Subsidi Biodiesel Rp 100 Triliun Tapi Untuk Minyak Goreng Cuma Rp 7 Triliun, Faisal Basri: Perut Rakyat Tak Dimanja!
SabangMerauke News, Jakarta - C menilai pemerintah terlalu memanjakan sektor energi yang hanya dinikmati sebagian masyarakat. Sebaliknya, perut rakyat justru tak dimanja.
Hal ini terlihat dari kisruh harga dan stok minyak goreng
domestik beberapa waktu terakhir. Harga minyak goreng melonjak hingga tembus Rp20 ribu per liter dan stok langka di pasaran.
"Sekarang pemerintah mengedepankan energi, perut dibelakangin. Energi dimanja, perut tidak dimanja. Padahal, energi hanya dinikmati segelintir orang," ungkap Faisal dalam Webinar: Minyak Goreng Langka, Ada Apa?, Rabu (16/2/2022).
Ia menjelaskan terjadi pergeseran konsumsi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di dalam negeri. Menurut Faisal, lebih dari 50 persen produksi CPO lokal diserap oleh industri pangan termasuk produsen minyak goreng pada 2019 lalu.
"Tapi lama-lama turun, sehingga 2022 diperkirakan di bawah 50 persen (penyerapan CPO oleh industri pangan dari total produksi)," imbuh Faisal.
Saat ini, sebagian besar CPO dijual ke industri biodiesel. Komposisinya bahkan diperkirakan hampir 50 persen pada 2022.
"Sebelumnya penyerapan industri biodiesel hanya 34,5 persen pada 2019, 2022 diperkirakan 43 persen. Jadi hampir sama industri biodiesel dengan pangan," jelas Faisal.
Kenaikan konsumsi CPO di industri biodiesel lantaran ada kewajiban pencampuran biodiesel 20 persen (B20) dengan 80 persen bahan bakar minyak jenis solar yang menghasilkan produk biosolar B20. Program ini berjalan sejak Januari 2016 lalu.
"Karena ada kewajiban, konsumsi mereka (industri biodiesel terhadap CPO) naik," imbuh Faisal.
Selain itu, terdapat subsidi kepada industri biodiesel atau biofuel hingga Rp100 triliun sejak 2015-Desember 2021. Faisal mengatakan subsidi digelontorkan agar perusahaan tak merugi.
Subsidi tersebut diberikan lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Subsidi disalurkan karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional.
Sebaliknya, jika CPO dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu.
"Pemerintah itu menjamin industri biofuel tidak merugi, dijamin, tapi perusahaan minyak goreng tidak," kata Faisal.
Dengan kebijakan seperti itu, pengusaha CPO lebih senang menjual produknya ke industri biodiesel ketimbang perusahaan minyak goreng.
"Kalau hulu tidak diselesaikan ya kelangkaan terus terjadi," imbuh Faisal.
Menurut Faisal, pemerintah lewat BPDPKS memang telah memberikan subsidi sekitar Rp7 triliun untuk perusahaan minyak goreng agar dapat menjual dengan harga Rp14 ribu per liter. Namun, jika dana subsidi habis, seharusnya ditambah bukan dihentikan begitu saja.
"Kalau ada subsidi lagi tidak mungkin meminta pengusaha jual minyak Rp14 ribu per liter, tidak bisa meminta perusahaan jual Rp14 ribu," ucap Faisal.
Ia menegaskan pemerintah tak bisa membuat kebijakan yang membuat perusahaan merugi. Hal ini bertentangan dengan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas (pt).
"Subsidi dari dana sawit tadi, kok memberikan ke perusahaan biodiesel bisa lebih dari Rp100 triliun, ke rakyat hanya Rp7 triliun lebih," jelas Faisal. (*)