Jaksa Belum Siap, Sidang Pembacaan Tuntutan Kasus Surat Utang Fikasa Grup Ditunda
SabangMerauke News, Pekanbaru - Sidang lanjutan perkara surat utang (promissory note) Fikasa Grup dengan agenda pembacaan surat tuntutan jaksa, Senin (21/2/2022) ditunda. Ini sebabkan karena jaksa belum menuntaskan surat tuntutannya untuk kelima terdakwa.
"Surat tuntutan belum selesai, Yang Mulia," kata jaksa penuntut Herlina SH dalam sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Karena surat tuntutan jaksa belum selesai, hakim Dahlan kemudian langsung menunda pelaksanaan sidang yang akan dijadwalkan pada Selasa (1/3/2022) mendatang.
"Sidang kita tunda dan dijadwalkan 1 Maret mendatang," kata Dahlan.
BERITA TERKAIT: 4 Ahli 'Patahkan' Seluruh Dakwaan Jaksa di Kasus Investasi Fikasa Grup Empat Salim Bersaudara: Perkara Perdata, Bukan Pidana!
Tim jaksa penuntut, Lastarida br Sitanggang SH saat ditanya SabangMerauke News apa penyebab jaksa belum menuntaskan surat tuntutan hanya memberikan penjelasan normatif.
"Itu standar dan biasa terjadi," kata Lastarida usai sidang.
BERITA TERKAIT: Kasus Surat Utang Fikasa Grup di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Aparat Hukum Diminta Tak Pakai Kacamata Kuda
Sebenarnya jaksa penuntut sudah memiliki waktu 14 hari menyusun surat tuntutan sejak sidang terakhir pada Senin (7/2/2022) lalu. Saat itu, tim jaksa meminta waktu selama dua pekan untuk menyusun surat tuntutan. Namun nyatanya hingga hari ini belum selesai.
Tidak Pakai Kacamata Kuda
Kasus surat utang/ promissory note (PN) Fikasa Grup kian mendekati ujung persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Sejumlah kalangan meminta agar penerapan hukum terhadap perkara ini memikirkan dampak yang luas terhadap nasib ribuan kreditur lain yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Penegakan hukum tentunya tidak sekadar memakai kacamata kuda. Namun harus mempertimbangkan aspek lain yang lebih luas dan sistemik. Karena keadilan itu pada prinsipnya haruslah memberi manfaat sosial yang lebih luas, khususnya bagi pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tersebut," kata Direktur LBH Visi Keadilan Nusantara, Pagar Parlindungan SH kepada SabangMerauke News, Minggu (20/2/2022) kemarin.
Pagar menilai ada banyak suara-suara dari ribuan kreditur Fikasa Grup yang menghendaki perkara ini diselesaikan lewat mekanisme hukum keperdataan. Apalagi, proses PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sudah tuntas dan telah mencapai tahap homologasi (perdamaian) sejak Agustus 2020 lalu. Bahkan, skema (restrukturisasi) pembayaran utang selama 5 tahun sudah ditetapkan antara debitur dengan sebanyak lebih 2 ribu kreditur.
"Kita tentunya mendukung penegakan hukum yang berkeadilan. Yang menjadikan hukum sebagai panglima. Namun, adanya perjanjian dan kesepakatan antara kreditur dan debitur juga merupakan bagian dari hukum itu sendiri yang seharusnya dijadikan dasar pertimbangan dalam perkara ini," tegas Pagar.
BERITA TERKAIT: Nasabah Investasi Fikasa Grup Minta '4 Salim Bersaudara' Tak Dipidana: Kami Mau Damai, Agar Uang Kami Kembali!
Pagar menjelaskan perlu diberikan kesempatan kepada para kreditur dan debitur untuk menyelesaikan persoalan dalam kasus surat utang (PN) Fikasa Grup ini. Ia mengkhawatirkan jika langkah penegakan hukum pidana dikedepankan, maka efeknya akan menimbulkan persoalan sosial yang lebih luas.
"Penyelesaian pidana yang menutup pertimbangan terhadap ekses sosial kerap akan berujung pada kemudaratan. Ibaratnya, menang jadi arang kalah jadi debu. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan kearifan semua pihak, khususnya aparat penegak hukum untuk mengambil langkah kearifan hukum yang berkeadilan. Yakni dengan mempertimbangkan dampak sistemik dan gejolak sosial terhadap ribuan kreditur Fikasa Grup lain yang memiliki pandangan kasus diselesaikan secara perdata," kata Pagar.
BERITA TERKAIT: Marketing Fikasa Grup Buka Suara: Pelapor Kasus Tahu dan Setuju Surat Utang Tak Ada Izin OJK, Semua Bunga Uang Ditransfer ke Rekeningnya!
Diwartakan sebelumnya, sejumlah kreditur Fikasa Grup diliputi kecemasan mendalam pasca kasus pidana yang dituduhkan kepada bos Fikasa Grup 'Empat Salim Bersaudara' kini berproses di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Mereka mengaku trauma kasus yang menerpa perusahaan First Travel terjadi kepada Fikasa Grup.
"Terus terang kami sangat cemas dan ketakutan sekarang ini. Kami trauma jika kejadian yang menerpa Fikasa Grup bernasib sama seperti First Travel. Jangan sampai itu terjadi. Nasib kami sedang dipertaruhkan sekarang," kata Bambang, salah satu kreditur Fikasa Grup dalam wawancara via zooming meeting, Kamis (10/2/2002) lalu.
SabangMerauke News melakukan wawancara luring dengan sejumlah kreditur Fikasa Grup yang mayoritas tidak menempuh langkah hukum pidana terhadap 'Empat Salim Bersaudara'. Mereka yakin dan lebih tenang menempuh langkah perdamaian dan menunggu realiasi homologasi sesuai dengan putusan PKPU Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang ditetapkan 5 Agustus 2020 lalu.
"Upaya keperdataan dan jalan damai lebih menjanjikan dan membuat kami bisa lebih tenang, ketimbang proses pidana. Kami memilih jalan tengah win-win solution," kata Reza, kreditur lainnya.
Berkaca dari kasus perusahaan perjalanan umroh, First Travel yang diselesaikan lewat upaya pidana penipuan, penggelapan dan TPPU, para nasabah First Travel hingga kini harus menelan pil pahit. Putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini menetapkan aset perusahaan dirampas oleh negara. Padahal, korban dalam kasus ini adalah calon jemaah umroh yang sudah menyetor uang keberangkatan kepada manajemen First Travel. Meski petinggi First Travel dihukum puluhan tahun, ironisnya uang calon jemaah umroh tidak dikembalikan, namun justru disita dan dirampas negara.
BERITA TERKAIT: 'Bapak Ibu Jaksa dan Hakim, Tolong Pikirkan Nasib Ribuan Kreditur Fikasa Grup, Uang Kami Bergantung Putusan Bapak'
Selain itu kata Bambang, penyelesaian secara pidana dan TPPU akan membuat nilai aset perusahaan menjadi ciut dan jatuh harga akibat proses lelang. Sehingga, dipastikan pengembalian uang kreditur akan berkurang drastis sehingga kreditur mengalami kerugian yang parah.
Reza berharap jaksa dan hakim dalam perkara Fikasa Grup mempertimbangkan secara jernih putusan PKPU yang sudah disepakati hingga tahap homologasi. Lagipula, skema homologasi penyelesaian utang Fikasa Grup sudah jelas dan ditetapkan sejak Agustus 2020 lalu, namun terhenti karena 'Empat Salim Bersaudara' sudah ditahan oleh Bareskrim pada Juni 2021 lalu.
"Tolong bapak dan ibu jaksa-hakim agar putusan PKPU dan homologasi ini menjadi pertimbangan tuntutan dan putusan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Kami yakin dan optimis, jalan PKPU lebih baik terhadap nasib uang kami," tegas Reza.
Agus, kreditur Fikasa Grup lainnya menyatakan ada ribuan kreditur yang menunggu realisasi pembayaran utang pasca putusan PKPU. Para nasabah bukanlah orang-orang kaya yang memiliki uang banyak, tetapi warga biasa yang didominasi pensiunan. Sehingga hari tua mereka menjadi makin sulit.
"Yang perlu diketahui bahwa kreditur ini bukan orang kaya semua. Banyak kreditur yang menanam uang di bawah Rp 250 juta. Dan itu sangat mereka harapkan di hari tua saat ini. Jadi, tolong pertimbangkan nasib kami ini. Jangan hanya menjatuhkan hukuman, tapi juga ada solusinya. Dan PKPU adalah solusi terbaik menurut kami," kata Agus.
Kasus gagal bayar surat utang Fikasa Grup ini sebenarnya sudah diajukan lewat dua gugatan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta pusat. Berdasarkan putusan pengesahan perjanjian perdamaian (homologasi) dengan nomor: 125/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.JKT.Pst tanggal 5 Agustus 2020 lalu yang diperoleh SabangMerauke News, tercantum ada sebanyak 1.711 kreditur konkuren dengan nilai tagihan utang sebesar Rp 2,38 triliun. Permohonan PKPU ini diajukan terhadap Koperasi Simpan Pinjam Alto (Kospina) dan PT Wahana Bersama Nusantara (WBN).
Sementara pada putusan pengesahan homologasi nomor: 163/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.JKT.Pst tertanggal 5 Agustus 2020 tercantum ada sebanyak 574 kreditur konkuren dengan nilai tagihan utang sebesar Rp 1,05 triliun. PKPU dalam perkara ini diajukan terhadap PT Tiara Global Propertindo (TGP).
Sebelumnya, Forum kreditur Fikasa Grup berharap jaksa penuntut dan majelis hakim yang menyidangkan perkara 'Empat Salim Bersaudara' di Pengadilan Negeri Pekanbaru, bersikap arif dan bijaksana. Ribuan kreditur yang masih menantikan realisasi putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Fikasa Grup, berharap agar putusan hukum perkara pidana tersebut memikirkan dampak nasib pengembalian uang mereka.
"Tolong bapak ibu jaksa dan hakim yang kami muliakan. Nasib uang kami ada di putusan perkara pidana di Pekanbaru. Kami berharap hati nurani bapak dan ibu semuanya. Jangan sampai uang kami hilang karena putusan hukum yang membuat Fikasa Grup tenggelam dan hancur seperti saat ini," kata Feli, salah satu anak kreditur Fikasa Grup dalam wawancara via zoom meeting.
Para peserta zoom meeting menyatakan, setelah proses hukum pidana di Bareskrim yang membuat 'Empat Salim Bersaudara' ditahan dan kini diadili di PN Pekanbaru, komunikasi para kreditur dengan perusahaan menjadi terputus. Mereka bingung untuk membicarakan soal nasib uang mereka.
Khoe Aman, kreditur Fikasa lainnya menyatakan ia bersama kreditur lainnya berharap kasus ini tidak berakhir dengan pemenjaraan 'Empat Salim Bersaudara'. Sebab, jika mereka divonis pidana badan, maka aktivitas perusahaan akan berhenti total. Akibatnya, nasib uang mereka tidak jelas lagi karena operasional bisnis perusahaan akan mati total. Apalagi, jika semua aset perusahaan disita dan dilelang yang membuat nilai aset menjadi merosot.
"Kalau mereka dipenjara, maka harapan kami sirna sudah. Kami berharap perusahaan bisa terus berjalan agar ada pemasukan keuangan untuk mengembalikan uang kami. Tapi kalau mereka dipenjara, bagaimana nasib aset dan bisnis perusahaan? Padahal uang kreditur sudah dialihkan dalam bentuk aset semuanya," jelas Khoe Aman.
Khoe Aman merasa bingung dengan upaya pidana yang dilakukan ketika proses pelaksanaan homologasi (perdamaian) pasca-putusan PKPU ditetapkan 5 Agustus 2020 lalu sedang berjalan. Akibatnya, skema pembayaran utang yang sudah disepakati tak bisa dilakukan karena 'Empat Salim Bersaudara' sudah ditangkap dan diadili serta mendekam di sel tahanan sejak Juni 2021 lalu hingga saat ini.
Ia merasa yakin proses homologasi PKPU yang sudah disepakati menjadi pilihan terbaik dalam pengembalian uang mereka. Apalagi skema pembayaran utang telah diatur secara rinci untuk jangka waktu lima tahun. Homologasi menurut Aman masih memberikan harapan yang lebih konkret.
"Di tengah proses homologasi, bos Fikasa Grup ditangkap. Makanya kami jadi heran, bagaimana skema pembayaran bisa dilakukan. Kami menaruh harapan uang kami akan bisa dikembalikan berdasarkan putusan PKPU itu. Kami yakin karena seluruh usaha bisnis dan aset-aset perusahaan memang ada dan bisa digerakkan kembali," jelas Aman.
Aman menegaskan, dirinya bukan dalam kapasitas membela bos Fikasa Grup. Ia tak memiliki kepentingan apapun, selain uangnya bisa dikembalikan secara wajar.
"Saya gak punya kepentingan apapun dengan bos Fikasa Grup. Kepentingan kami adalah uang dikembalikan. Tapi, dengan pemenjaraan bos Fikasa Grup, harapan uang kami dikembalikan nyaris pupus. Di sinilah kami berharap kearifan para penegak hukum agar masalah ini tidak makin runyam dan uang kami jadi raib," jelas Aman.
Empat bos Fikasa Grup yakni Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim dan Christian Salim menjadi terdakwa kasus kasus gagal bayar surat utang (promissory note). Keempatnya adalah pengurus sekaligus pemilik dua perusahaan yakni PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) selaku penerbit surat utang. Kedua perusahaan itu terafiliasi dan populer dengan sebutan Fikasa Grup. Satu orang terdakwa lain yakni Mariyani yang merupakan marketing perusahaan di Pekanbaru, Riau.
Kelima orang terdakwa dilaporkan oleh 10 orang warga Pekanbaru yang merupakan kreditur pemegang surat uang dari Fikasa Grup. Para kreditur merasa dirugikan sebesar Rp 84,9 miliar. Sejak Maret 2020 lalu, para kreditur tidak menerima pembayaran manfaat berupa bunga di kisaran 9-11 persen per tahun. Para kreditur melaporkan perkara ini ke Bareskrim Mabes Polri hingga kelima terdakwa ditahan dan diadili saat ini di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Para terdakwa dikenakan dakwaan berlapis yakni pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Serta pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Persidangan perkara ini akan memasuki agenda pembacaan surat tuntutan jaksa pada 22 Februari mendatang. Dengan demikian, fase akhir perkara ini sudah tiba di pengujung sidang. (*)