Wow! MK Kabulkan Gugatan Pemotongan Masa Jabatan Kepala Daerah, Gubri Edy Natar Menjabat Sampai 20 Februari 2024?
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pemotongan masa jabatan kepala daerah akibat pilkada serentak merugikan hak konstitusional sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Hal tersebut dinyatakan dalam putusan gugatan uji materi Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Gugatan ini diajukan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Gubernur Maluku Murad Ismail, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
MK dalam putusannya mengabulkan permohonan gugatan uji materi tersebut untuk sebagian dalam sidang putusan yang dibacakan, Kamis (21/12/2023). Permohonan ini teregister dengan perkara nomor 143/PUU-XXI/2023.
MK menyatakan Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebut bahwa "gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Selanjutnya MK memperbaharui norma pasal tersebut menjadi “Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023; dan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019, memegang jabatan selama 5 tahun, terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.
Adapun pemungutan suara serentak nasional yang dimaksud yakni pilkada 2024 yang dijadwalkan pada Oktober 2024 mendatang.
Para pemohon terpilih sebagai kepala daerah dari hasil pemilihan tahun 2018 dan baru dilantik pada tahun 2019. Mereka merasa dirugikan dan dilanggar hak konstitusionalnya sebagai kepala daerah karena masa jabatannya terpotong atau tidak penuh 5 tahun.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK melihat ada kerugian konstitusional yang dialami oleh para pemohon berupa pemotongan masa jabatan bagi kepala daerah/ wakil kepala daerah yang dipilih tahun 2018, tetapi baru dilantik pada tahun 2019 karena menunggu berakhirnya masa jabatan kepala daerah/ wakil kepala daerah sebelumnya.
Menurut MK, ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan memberikan perlakuan berbeda di hadapan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon.
"Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; Pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian," demikian bunyi konklusi pertimbangan putusan MK.
Putusan MK ini pun membuka peluang jabatan Gubernur Riau Edy Natar Nasution 'diperpanjang' hingga 20 Februari 2024 mendatang. Soalnya, duet Syamsuar-Edy Natar memenangi pilkada Provinsi Riau 2018, namun baru dilantik kemudian pada 20 Februari 2019.
Masa jabatan Edy Natar masuk dalam 'skema' yang dikabulkan berdasarkan putusan MK, meski dirinya tidak ikut sebagai pihak pemohon gugatan ke MK. Jika mengacu ketentuan sebelum Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 digugat, maka jabatan Edy Natar berakhir 31 Desember 2023. Meski demikian belum diketahui imbas putusan MK ini terhadap kepala daerah lain yang telah dipotong masa jabatannya.
Edy Natar diangkat menjadi Gubernur Riau pada 27 November 2023 lalu, setelah sebelumnya pada 4 November ditunjuk menjadi Plt Gubernur Riau. Ia menggantikan Syamsuar yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai caleg DPR RI dari Partai Golkar. (*)