Tajuk Redaksi
Perihnya Derita Riau: Asap Berlalu, Kini Banjir Mengepung
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Baru saja status siaga darurat kebakaran hutan lahan (Karhutla) dicabut akhir 2023 lalu, kini bencana alam kembali menghajar Provinsi Riau. Asap berlalu, banjir datang mengepung. Awal tahun 2024 yang perih bagi Riau.
Sejak penghujung 2023, hujan memang bertubi-tubi menerpa wilayah Riau. Curah hujan tinggi memicu banjir di mana-mana.
Jalan lintas Sumatera di daerah Kabupaten Pelalawan putus. Akses sejumlah daerah terganggu dalam tingkat keparahan yang sangat serius.
Jalanan berlumpur, aktivitas warga runyam. Fasilitas publik maupun milik rakyat rusak. Ada jembatan putus, rumah warga hanyut terbawa air.
Belasan ribu keluarga di Riau terdampak banjir. Sebagian memilih mengungsi. Kesehatan mereka terancam, utamanya anak-anak dan ibu hamil serta kaum lansia.
Kegiatan pembelajaran di puluhan sekolah berhenti, diganti dengan belajar online (daring). Jaringan listrik terpaksa dipadamkan.
Sedikitnya 3 warga Riau, khususnya anak-anak meregang nyawa akibat banjir. Mereka jatuh ke selokan lalu tenggelam terbawa air hingga tewas.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau terpaksa menetapkan 9 dari 12 kabupaten/ kota di Riau berstatus siaga darurat bencana banjir. Meliputi Kabupaten Rokan Hilir, Rokan Hulu, Bengkalis, Kampar, Kuantan Singingi, Siak, Indragiri Hulu, Pelalawan. Kota Pekanbaru yang merupakan barometer dan ibukota Provinsi Riau pun telah berstatus siaga banjir.
Entah berapa kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat banjir ini. Belum lagi jika menghitung kerugian sosial yang tentu saja nilainya lebih besar.
Dalam kondisi tersebut, pemerintah daerah kelimpungan. Jurus termudah pun digencarkan: bagi-bagi bantuan dan sembako.
Sebagian kalangan menilai bencana banjir ini jadi ajang tebar pesona alias pencitraan pejabat daerah. Ada yang sambil senyum di atas sampan, ada juga yang dipotret memikul sembako. Semuanya didokumentasikan dengan apik. Maklum, tahun politik sudah di depan mata, pemilu sebentar lagi digelar.
Riau memang merupakan salah satu daerah dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Dua pemicu utamanya, yakni asap karhutla dan banjir.
Tapi ironisnya, hampir tak pernah ada peta jalan (roadmap) pencegahan pengendalian bencana yang apik dirumuskan secara serius. Penanganan bencana selalu terlambat dibanding prediksi dan antisipasi dini.
Bahkan ada pejabatnya yang justru menyalahkan alam. Emangnya alam ini salah dan berdosa? Tapi, itulah siasat murahan yang selalu disampaikan begitu bencana alam terjadi.
Di lain sisi, korporasi pengeksploitasi sumber daya alam, khususnya perusahaan kehutanan dan perkebun sawit di Riau lebih banyak diam. Saham mereka justru makin berkibar, pundi-pundinya bertimbun. Padahal, aktivitas mereka menjadi salah satu pemicu bencana yang silih berganti datang.
Korporasi kehutanan, perkebunan dan migas di Riau sekadar berempati memberi bantuan ala kadarnya. Tak lebih dari itu.
Bencana asap dan banjir yang parah saat ini seakan menjadi fakta bahwa visi Riau Hijau yang didengungkan 5 tahun lalu di era kekuasaan pemerintahan Syamsuar-Edy Natar cuma sekadar di atas kertas. Riau Hijau hanya jargon dan retorika besar, minim aksi.
Semua yang terjadi saat ini erat kaitannya dengan kebijakan pengelolaan lingkungan yang bobrok. Eksploitasi alam berlangsung secara jorjoran. Hutan terus dibabat, daerah aliran sungai digunduli.
Di hulu, ekosistem hutan penangkap air hancur secara massif sistematis, di hilir kebijakan penerbitan izin pemanfaatan ruang untuk bangunan dilakukan ugal-ugalan.
Maka lengkap sudah kegagalannya. Ya wajar saja kini kita harus menderita perihnya dilanda banjir. Rakyat kecil yang sangat merasakannya, para konglomerat sumber daya alam masih bisa bersantai nun jauh di sana. (*)