Tiga Tahun Pemerintahan Syamsuar-Edy: Kerikil Hukum dan Pilkada 2024
SabangMerauke News - Tiga tahun duet kepemimpinan Syamsuar-Edy Natar mengayuh kapal Lancang Kuning Provinsi Riau disambut banyak suara minor. Hampir tidak terdengar sanjungan substantif memasuki tahun keempat pemerintahannya.
Sejumlah pengamat juncto politisi ramai memberi penilaian. Mereka mengaku belum mendapati ada prestasi yang ditorehkan secara monumental. Rata-rata memberi koreksi mumpung masih tersisa waktu dua tahun ke depan.
Sebuah tim peneliti melakukan survei lokal menyebut lebih separuh generasi internet (generasi Z) di Riau tidak puas dengan kinerja Syam-Edy. Mereka ini adalah orang yang banyak menghabiskan waktu mengonsumsi informasi lewat media sosial. Bisa jadi, rentetan pemberitaan yang ditransmisikan melalui media sosial menjadi dasar penilaian mereka.
Ada juga survei media lokal Riau yang menggambarkan lebih separuh responden tidak puas dengan pencapaian pemerintahan Syam-Edy. Saya tidak mengetahui indikator yang dipakai polling ini. Tapi hasil polling tersebut jelas tak bisa disepelekan sebagai entitas sosial pendapat publik.
Syam-Edy dilantik pada 20 Februari 2019 lalu di Istana Negara oleh Presiden Jokowi. Duet ini memenangi laga pilkada satu putaran dengan raihan sebanyak 799.289 suara atau sekitar 38,20 persen pada 2018 lalu. Tiga paslon lain, termasuk inkumben kalah dalam perolehan suara.
Duet Syam-Edy awalnya dinilai sebagai paduan pasangan kepala daerah yang komplit. Syam mewakili sipil yang adalah birokrat tulen berpengalaman. Sementara, wakilnya Edy Natar berlatar belakang militer, purna tugas dengan bintang satu di pundaknya. Mantan Danrem 031 Wirabima, Pekanbaru.
Terpilihnya Syamsuar sebagai gubernur dibayang-bayangi oleh isu panas dan citra Riau yang kadung dicap negatif dari sisi korupsi. Maklum, tiga gubernur sebelumnya berujung pada jeruji besi alias menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini menjadi semacam 'kutuk' dan beban politik bagi Syamsuar.
Masalah muncul manakala orang terdekat Syamsuar yang baru diangkat beberapa bulan menjadi Sekretaris Daerah Provinsi, Yan Prana Jaya juga bernasib sial. Ia tertimpa prahara hukum oleh kasus lawas korupsi pada 2013 saat menjabat Kepala Bappeda Kabupaten Siak. Kejati Riau membidik kasus lamanya hingga kini Yan mendekam di balik jeruji besi.
Sosok Yan Prana seolah tak bisa dipisahkan dari Syamsuar. Keduanya dikenal tandem keras. Sama-sama jadi elit di Kabupaten Siak, kabupaten di mana Syamsuar memimpin Negeri Istana itu sebagai bupati hampir dua periode lamanya.
Kasus hukum Yan Prana masih jadi konsumsi publik. Media menggorengnya bersamaan dengan demontrasi berjilid-jilid di Kejati Riau maupun di KPK menyoal isu korupsi dana bantuan sosial (bansos) di Kabupaten Siak, saat Syamsuar menjadi bupati di sana.
Kejati Riau sejak tahun lalu telah menaikkan status penindakan kasus ini ke jenjang penyidikan, meski hampir berulang tahun kedua pada September mendatang, korps adhyaksa belum menentukan siapa tersangkanya.
Kejati Riau tentu punya alasan subjektif maupun objektif ikhwal belum adanya penetapan tersangka perkara yang konon katanya bernilai puluhan miliar ini. Kejati mengklaim super hati-hati, khawatir kasus ini menggelinding menjadi alat politik.
Alasan itu sebenarnya masih bisa dipertanyakan. Kesan 'lambatnya' penanganan kasus bansos ini justru bisa menjadi 'sandera' politik dan hukum bagi Syamsuar. Kasus ini seksi untuk digoreng ke sana ke mari yang menggerus citra Syamsuar seakan menjadi gubernur yang punya beban dan masalah hukum. Isu korupsi gampang menyulut ketidakpercayaan publik.
Seyogianya, Kejati Riau harus merampungkan penyidikan kasus bansos ini secara transparan dengan segera, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Jika memang tidak ditemui dua alat bukti yang kuat dan meyakinkan, maka kejaksaan sebaiknya legowo untuk menghentikan perkara ini. Bukan hal baru bagi Kejati Riau dalam menghentikan perkara korupsi. Sejumlah perkara nyatanya pernah diterbitkan SP3.
Namun, bila memang unsur terpenuhi, perkara panas ini harusnya dituntaskan. Kejaksaan mesti membuktikan kasus ini murni persoalan hukum, bukan delik politik. Agar tidak ada syak wasangka publik, kejelasan perkara ini mesti diungkap.
Sisa dua tahun pemerintahan Syamsuar sungguh waktu yang singkat. Hampir semua kepala daerah di Indonesia berharap bisa memimpin dua periode. Mungkin saja hal itu juga menjadi impian Syamsuar.
Keputusan merebut kepemimpinan Partai Golkar Provinsi Riau oleh Syamsuar tahun lalu, tentu bukan langkah politik yang kosong. Golkar menjadi kendaraan politik yang efektif dan kuat di Bumi Lancang Kuning ini.
Kuda-kuda politik itu sudah dipasang oleh Syamsuar. Ia kerap melakukan safari politik ke daerah kabupaten/ kota di Riau. Sulit membantah rangkaian tour itu diselimuti motif politik: konsolidasi politik di akar rumput.
Terus terang, saya kurang yakin konsentrasi Syamsuar bisa full dalam menjalankan sisa masa jabatannya. Pikirannya akan terbagi pada banyak urusan, salah satunya pilkada 2024.
Dalam kondisi tersebut, tentu agenda pemerintahan bisa menjadi nomor kesekian, tidak menjadi prioritas. Konsolidasi aparatur pemerintahan daerah dalam mengemban janji kampanye politik 'Riau Lebih Baik' tiga tahun lalu, bakal terganggu. Apalagi, jika bongkar pasang kabinet tak menghasilkan pejabat mumpuni, sekadar hanya menjadi Yes Man. Sulit mengharapkan birokrasi bisa bekerja efektif.
Jika Syamsuar berhasrat maju dalam pilgub Riau 2024 mendatang, dipastikan ia akan banyak menghabiskan waktu dan energi untuk agenda politik pribadinya. Konsentrasinya akan bercabang kemana-mana.
Sudah lazim dan menjadi praktik umum kekuasaan, akumulasi sumber daya politik dan kapital akan terus diperkuat jelang akhir masa jabatan. Pilkada yang boros membutuhkan ongkos besar, termasuk material. Syamsuar harus berhati-hati agar tidak tergelincir.
Syamsuar harus diingatkan agar tetap fokus menjadi Gubernur Riau. Ia masih terikat janji suci politik dengan pemilihnya pada pilkada 2018 lalu. (*)