Usut Kasus Suap ‘Raja Software’ Jerman ke Pejabat Indonesia, KPK Minta Bantuan FBI
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku sudah mendapatkan informasi perihal Departemen Kehakiman Amerika Serikat (Departement of Justice-DoJ) yang menjatuhkan denda senilai Rp3,4 triliun ke perusahaan pembuat software asal Jerman, SAP.
Atas dakwaan itu, KPK berkoordinasi dengan Federal Bureau of Investigation (FBI) untuk menggali informasi terkait dengan kasus pemberian suap dari SAP terhadap pejabat di Indonesia.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan FBI untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai kasus suap lintasnegara atau foreign bribery itu.
“Barusan (14 Januari malam) saya tanya ke staf ternyata sudah dikoordinasikan dengan FBI untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Jadi KPK sudah menerima informasi tersebut," kata Alex, sapaannya, Senin (15/1/2024).
Alex mengatakan, kini lembaga antirasuah masih dalam tahap pengumpulan informasi terhadap kasus yang melibatkan perusahaan perangkat lunak tersebut.
Pimpinan KPK dua periode itu menyatakan optimismenya mengenai koordinasi antara dua lembaga, yakni KPK dan FBI, berkaca dari penanganan sejumlah kasus sebelumnya yang turut melibatkan otoritas dari negara lain. Misalnya, kasus korupsi KTP elektronik atau e-KTP.
KPK diketahui juga bekerja sama dengan FBI untuk mengusut kasus megakorupsi itu. Ke depan, terang Alex, pihaknya akan berkoordinasi dengan FBI hingga DoJ juga melaui Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Indonesia.
"Kerja sama KPK dengan DoJ dan FBI selama ini sudah berjalan dengan baik," tuturnya.
Di sisi lain, Alex mengaku tidak mengetahui alasan mengapa DoJ maupun otoritas di AS belum berkoordinasi dengan otoritas di Indonesia mengenai kasus tersebut.
Seperti diketahui, SAP dituntut untuk membayar lebih dari US$220 juta dalam bentuk denda maupun administrasi atas kasus suap kepada pejabat pemerintahan di Afrika Selatan dan Indonesia.
Pejabat pemerintahan di Indonesia yang dimaksud dalam kasus tersebut yakni di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), atau sekarang menjadi Bakti Kominfo.
Adapun berdasarkan keterangan resmi DOJ, kasus tersebut tidak hanya ditangani oleh Departemen Kehakiman AS, yang meliputi pihak Kejaksaan maupun FBI. Kasus itu juga ditangani oleh otoritas bursa AS yakni Security and Exchange Commission (SEC).
SAP, yang juga merupakan perusahaan terbuka, menandatangani perjanjian penuntutan yang ditangguhkan atau deferred presecution agreement (DPA) dengan pihak kejaksaan AS. Kasus tersebut disidangkan di Pengadilan Distrik Timur Virginia.
Dalam tuntutannya, SAP dituntut atas dua kasus. Pertama, pelanggaran terhadap ketentuan anti-penyuapan dan pembukuan dan catatan dari Undang-undang (UU) Praktik Korupsi Luar Negeri atau Foreign Corrupt Practices Act (FPCA) terkait dengan pemberian suap kepada pejabat di Afrika Selatan.
Kedua, pelanggaran terhadap ketentuan anti-suap FCPA dalam skemanya untuk membayar suap kepada pejabat Indonesia.
"SAP membayar suap kepada pejabat-pejabat pada badan usaha milik negara di Afrika Selatan dan Indonesia untuk memperoleh bisnis pemerintah yang berharga," ujar Pelaksana Tugas Asisten Jaksa Agung AS pada Divisi Kriminal Departemen Kehakiman Nicole M. Argentieri, pada siaran pers tersebut.
Berdasarkan dokumen pengadilan yang dikutip oleh DoJ, SAP dan pihak terkait memberikan suap dan hal-hal berharga lain kepada pejabat asing di Afrika Selatan dan Indonesia.
Suap dan pemberian lain itu berbentuk uang tunai, kontribusi politik, transfer elektronik, sekaligus barang mewah yang dibeli saat berbelanja.
Khusus yang melibatkan pejabat di Indonesia, SAP selama 2015-2018 disebut menyuap pejabat di Indonesia untuk memperoleh keuntungan bisnis yang tidak baik antara perusahaan dan beberapa kementerian/lembaga di Indoensia termasuk Kementerian KKP dan BP3TI atau sekarang Bakti Kominfo. (*)