Menteri LHK Dkk Kompak Mangkir, Tak Hadiri Panggilan PTUN Pekanbaru Terkait Putusan Inkrah Kebun Sawit 1.200 Ha di TNTN Gugatan Yayasan Riau Madani
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Dirjen Gakkum KLHK dan Kepala Balai TNTN kompak mangkir dalam panggilan yang dilayangkan Ketua PTUN Pekanbaru, Rabu (20/12/2023) pagi tadi. Seyogianya, PTUN Pekanbaru akan melakukan permintaan keterangan dan penjelasan sehubungan dengan permohonan eksekusi putusan yang dilayangkan Yayasan Riau Madani.
Adapun permohonan eksekusi putusan yang diajukan Yayasan Riau Madani berkaitan dengan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Riau. Putusan ini telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah) berdasarkan penetapan Ketua PTUN Pekanbaru pada 27 November 2023 lalu.
Meskipun Menteri LHK, Dirjen Gakkum Kementerian LHK dan Kepala Balai TNTN tidak hadir, agenda pertemuan yang dipimpin langsung oleh Ketua PTUN Pekanbaru, Hariyanto Sulistyo Wibowo pagi tadi tetap berlanjut. Pertemuan dihadiri Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH bersama tim dan pengurus Yayasan Riau Madani selaku pemohon eksekusi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh SabangMerauke News, dalam pertemuan itu Ketua PTUN Pekanbaru, Hariyanto Sulistyo Wibowo menyatakan telah melakukan pemanggilan dengan layak kepada Menteri LHK dkk. Namun, entah mengapa Menteri LHK cs tidak hadir.
Adapun surat panggilan PTUN Pekanbaru tersebut telah dilayangkan pada Kamis (13/12/2023) lalu kepada parapihak. Surat panggilan bernomor 36/G/TF/2022/PTUN.PBR itu ditandatangani oleh Panitera PTUN Pekanbaru, Ahmad Taufik Lubis berdasarkan perintah Ketua PTUN Pekanbaru, Hariyanto Sulistyo Wibowo. Panggilan dilakukan berdasarkan Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Atas mangkirnya Menteri LHK dkk, PTUN Pekanbaru tidak akan melakukan pemanggilan ulang kembali terhadap Menteri LHK cs. Sementara, pelaksanaan eksekusi putusan masih menunggu waktu selama 60 hari sejak putusan dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) pada 27 November 2023 lalu, yakni pada 22 Februari 2024 mendatang.
"Tadi Pak Ketua PTUN yang memimpin langsung pertemuan menyatakan batas waktunya hingga 22 Februari 2024 mendatang. Setelah itu akan dilakukan tindakan lebih lanjut oleh PTUN Pekanbaru," kata Surya Darma.
Ikhwal ketidakhadirannya memenuhi panggilan PTUN Pekanbaru, Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro telah dikonfirmasi. Namun, Heru tak membalas pesan yang dilayangkan SabangMerauke News.
Sebelumnya, Direktur Jenderal KSDAE Kementerian LHK, Prof Satyawan Pudyatmoko juga telah diminta responnya atas putusan terhadap kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN. Setali tiga uang, Prof Satyawan juga tak memberikan tanggapan. Hutan konservasi TNTN merupakan kawasan hutan yang langsung berada dalam kewenangan KLHK melalui Dirjen KSDAE.
Sejak kasasi Menteri LHK dkk ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 3 Oktober 2023 lalu, pihak Kementerian LHK sampai saat ini belum pernah memberikan penjelasan secara terbuka.
Alih-alih melaksanakan putusan MA yang sudah inkrah dan tinggal melakukan eksekusi, Dirjen Gakkum KLHK justru lebih sibuk melakukan operasi penertiban 36 pondok di TNTN pada 15-19 November 2023 lalu di Dusun Take Jaya Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan. Dalam operasi itu, Direktur Jenderal Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani mengklaim menemukan 600 hektare areal TNTN sudah berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit berumur satu tahun.
Dari segi luasan, hasil operasi Gakkum itu jauh lebih kecil dibanding objek gugatan Yayasan Riau Madani yang secara telak membuktikan adanya kebun sawit seluas 1.200 hektare berumur belasan tahun di TNTN. Berdasarkan putusan kasasi MA, Menteri LHK dan Dirjen Gakkum KLHK diperintahkan melakukan proses hukum berupa penyegelan dan penyidikan hukum.
"Agak lucu memang ini. Putusan inkrah yang sudah di depan mata tidak dieksekusi KLHK, tapi justru mereka (KLHK) lebih sibuk melakukan operasi yang diklaim sebagai penertiban. Apakah itu hanya sekadar tindakan pengalihan isu?," kritik Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH.
Surya Darma menyatakan, gugatan pihaknya terhadap kebun sawit 1.200 hektare di TNTN adalah langkah hukum untuk mengetuk hati nurani Menteri LHK Siti Nurbaya dalam upaya penyelamatan TNTN yang sudah porak poranda. Soalnya, dari lebih 81 ribu hektare areal TNTN di atas peta kertas, saat ini hanya tersisa sedikit sekali tegakan hutan, karena sudah bersalin rupa menjadi kebun kelapa sawit ilegal.
"Seharusnya gugatan kami yang sudah diputus inkrah oleh MA dimaknai sebagai dukungan ke KLHK untuk menyelamatkan TNTN. Bukan seperti sekarang kesannya justru kami dijadikan lawan. Orientasi kami adalah menyelamatkan TNTN yang sebenarnya ini merupakan tugas pokok KLHK," tegas Surya Darma.
Surya menyebut eksekusi putusan mesti segera dilaksanakan mengingat kegiatan di kebun sawit pada areal TNTN yang menjadi objek perkara hingga kini masih terus berlanjut.
"Putusan hukum yang sudah inkrah ini sebagai ujian penting sejauh mana negara dalam hal ini Menteri LHK bertanggung jawab atas kondisi TNTN yang sudah hancur lebur oleh kegiatan pembukaan kebun sawit ilegal yang berlangsung massif berkelanjutan," tegas Surya Darma.
Didukung Aktivis dan Masyarakat Adat
Kemenangan Yayasan Riau Madani atas Menteri LHK dkk mendapat dukungan dari sejumlah kalangan. Mereka menilai putusan MA tersebut merupakan jawaban atas kehancuran TNTN yang telah dibabat hancur untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit ilegal. Janji Menteri LHK untuk menyelamatkan hutan harusnya dibuktikan dengan kesediaan untuk segera melaksanakan putusan, tanpa harus mengulur-ulur waktu lagi.
"Sungguh mengherankan ketika ada putusan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap, yang tujuannya untuk penyelamatan TNTN, tapi KLHK justru sampai saat ini belum melaksanakan putusan hukum tersebut," kata Direktur LSM Pelita Bangsa, Herman Moyan, Kamis (14/12/2023).
Herman Moyan yang merupakan pendiri Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UIN Suska Riau ini menilai, kepatuhan Menteri LHK dalam melaksanakan putusan MA merupakan ujian nyata apakah KLHK masih memiliki tanggung jawab dan keseriusan dalam penyelamatan hutan konservasi di Riau.
"Jika putusan kasasi MA itu tidak dilaksanakan, maka wajar saja publik menilai tindakan pengamanan dan penyelamatan hutan oleh KLHK sekadar lips services, tebang pilih dan terkesan hanya pencitraan semata," kata Herman Moyan.
Masyarakat Adat Kecewa ke Menteri LHK
Sebelumnya, masyarakat adat Pelalawan, Provinsi Riau kecewa berat dengan sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare di hutan konservasi TNTN.
Hulubalang Datuk Engku Raja Lela Putra Wajir Tengku Besar Pelalawan, Marjoni menyatakan, langkah Menteri LHK Siti Nurbaya yang tidak melaksanakan putusan MA patut dicurigai.
"Ada apa di balik semua ini? Mengapa putusan hukum MA sebagai putusan hukum yang tertinggi belum dilaksanakan. Katanya, kita negara hukum yang harus taat pada hukum, tapi institusi pemerintah sendiri terkesan tidak patuh pada putusan hukum," kata Marjoni kepada SabangMerauke News, Selasa (12/12/2023).
Marjoni menyatakan, jika pemerintah saja tidak tunduk pada putusan hukum, maka hal itu akan dicontoh oleh masyarakat. Ia khawatir, dengan tidak dilakukannya putusan MA terhadap 1.200 hektare kebun sawit di TNTN tersebut, akan membuat para perambah TNTN bersorak-sorai bergembira serta melanjutkan aksi perambahan hutan konservasi TNTN.
Marjoni khawatir, tidak dilaksanakannya putusan MA yang sudah inkrah tersebut, akan menjadi preseden buruk dan meningkatkan laju pengerusakan TNTN.
"Apakah memang TNTN ini mau dihancurkan sampai habis? Mengapa Menteri LHK tidak langsung menjalankan putusan MA yang sudah inkrah itu? Rasanya aneh sekali," kata Marjoni.
Menurutnya, masyarakat adat Pelalawan memberikan apresiasi atas langkah gugatan hukum yang ditempuh oleh Yayasan Riau Madani terhadap keberadaan kebun sawit di TNTN. Sebab, upaya hukum itu merupakan perjuangan yang paling sportif dan fair untuk menyelamatkan TNTN yang sudah hancur lebur saat ini.
"Kan ini aneh namanya, ketika ada putusan hukum yang pro pada penyelamatan hutan TNTN, tapi Menteri LHK tak melaksanakannya dengan segera. Apakah memang Menteri LHK tidak pro penyelamatan hutan? Ini menjadi tanda tanya publik, ada apa di belakang semua ini. Kami minta agar Menteri LHK patuh dan menjalankan putusan MA tersebut," tegas Marjoni.
Ia mengingatkan, lahan area hutan konservasi TNTN secara historis merupakan warisan Kerajaan Pelalawan yang diserahkan ke negara. Harapannya, keberadaan hutan tersebut bisa lestari dan menjadi penyangga kehidupan masyarakat. Masyarakat adat Pelalawan dulunya hidup berdampingan dengan alam.
Atas dasar itu, pihaknya berencana melakukan gerakan sosial penyelamatan TNTN. Putusan gugatan Yayasan Riau Madani menjadi energi masyarakat adat untuk melakukan tindakan yang terukur. Apalagi jika Menteri LHK tidak mau melaksanakan putusan MA yang sudah inkrah tersebut.
"Putusan MA atas gugatan Yayasan Riau Madani yang sudah inkrah ini harusnya menjadi momentum penyelamatan TNTN. Kami akan mengawalnya. Segera harus dieksekusi," pungkas Marjoni.
Isi Putusan Kasasi MA
Dalam putusan kasasinya MA mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani. MA juga memerintahkan Dirjen Gakkum KLHK semula merupakan tergugat I (pemohon kasasi I) untuk membatalkan izin-izin yang berada di hutan konservasi kawasan pelestarian alam TNTN, khususnya terhadap areal kebun sawit seluas 1.200 hektare yang menjadi objek gugatan.
Sementara, majelis hakim agung MA dalam putusannya juga telah mewajibkan Kepala Balai TNTN awalnya tergugat II (pemohon kasasi II) untuk menertibkan izin-izin di TNTN, khususnya terhadap areal kebun sawit seluas 1.200 hektare.
Secara khusus, MA juga mewajibkan Dirjen Gakkum KLHK dan Menteri LHK semula tergugat III (pemohon kasasi III) untuk melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan menghentikan kegiatan pemanfaatan TNTN yang telah disulap menjadi kebun sawit seluas 1.200 hektare.
"Dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan atau tindakan hukum lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," demikian bunyi putusan kasasi MA.
Adapun trio majelis hakim yang menyidangkan kasasi ini diketuai oleh Dr Yulius dan dua anggota majelis hakim agung Lulik Tri Cahyaningrum serta Yodi Martono Wahyunadi.
Kesampingkan UU Cipta Kerja
Putusan kasasi MA memunculkan fakta hukum yang menarik. Soalnya, trio majelis hakim agung MA yang memutus perkara kasasi ini, telah mengesampingkan dalil-dalil yang diajukan Menteri LHK, Dirjen Penegakan Hukum KLHK dan Kepala Balai TNTN dalam memori kasasi yang diajukan sebelumnya.
Adapun salah satu dalil memori kasasi Menteri LHK dkk yakni menjadikan tameng Undang-undang Cipta Kerja nomor 11 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023. Termasuk aturan turunan UU Cipta Kerja yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara PNBP yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Putusan MA ini terbit di tengah jor-jorannya aksi pemerintah pusat dalam melakukan "legalisasi" atau "pemutihan" penguasaan kawasan hutan yang telah dijadikan kebun kelapa sawit tanpa izin dengan dalih keterlanjuran. Bahkan, Presiden Jokowi telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2023 pada 14 April 2023 lalu.
Satgas tersebut dikomandoi oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Pelaksana Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara. Saat ini, Satgas Sawit tengah gencar melakukan verifikasi lanjutan terhadap sedikitnya 12 Surat Keputusan Menteri LHK Siti Nurbaya yang berisi data dan informasi ribuan korporasi dan kelompok penguasa hutan tanpa izin, khususnya yang bergerak di sektor kelapa sawit.
Sebagaimana diketahui, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan perkara uji materiil Nomor 91 Tahun 2021.
Hal yang sama juga berlaku terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 yang merupakan turunan langsung UU Cipta Kerja. Berdasarkan putusan MK, pemerintah dilarang untuk mengambil kebijakan dan langkah strategis sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU Cipta Kerja sebelum dilakukan perbaikan.
Alih-alih melakukan perbaikan sebagaimana diperintahkan MK, kenyataannya pemerintah justru menerbitkan instrumen turunan UU Cipta Kerja dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan sejumlah produk peraturan dan keputusan menteri terkait.
Singgung COP28 di Dubai
Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH menyatakan, seharusnya Menteri LHK Siti Nurbaya dan perangkat-perangkatnya dengan sukarela melaksanakan eksekusi putusan perkara tersebut. Sebab tidak ada alibi dan celah lain bagi KLHK untuk mengulur-ulur waktu, mengingat dua upaya hukum yakni banding dan kasasi telah ditolak oleh pengadilan.
"Sebagai pejabat negara yang berwenang dan diberikan hak oleh konstitusi mengurus sektor kehutanan, maka sewajarnya Menteri LHK legowo mengeksekusi putusan kasasi tersebut. Akan menjadi tanda tanya publik, jika Menteri LHK tidak melaksanakannya," kata Surya Darma.
Ia juga menyinggung soal kampanye pemerintah pusat dalam agenda World Climate Change Action Summit Conference of the Parties (COP) ke 28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada 30 November hingga 12 Desember mendatang. Dimana dalam forum dunia tentang perubahan iklim tersebut, pemerintah dengan lantang menyuarakan penguatan komitmen nyata dunia untuk menahan laju perubahan iklim.
"Soal penegakan hukum terhadap kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN ini sebenarnya hanyalah komitmen kecil. Tapi, kesannya itu tidak dilakukan. Jadi, bagaimana mungkin bisa menyerukan komitmen untuk dunia,?" kritik Surya Darma yang aktif dan konsisten melakukan gugatan hukum terhadap pengrusakan hutan.
Surya Darma menyatakan, kondisi TNTN yang kerap dikampanyekan merupakan paru-paru dunia kini telah rusak parah. Alih fungsi hutan konservasi menjadi kebun kelapa sawit berlangsung tak terkendali oleh otoritas terkait hingga menyebabkan lebih dari separuh areal TNTN telah bersalin rupa menjadi kebun sawit.
"Keadaan ini menunjukkan negara tidak berdaya di TNTN. Ini belum lagi jika kita melihat kondisi hutan konservasi lainnya yang juga rusak dan amburadul. Misalnya saja Suaka Margasatwa Balairaja di Bengkalis, Riau," pungkas Surya Darma.
Kemenangan Sempurna
Yayasan Riau Madani memperoleh kemenangan sempurna dalam gugatannya terkait kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN. Tiga tingkatan putusan pengadilan yang diketuk majelis hakim selalu dimenangkan oleh Yayasan Riau Madani, mulai dari PTUN Pekanbaru, PT TUN Medan dan terakhir Mahkamah Agung. Skor 3-0, tanpa balas.
"Ini kemenangan bagi setiap orang yang masih pro pada eksistensi hutan tersisa, khususnya hutan konservasi yang sudah porak-poranda disulap menjadi kebun sawit. Terlebih-lebih ketika pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja yang terkesan memberikan privilege bagi perambah hutan. Putusan MA ini memiliki semangat mengesampingkan UU Cipta Kerja di sektor kehutanan tersebut," kata Surya Darma, Selasa (31/10/2023).
Pihak Kementerian LHK telah dikonfirmasi ikhwal putusan kasasi MA ini. Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada penjelasan dari KLHK.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan dalam putusannya pada Selasa, 21 Maret 2023 silam, telah menguatkan putusan PTUN Pekanbaru terkait perintah penegakan hukum terhadap kebun kelapa sawit ilegal seluas 1.200 hektare di atas kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.
Dimana PTUN Pekanbaru dalam putusan tingkat pertama perkara nomor: 26/G/TF/2022/ PTUN.PBR tanggal 15 November 2022, mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani terhadap Menteri LHK, Dirjen Gakkum KLHK dan Kepala Balai TNTN berkaitan dengan keberadaan kebun sawit seluas 1.200 hektare di kawasan terlarang itu.
Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya saat itu menyebut Menteri LHK dkk melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak melakukan tindakan dan perbuatan yang konkret dalam upaya perlindungan TNTN.
Adapun putusan banding PT TUN Medan itu teregistrasi dengan nomor putusan perkara: 26/B/TF/2023/PTTUN.MDN. Putusan banding dijatuhkan oleh trio majelis hakim yakni H. L Mustafa Nasution SH, MH sebagai ketua majelis hakim dan Herman Baeha SH, MH serta Dra Marsinta Uli Saragih SH, MH masing-masing sebagai anggota.
Dalam perkara kualifikasi tindakan administrasi pemerintah/ tindakan faktual ini, Yayasan Riau Madani menyeret Kepala Balai TNTN, Menteri LHK dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK.
Dalam perkara ini disebut-sebut kalau kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar di kawasan konservasi TNTN diduga dikelola atau terafiliasi dengan PT Inti Indosawit Subur. Meski demikian, manajemen PT Inti Indosawit Subur telah membantah keras tudingan serius tersebut.
Perusahaan yang terafiliasi dengan Asian Agri Grup ini menolak disebut sebagai pengelola kebun sawit. PT Inti Indosawit Subur sepanjang persidangan selalu mangkir, meski PTUN Pekanbaru sudah melakukan dua kali pemanggilan. (*)