atau pemilih bimbang yang terbilang tinggi.
Direktur Eksekutif Indopol Ratno Sulistiyanto mengatakan bahwa faktor tersebut yang membuat lembaga surveinya akhirnya tidak merilis hasil temuannya. Alasannya, respons dari responden dalam survei ini tidak menggambarkan realita elektabilitas yang sesungguhnya.
"Karena itu, kami tidak merilis temuan kami terkait elektabilitas capres dan cawapres maupun partai politik. Kami mengkhwatirkan jawaban itu tidak menggambarkan realita sesungguhnya," kata Ratno dikutip dari Youtube IDC Media, Rabu (24/1/2024).
Dalam penelitian tersebut, surveyor Indopol menghadapi penolakan dari warga. Hal ini seperti yang terjadi di beberapa wilayah di tiga provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.
Di Jawa Timur, penolakan kehadiran peneliti Indopol terjadi di Surabaya, Kota Malang, Kota Blitar, dan Kabupaten Banyuwangi.
Ratno mengungkapkan, di empat wilayah tersebut, pihak kelurahan menolak memberikan stempel di lembar kartu keluarga (KK) warga yang menjadi responden Indopol.
Selain itu, ada sejumlah ketua RT menyampaikan bahwa kesepakatan warga di wilayahnya tidak menerima survei agar wilayahnya tidak terpetakan dan tidak berimbas pada bantuan sosial.
Di Kabupaten Bangkalan, beberapa kepala desa setempat menolak disurvei dengan alasan keamanan. Sementara itu, di Kabupaten Lamongan, kepala desa menolak karena trauma dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelumnya terkait dengan evaluasi Program Keluarga Harapan (PKH) di daerah tersebut.
Sementara di Jawa Barat, terdapat kendala yang dihadapi peneliti di wilayah Kota Depok, Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kota Bekasi.
Khusus Bogor, peneliti Indopol melaporkan bahwa beberapa kelurahan menolak didatangi lembaga survei.
Hal sama juga terjadi di Banten, tepatnya di wilayah Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.
Di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, beberapa kelurahan menolak kehadiran peneliti dengan alasan tidak ada izin dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).
Selain itu, peneliti Indopol juga menemukan fenomena tingginya pemilih bimbang yang disebabkan karena sejumlah faktor.
Faktor pertama, sebanyak 56,49 persen responden menyatakan pasangan capres dan cawapres lain lebih memiliki visi dan misi yang jelas dalam membangun bangsa ini.
Faktor kedua, pasangan capres-cawapres tampil cukup baik dalam tiga kali debat. Faktor ini mencapai angka 18,6 persen.
Faktor ketiga, sebanyak 7,02 persen responden menyatakan bahwa sosok yang menjadi panutan itu juga mengubah pilihan. Sosok panutan tersebut meliputi ulama, pimpinan partai politik hingga orang tua.
Faktor keempat, 4,2 persen responden mengaku karena diberi uang dan barang semacam sembako oleh capres-cawapres lain atau tim suksesnya.
Faktornya berikutnya, karena melihat rilis hasil survei dari lembaga survei sebanyak 1,05 persen.
Selain itu, tingginya anomali pemilih bimbang juga disebabkan karena faktor bantuan sosial dari pemerintah dan adanya intervensi dari pihak aparat.
Ratno mengatakan, responden yang menyatakan diberi bantuan sosial berkisar 1,05 persen. Sedangkan responden yang mengaku ditekan aparat Polisi dan pejabat pemerintahan mencapai 0,35 persen.
Ratno merinci, anomali perilaku pemilih bimbang khususnya terjadi di Jawa Timur yang menjadi lumbung suara PDI Perjuangan maupun Ganjar Pranowo sebagai capres nomor urut 3.
Wilayah tersebut meliputi, Blitar (85 persen), Kediri (40 persen), Kota Madiun (43,3 persen), Pacitan (24 persen), Kota Malang (22,9 persen), Kota Batu (32,5 persen), Mojokerto (55 persen), Jombang (67,5 persen), Bondowoso (70 persen), dan Probolinggo (43,8 persen).
Dari deretan faktor tersebut, Indopol pun akhirnya tak merilis temuan karena tidak merepresentasikan peta elektabilitas di lapangan. (*)