Menagih 'Janji Manis' Blok Rokan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi: PHR atau PHP?
SabangMerauke News - Batas kesabaran pelaku usaha kontraktor lokal terhadap masa depan bisnis di lingkungan Blok Rokan sepertinya sudah sampai pada titik nadir. Gelombang protes dan suara minor terus berlanjut bersahut-sahutan.
Diawali dari suara keras Asosiasi Kontraktor Migas Riau (AKMR) tahun lalu, kini Asosiasi Pengusaha Jasa Penunjang Migas Indonesia (APJPMI) bersuara miring. APJPMI yang biasanya bersikap 'santun', pekan lalu mulai mengubah intonasi sikapnya terhadap kebijakan proyek di Blok Rokan.
"Sudah terlalu lama kami menunggu," kata Ketua Umum APJPMI, Helfried Sitompul dalam diskusi, Kamis (17/2/2022) lalu di hadapan dua petinggi PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang hadir diutus Dirut PT PHR, Jaffee Arizon Suardin 'Buyung'.
PHR sejak 9 Agustus 2021 lalu resmi menguasai pengelolaan blok terbesar migas di Indonesia yakni Blok Rokan, pasca-kontrak PT Chevron Pacific Indonesia habis. Hingar bingar dan gegap gempita penyambutan Pertamina di Blok Rokan kala itu dirayakan penuh sukacita. Jargonnya: Blok Rokan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi. Semua termehek-mehek dan bangga. Koor mendukung dari segala penjuru dan stakeholder seakan diaransemen sebagai dukungan bulat.
Tapi, sepertinya masa bulan madu di Blok Rokan antara PHR dengan kontraktor lokal hanya berlangsung singkat. Gerakan ultimatum stop operasional di Blok Rokan pernah didengungkan oleh Ketua Umum AKMR, Azwir, hanya beberapa bulan usai alih kelola Blok Rokan ke tangan PHR. Namun, aksi itu urung dilakukan, menyusul terjadinya komunikasi lanjutan pasca move tersebut.
APJPMI yang semula mengambil sikap anti-konfrontatif, kini sepertinya mulai mengubah genre perjuangannya. Helfried yang biasa bicaranya santun, halus dan tenang, Kamis lalu terlihat lebih keras. Ia 'menguliti' secara sistematis kebijakan pengadaan barang dan jasa di lingkungan wilayah kerja Blok Rokan saat ini. Menurutnya, pengadaan barang dan jasa yang dipedomani dokumen nomor: A7-001/PHE5200/2021-S9 Revisi ke-0 merugikan kontraktor lokal yang selama ini bermain di Blok Rokan.
"Kalau pedoman pengadaan barang jasa itu masih tetap dipertahankan, maka jangan berharap ada keadilan bagi kontraktor lokal. Hanya kitab suci yang tak bisa diubah. Masak kontraktor lokal kesannya mengemis. Padahal, kemampuan kontraktor lokal amat kompetitif serta punya pengalaman yang memadai," katanya.
Tiga pekan lalu, Gubernur Riau Syamsuar dalam acara di Universitas Pertamina juga sempat menyampaikan uneg-unegnya. Syamsuar jengah karena saat ini hanya 5 persen orang Riau yang bekerja di PT PHR.
"Kami gak mau jadi penonton," kata Syamsuar.
Suara dari pengusaha muda Riau yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) pun kian lantang. Sekretaris HIPMI Riau, Auni Abduh meminta agar janji manis pengelolaan Blok Rokan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tidak sekadar retorika belaka. Ia meminta agar proses tender proyek di PHR dipindahkan ke Riau.
"Riau ini daerah penghasil minyak bumi yang akan habis dikeruk sudah 97 tahun lamanya. Tapi, tidak ada keadilan terhadap kontraktor lokal dan ekonomi daerah. Katanya dulu dulu ekonomi daerah akan tumbuh?" kata Auni.
Akar masalah muncul tersebab adanya praktik mobilisasi dan dominasi anak, cucu, cicit perusahaan BUMN di Blok Rokan di era PHR. Praktis, iklim kompetisi tak terbangun lantaran perusahaan negara menggarap proyek lewat penunjukkan langsung (PL). Berlindung di balik alibi skema gross split yang dulunya menggunakan cost recovery, proyek-proyek 'digerayangi' oleh anak cucu dan cicit BUMN. Perlu diketahui, mekanisme penunjukkan langsung (PL) itu belum tentu efisien akibat tidak adanya transparansi dan ruang penawaran.
"Jangan sampai kontraktor lokal jadi penonton di negeri sendiri. Harusnya, ini momentum agar kontraktor lokal naik kelas," protes Rektor Universitas Islam Riau (UIR), Prof Syafrinaldi.
Syafrinaldi menyarankan agar kebijakan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Blok Rokan yang bersumber dari keputusan menteri digugat ke Mahkamah Agung.
"Judicial review adalah cara elegen untuk mengoreksi kebijakan yang tidak berkeadilan," tegas pakar hukum ini.
Pengadaan barang dan jasa yang memberikan hak keistimewaan kepada anak cucu dan cicit BUMN adalah cara lama dan menjadi tabiat negatif yang tak menumbuhkan iklim kompetitif bagi pengusaha kontraktor lokal. Pola ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman dan tak senafas dengan roh Undang-undang antimonopoli dan persaingan usaha tak sehat.
Hak keistimewaan anak cucu dan cicit BUMN telah menafikan eksistensi pengusaha lokal yang sudah puluhan tahun bermain di Blok Rokan. Seharusnya, negara melakukan pemberdayaan yang efektif dan mengangkat marwah kontraktor lokal. Tidak sebaliknya membuat kontraktor lokal turun kelas sekadar menjadi sub-sub kontraktor dari anak cucu dan cicit BUMN.
Jika ingin adil, seharusnya juga kontraktor lokal bisa mendapatkan hak keistimewaan dalam menggarap proyek Blok Rokan. Tentu, tidak lagi sekadar menggarap proyek ala local business development skala parcil (partai kecil) yang sudah dilakukan sejak era Chevron berkuasa.
Masalah ini sebenarnya tak terlalu rumit, jika pemerintah konsisten dengan janji manisnya menumbuhkan ekonomi daerah di Riau. Puluhan triliun proyek di Blok Rokan tak mungkin mampu semuanya digarap oleh kontraktor lokal. Namun, tak semestinya pula dilahap mentah-mentah oleh anak cucu dan cicit serta perusahaan afiliasi BUMN lain di Jakarta.
Dari dulu memang orang Indonesia hanya pintar kali-kali, tapi begitu sulitnya mempraktikkan bagi-bagi. Yang lebih parah, orang kita paling doyan makan jatah orang lain.
Dominasi Jakarta masih begitu kental, meski politik Indonesia Sentris berbuih-buih dipidatokan. Jakarta masih menganggap daerah sebagai lahan perburuan. Padahal, sebelah mata memandang daerah justru akan berbuah malapetaka. Apalagi rakyat daerah kini makin cerdas tak mau lagi diam begitu saja.
Masih sekitar 6 bulan Blok Rokan dikelola PT PHR. Jalan masih panjang sekitar 19,5 tahun lagi kontrak berakhir. Namun, hari-hari ini janji manis itu sepertinya masih belum dirasakan kontraktor lokal. Jangan sampailah PHR dituding menjadi PHP: Pemberi Harapan Palsu (*)