Pabrik Kelapa Sawit Tampung Hasil Kebun dari Kawasan Hutan Riau, Aparat Hukum Didesak Bertindak
SabangMerauke News, Pekanbaru - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mendesak penjatuhan sanksi terhadap pabrik kelapa sawit (PKS) yang terbukti menjadi penampung tandan buah segar (TBS) dari kawasan hutan. Selain menjatuhkan sanksi administrasi perizinan, penindakan secara pidana juga seharusnya dilakukan sejak awal.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring menegaskan, seharusnya sejak awal syarat pendirian PKS harus dapat membuktikan sumber asal TBS kelapa sawit. Perizinan PKS harus melampirkan sumber buahnya secara jelas, misalnya dari kebun inti atau plasma yang tidak berkaitan dengan kawasan hutan.
"Apabila bertentangan dgn dokumen perizinan maka dilakukan penegakan hukum," kata Even Sembiring kepada SabangMerauke News, Sabtu (19/2/2022).
BERITA TERKAIT: Penjarah Hutan Riau Jangan Berlindung di UU Cipta Kerja, Ini Defenisi 'Keterlanjuran' Menurut Hukum
Even menjelaskan penampungan kelapa sawit dari kawasan hutan sebenarnya jelas merupakan tindak pidana lingkungan dan kehutanan. Bahkan dapat dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Sayangnya hampir tidak pernah ada penegakan hukum yang pernah dilakukan terkait penampungan atau jual beli kelapa sawit dari kawasan hutan," kata Even.
Meski kerap berdalih dalam lindungan payung Undang-undang Cipta Kerja, menurut Even seharusnya seluruh tindakan ilegal harus dihentikan lebih dulu, bukan sebaliknya terus dilanjutkan.
"Semua tindakan strategis dan tindakan ilegal harus dihentikan pasca Undang-undang Cipta Kerja," tegas Even.
Ia juga meminta agar moratorium perizinan pendirian pabrik kelapa sawit dilakukan segera, agar ekses negatif terhadap lingkungan dan hutan bisa dikendalikan.
Deputi Hukum Rumah Keadilan Rakyat, Charles Christian SH menegaskan, upaya penghancuran hutan harusnya dilakukan secara sistematis pada aspek hulu hingga hilirnya. Tindakan pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit ilegal yang dinilai gagal dihentikan, telah diperparah dengan hadirnya pabrik kelapa sawit yang menampung hasil kebun dari kawasan hutan tersebut.
"Ini namanya penghancuran hutan secara sistematis. Dari hulu hingga hilir tidak ada pencegahan sama sekali. Kementerian LHK maupun aparatur hukum tidak melakukan tindakan terukur yang tegas," kata Charles.
Charles makin khawatir Undang-undang Cipta Kerja yang dikampanyekan sebagai tameng perlindungan terhadap kebun sawit di kawasan hutan akan membuat kondisi hutan di Indonesia dan Riau khususnya makin parah dan rusak. Bencana ekologi segera akan menjadi karma akibat pembiaran yang terjadi dan terus berlangsung.
"Kesan legalisasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan dan pembiaran terhadap pabrik kelapa sawit penampung kebun sawit ilegal harus dihentikan. Tidak boleh dibiarkan terus berlanjut," tegas Charles.
Sejumlah pabrik kelapa sawit milik korporasi besar maupun menengah di Riau diduga kuat menjadi penampung buah kelapa sawit dari kawasan hutan produksi terbatas, hutan lindung dan hutan konservasi. Di antaranya terjadi di wilayah Kuantan Singingi (Kuansing), Pelalawan dan sejumlah daerah lain di Riau. (*)