Inilah Proyek Nikel Raksasa Dunia yang Diduga Rusak Lingkungan dan Langgar HAM Masyarakat Adat, Isu Debat Gibran vs Cak Imin
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Pengerukan nikel secara massif menjadi isu panas dalam debat cawapres antara Gibran Rakabuming Raka dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Minggu (21/1/2024) tadi malam. Cak Imin menilai eksploitasi nikel dilakukan secara ugal-ugalan yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan merugikan Indonesia.
Sebaliknya, Gibran mempertanyakan kubu paslon 01 Anies-Cak Imin (AMIN) sebagai paslon yang anti nikel. Gibran mengklaim hilirisasi tambang, termasuk nikel sebagai salah satu prioritas pemerintahan hari ini dan kelak jika ia bersama Prabowo terpilih dalam Pilpres 14 Februari mendatang.
Isu eksploitasi nikel santer menjadi pergunjingan. Baru-baru ini, sebuah lembaga lingkungan dunia yakni Climate Rights International (CRI) mempublikasikan temuannya tentang pengerukan nikel secara besar-besaran di Halmahera, Maluku Utara.
Dalam laporan sepanjang 124 halaman berjudul “Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia Pada Manusia dan Iklim,” CRI mewawancarai 45 narasumber yang tinggal di dekat kegiatan peleburan (smelting) di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta di sekitar pertambangan nikel di Halmahera.
Penduduk lokal menjelaskan kalau perusahaan-perusahaan, berkoordinasi dengan kepolisian dan militer, telah menyerobot lahan, memaksa, serta mengintimidasi penduduk dan masyarakat adat yang tengah menghadapi ancaman serius terhadap cara hidup tradisional mereka.
Sebagian besar nikel yang diproses di IWIP dan di tempat lain di Indonesia diekspor untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh terhadap nikel untuk dipakai dalam teknologi energi terbarukan, termasuk baterai kendaraan listrik.
"Transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik adalah bagian penting menuju transisi global dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, namun tumbuhnya industri mineral penting tidak boleh mengulang praktik-praktik keji dan merusak lingkungan yang telah dilakukan oleh industri ekstraktif selama puluhan tahun,” kata peneliti CRI Krista Shennum dalam publikasi yang diterbitkan 16 Januari lalu.
CRI menyebut penambangan nikel di daerah tersebut menjadi penyebab deforestasi dan hilangnya keragaman hayati secara signifikan. Setidaknya 5.331 hektare hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, menyebabkan hilangnya sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.
Namun ironisnya, masyarakat adat di daerah tersebut justru tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait berbagai hal yang akan berdampak pada hak-hak mereka.
"Masyarakat adat berulang kali mengaku tidak diberitahu tentang tujuan pembebasan lahan atau rincian lain dari proyek tersebut oleh perusahaan pertambangan atau peleburan nikel," tulis CRI.
Pertambangan nikel dan kegiatan peleburan disebut telah mengancam hak-hak warga lokal atas air bersih, ketika kegiatan industri dan deforestasi mencemari sungai-sungai tempat warga menggantungkan hidup mereka. Warga juga khawatir atas meningkatnya bencana banjir yang diakibatkan oleh penggundulan hutan oleh perusahaan tambang nikel.
Kurangnya transparansi dan keterbukaan informasi dari perusahaan dan pemerintah Indonesia memperburuk keadaan. Masyarakat kesulitan mengakses informasi tentang konsekuensi pencemaran industri atas kesehatan mereka. Baik IWIP maupun pemerintah Indonesia tidak menyediakan informasi yang terbuka terkait kualitas udara dan air kepada masyarakat.
Sejumlah warga yang diwawancarai oleh Climate Rights International melaporkan bahwa proses pembebasan lahan diwarnai dengan perampasan tanah, sedikit atau bahkan tanpa kompensasi, serta penjualan tanah yang tidak adil. Tanah milik masyarakat yang tinggal di dekat IWIP telah dirampas, digunduli, atau digali oleh perusahaan nikel dan pengembang tanpa persetujuan mereka.
Beberapa anggota masyarakat yang enggan menjual tanah mereka atau menolak harga tanah yang ditawarkan mengalami intimidasi, menerima ancaman, dan menghadapi pembalasan dari perwakilan perusahaan, aparat kepolisian, dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Kedatangan industri nikel telah mendorong bertambahnya kehadiran polisi dan tentara di desa-desa dekat IWIP, termasuk satu Mako Brimob dan sebuah pos jaga TNI.
Seiring dengan transformasi industri nikel di wilayah ini, masyarakat pesisir dan hutan sedang menghadapi ancaman eksistensial terhadap mata pencaharian dan cara hidup tradisional mereka.
Selama beberapa generasi, masyarakat yang tinggal di Halmahera Tengah dan Timur bergantung pada sumber daya alam untuk menghidupi diri mereka serta keluarga sebagai nelayan tradisional, petani, pembuat sagu, dan pemburu.
Perusakan hutan akibat industri nikel, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber air bersih, dan kerusakan sumber perikanan telah mempersulit, jika bukan mustahil, untuk meneruskan cara hidup tradisional mereka.
Korporasi IWIP
Kerusakan yang berdampak pada masyarakat lokal dan lingkungan ini disebabkan oleh aktivitas puluhan perusahaan domestik dan asing yang bergerak di bidang pertambangan dan pemurnian nikel di Halmahera Tengah dan Timur, termasuk IWIP.
IWIP adalah gabungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Republik Rakyat Tiongkok: Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Group, dan Zhenshi Holding Group. Selain ketiga pemegang saham ini, ada semakin banyak perusahaan yang telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas industri di kawasan IWIP untuk memproduksi bahan nikel yang dibutuhkan untuk baterai EV.
Eramet dan BASF telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas pemurnian nikel dan kobalt, yang disebut Sonic Bay, yang akan menghasilkan 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun, dengan menggunakan teknologi pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) yang berpotensi menimbulkan bahaya.
Selain itu, perusahaan raksasa Korea Selatan, POSCO, telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik senilai $441 juta di kawasan IWIP dengan kapasitas produksi mencapai 52.000 metrik ton nikel olahan per tahun, yang cukup untuk memproduksi sekitar satu juta mobil listrik.
Tiga pemangku kepentingan utama di IWIP yakni Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi, sepatutnya mengambil langkah cepat untuk memulihkan pencemaran air dan udara yang disebabkan kegiatan mereka, dan perusahaan tambang nikel harus membuang limbah tambang sesuai prosedur demi meminimalkan pencemaran lingkungan.
"Baik IWIP maupun perusahaan tambang nikel harus memberikan kompensasi secara penuh dan adil bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk masyarakat adat, atas tanah mereka serta memastikan bahwa masyarakat adat dapat memberikan persetujuan atas dasar Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) secara penuh sebagaimana diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional," tulis CRI.
Perusahaan kendaraan listrik, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang memiliki kontrak untuk memasok nikel dari Indonesia, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IWIP, seharusnya segera menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong para pemasok agar mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan hidup, dan bila perlu, berhenti membeli nikel dari perusahaan yang bertanggung jawab atas segenap pelanggaran tersebut. (*)