Dari Mana Muncul Angka Rp3,5 Triliun Uang Minyak Participating Interest Blok Rokan untuk Riau, Apakah Transparan?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dikabarkan segera membayar dana Participating Interest 10 persen (PI 10%) Blok Rokan ke jajaran pemerintah di Provinsi Riau. Pencairan uang minyak ini telah lama dinantikan, sejak PHR ditunjuk menjadi pemegang konsesi ladang minyak Blok Rokan (Wilayah Kerja Rokan) pada 9 Agustus 2021 silam, menggantikan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang habis masa kontraknya.
Dikabarkan, besaran PI 10 persen tersebut mencapai angka Rp3,5 triliun. Jumlah uang minyak itu merupakan akumulasi dana PI dari periode 9 Agustus 2021 hingga 30 Oktober 2023.
Pembayaran akan dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama pembayaran akan ditunaikan, Rabu (13/12/2023), yakni untuk pembayaran PI periode 9 Agustus 2021 hingga 31 Desember 2022.
Sementara dikabarkan pembayaran tahap kedua yakni untuk periode 1 Januari 2023 hingga 30 Oktober 2023, akan dilakukan pada 27 Desember mendatang.
Adapun dana tersebut akan ditransfer ke PT Riau Petroleum Rokan (RPR) yang merupakan anak perusahaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov Riau, yakni PT Riau Petroleum. RPR ditunjuk sebagai BUMD pengelola dana PI 10 persen Blok Rokan oleh Gubernur Riau saat dijabat Syamsuar.
Selain jatah untuk Pemprov Riau, dana PI 10 persen yang dikelola RPR sebesar Rp3,5 triliun itu akan dibagikan juga sebagai deviden untuk 5 kabupaten di Riau. Yakni Bengkalis, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Siak, dan Kampar.
Pembayaran PI 10 persen dilakukan setelah Kementerian ESDM menerbitkan persetujuan lewat surat bernomor T-817/MG.04/MEM/2023 tanggal 4 Oktober 2023. Surat tersebut perihal Persetujuan Pengalihan Partisipasi Interes 10% di Wilayah Kerja (WK) Rokan. Dengan demikian, susunan pemegang PI di WK Rokan yakni, PT PHR sebanyak 90% dan Provinsi Riau melalui PT Riau Petroleum Rokan (RPR) sebanyak 10 persen.
Lantas, dari mana muncul uang dana PI 10 persen sebesar Rp3,5 triliun tersebut? Apa dasar perhitungannya?
Ikhwal ketentuan tentang PI 10 persen diatur lewat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 Persen pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM tersebut, Participating Interest 10 persen didefenisikan sebagai besaran maksirnal sepuluh persen participating interest pada kontrak kerja sama yang wajib ditawarkan oleh kontraktor kepada Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Negara.
Pada Pasal 4 Peraturan Menteri ESDM itu disebutkan, dalam penawaran PI 10% kepada BUMD untuk lapangan yang berada di daratan dalam satu provinsi, pembentukan BUMD-nya dikoordinasikan oleh gubernur dengan melibatkan bupati/ walikota yang wilayah
administrasinya terdapat lapangan minyak atau gas yang disetujui rencana pengembangannya.
Sementara, menyangkut pembagian persentase keikutsertaan saham provinsi dan/ atau kabupaten/kota pada BUMD, didasarkan atas pelamparan reservoir cadangan minyak dan gas bumi pada masing-masing wilayah provinsi/ kabupaten/ kota yang akan diproduksikan.
Adapun penentuan pelamparan reservoir cadangan minyak dan gas bumi didasarkan
pada hasil sertifikasi lembaga independen yang ditunjuk oleh para pihak. Beberapa waktu lalu, hasil data pelamparan reservoir telah dituntaskan.
Sementara itu, pada Pasal 12 disebutkan kalau penawaran PI 10% kepada BUMD dilaksanakan melalui skema kerja sama antara BUMD dengan kontraktor, dalam hal ini kontraktornya adalah PT PHR.
Kontraktor akan menalangi pembiayaan terlebih dahulu terhadap besaran kewajiban BUMD. Besaran kewajiban BUMD dihitung secara proporsional dari biaya operasi yang dikeluarkan selama masa eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan rencana kerja dan anggaran.
Atas pembayaran besaran kewajiban tersebut, BUMD berhak mendapatkan pengembalian biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor selama masa eksplorasi dan eksploitasi.
Namun, BUMD harus melakukan pengembalian terhadap pembiayaan yang telah didahulukan oleh PHR untuk kebutuhan operasi. Pengembalian pembiayaan itu diambil dari bagian BUMD dari hasil produksi minyak bumi dan/ atau gas bumi sesuai kontrak kerja sama tanpa dikenakan bunga.
Besaran pengembalian pembiayaan setiap tahunnya dilakukan menurut kelaziman bisnis dari besaran kewajiban BUMD dengan tetap menjamin adanya penerimaan bagi hasil produksi minyak dan gas bumi
dalam jumlah tertentu untuk BUMD.
Adapun jangka waktu pengembalian pembiayaan dihitung mulai pada saat produksi sampai dengan terpenuhinya seluruh kewajiban BUMD dalam jangka waktu kontrak kerja sama.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM tersebut, maka uang minyak PI 10 persen Blok Rokan yang diterima Riau sebesar Rp3,5 triliun itu, merupakan penerimaan bersih setelah dipotong pembiayaan operasional PHR.
Oleh karena itu, Pemprov Riau melalui PT Riau Petroleum Rokan (RPR) haruslah dapat memastikan besaran pembiayaan operasional yang dikeluarkan oleh PHR. Sebab, jika pembiayaan operasional PHR makin besar, maka potongan pembiayaan yang akan ditanggung secara proporsional oleh RPR akan semakin besar pula.
Pada sisi lain, Pemprov Riau dan jajaran pemda yang wilayahnya terdapat areal operasi produksi minyak, juga harus dapat mengakses data produksi minyak yang sesungguhnya. Sebab, semakin besar produksi minyak yang dikeruk, maka akan semakin jumbo pula uang PI 10 persen Blok Rokan yang akan diterima daerah.
Dalam hal ini, seharusnya perwakilan Pemprov Riau ada di dalam manajemen PHR, untuk memastikan objektivitas perhitungan pembiayaan operasional dan juga produksi minyak.
Memang, RPR memiliki kesempatan untuk mendapatkan akses data Blok Rokan. Namun, untuk mendapatkan akses data tersebut harus menempuh prosedur yang rumit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (*)