Astaga! Pejabat Indonesia Ternyata Doyan Cuci Uang Lewat Kasino
SabangMerauke News - Direktur Analisis Pemeriksaan I Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK), Muhammad Novian menyebut pejabat negara cenderung melakukan pencucian uang hasil korupsi lewat digital currency maupun kasino (rumah judi).
"Penyelenggara negara atau profesional money launder, memiliki kecenderungan melakukan pencucian uang hasil korupsi itu melalui media digital currency dan juga penggunaan kasino," kata Novian dalam diskusi 'Indeks Persepsi Korupsi dan Momentum Presidensi G20 Indonesia', Jumat (18/2/2022).
Novian mengungkap pencucian uang lewat kasino sepanjang 2021 mencapai US$56.888.052 atau setara Rp815.333.783.277. Adapun angka pencucian uang lewat digital currency mencapai US$6 juta.
Selain itu, kata Novian, pola pencucian uang lain yang digunakan adalah lewat institusi keuangan, perusahaan keuangan, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dan perusahaan penukaran uang atau valuta asing.
Kemudian medium yang digunakan selain kasino adalah agensi real estate, penjual metal atau batu, pengacara, agensi judi atau klub malam, juga stockbrokers atau pemain di bursa saham.
Data tersebut didapat dari telaah kasus di tujuh negara, yakni Australia, Indonesia, Filipina, Laos, Malaysia, Selandia Baru, dan Singapura yang dikumpulkan sepanjang 2017 hingga 2021.
"Dari tipologi yang ada, PPATK berhasil lihat, pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi pada 2019 kategori yang paling dominan adalah penyelenggara negara," ujar Novian.
"Pihak yang paling banyak melaporkan adalah perbankan, kemudian sektor ekonomi. Yang paling dominan adalah natural resources atau sumber daya alam yang memiliki risiko tinggi," katanya.
Novian mencontohkan kasus pencucian uang yang makin gencar terjadi adalah lewat perusahaan valuta asing. Uang untuk suap dibawa dari perusahaan valuta saat masuk ke Indonesia.
"Dilakukan transaksi yang masif menggunakan US dolar, menggunakan perusahaan valuta asing untuk menyamarkan seolah-olah itu adalah bisnis pertukaran valuta asing dari dolar ke rupiah," kata Novian.
"Itu [terjadi] di perbatasan [negara]. Petugas valuta asing membawa uang tunai untuk transaksi, padahal untuk menyuap pejabat di Indonesia. Alasan yang digunakan seolah-olah dari bisnis penukaran uang," ujarnya menambahkan.
Novian menyatakan kasus sepanjang 2021 ini dianggap berbahaya lantaran tingkat kasusnya semakin meningkat. Pihaknya pun menyatakan red flag atau bendera merah untuk pencucian uang. (*)