Pengamat Energi Sebut Jangan Lupakan Hulu Migas Walaupun Akan Beralih ke Mobil Listrik, Ternyata Ini Alasannya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto menegaskan sektor hulu migas (minyak dan gas bumi) berperan penting dan strategis di era transisi energi Indonesia yang sedang lakukan saat ini.
Meskipun akan beralih menuju pemakaian energi bersih semisal mobil listrik, namun sektor hulu migas diprediksi tetap memainkan peranan penting.
Oleh karenanya, Deendarlianto meminta pemimpin baru mendatang tidak boleh melupakan hulu migas dan harus terus mendorong sektor ini agar terus berkembang. Dengan menyelesaikan berbagai aturan dan kebijakan insentif investasi hulu migas.
Menurut dia, selama ini industri hulu migas menjadi modal dasar dalam pembangunan nasional. Energi berbasis migas banyak dipakai sebagai bahan baku utama industri, manufaktur, serta penunjang sektor transportasi dan logistik.
"Peran industri hulu migas sangat besar dalam pemenuhan energi nasional selama masa transisi energi. Misalnya, pada sektor transportasi, menuju Net Zero Emission 2060 pemanfaatan kendaraan listrik masih terkendala karena belum totalitas. Pada masa-masa itu peran migas untuk sektor transportasi masih sangat kuat," kata Deendarlianto, Rabu (20/12/2023).
Mantan Kepala Pusat Studi Energi UGM ini menilai, migas digunakan sebagai bahan baku utama metanol dan produk-produk turunannya seperti plastik dan petrokimia.
"Itu peran terbesar di industri hulu migas menuju era industrialisasi Indonesia ke depan terutama selama proses migrasi energi ke energi baru terbarukan," imbuh Deendarlianto.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi, kebutuhan energi Indonesia mencapai 2,9 miliar setara barel minyak (SBM) pada 2050. Angka ini meningkat dari proyeksi 2040 yang sebanyak 2,1 miliar SBM. Menurut sektornya, kebutuhan energi akan didominasi oleh sektor industri dengan perkiraan pertumbuhan rata-rata 3,9 persen per tahun.
Kemudian, sektor komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya juga terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Adapun, laju pertumbuhan sektor transportasi diperkirakan lebih rendah dari sektor industri, yaitu 3,2 persen per tahun.
Sedangkan menurut jenisnya, kebutuhan energi akhir masih didominasi oleh bahan bakar minyak (BBM) dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,8 persen per tahun. Ini terjadi karena penggunaan teknologi peralatan BBM masih lebih efisien daripada peralatan energi lain.
Deendarlianto menjelaskan, Indonesia memiliki beberapa kebijakan yang memperkuat peran industri hulu migas. Diantaranya, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional.
"Dalam peraturan pemerintah tersebut, target program energi nasional kita jelas untuk 2025-2050 itu ada baurannya berapa migas, batu bara, energi baru terbarukan," ujar dia.
Advertisement
Indonesia Tetapkan E-NDC, Sektor Energi Target Tekan Emisi 358 Juta CO2 di 2030
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan Indonesia telah menetapkan Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC). E-NDC tersebut menyatakan peningkatan target pengurangan emisi karbon dari 29 persen atau 835 juta ton CO2 menjadi 32% atau 912 juta ton CO2 pada 2030.
"Adapun pada sektor energi, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi menjadi 358 juta CO2 pada 2030, dengan mengembangkan energi terbarukan, efisiensi energi, bahan bakar rendah karbon, dan teknologi batubara bersih," ujar Arifin pada penyelenggaraan Energy Transition Council (ETC) Ministerial: Uniting Leaders, Catalyzing Finance, Emporing Clean Energy, rangkaian COP 28 Dubai Uni Emirat Arab, dikutip Kamis (7/12/2023).
Di hadapan forum ETC, Arifin menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang yang sangat besar, yakni 3.687 gigawatt (GW). Dari total tersebut, potensi energi surya menjadi yang terbesar mencapai 3.294 GW.
"Menyadari perlunya pemanfaatan potensi energi terbarukan, baru-baru ini kami mencapai tonggak sejarah baru dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata dengan kapasitas 145 Megawatt, yang terbesar di kawasan Asia Tenggara," kata Arifin.
Proyek Cirata, imbuh Arifin, memiliki berbagai tujuan, termasuk memanfaatkan lahan reservoir dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata untuk menghasilkan listrik secara mandiri dan memenuhi meningkatnya permintaan energi terbarukan di sistem kelistrikan Pulau Jawa.
Capai Net Zero Emission
Sebagai tanda komitmen dalam melawan perubahan iklim, Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 atau lebih cepat.
Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah berencana untuk menghasilkan listrik sebesar 708 GW, di mana 96 persennya berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan, dan 4 persen sisanya dari tenaga nuklir. Adapun investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit listrik dan transmisinya diperkirakan sekitar USD1,108 miliar, dengan investasi tambahan sebesar USD28,5 miliar sampai 2060. (*)