Digoyang Isu Miliki Kebun Sawit di Kawasan Hutan Riau, Begini Respon Gulat Manurung
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kisruh soal kebun sawit di dalam kawasan hutan Riau kian kencang. Kali ini tudingan mengarah kepada Gulat ME Manurung yang dikenal sebagai Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).
Hal ini bermula dari surat Direktur Pengaduan, Administrasi dan Sanksi Dirjen Gakkum KLHK, Sugeng Priyanto tertanggal 7 Januari 2019 lalu yang kembali diungkap Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, Selasa (15/2/2022) kemarin. Dalam surat lawas tersebut, disebutkan ada tiga orang yang diduga memiliki kebun sawit berada dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Ketiga orang yang tertera dalam surat itu yakni Yangdra, Asiong dan Gulat ME Manurung.
BACA JUGA: Apkasindo Dituding Bekingi Kebun Sawit di Kawasan Hutan Tahura Sultan Syarif Hasim
Surat ditujukan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau untuk menindaklanjuti temuan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Dalam keterangan tertulis yang diterima SabangMerauke News, Yusri Usman mempertanyakan alasan tidak adanya tindak lanjut surat Kementerian LHK tersebut oleh Kepala Dinas LHK Riau. Yusri menuding kalau Kadis LHK Riau telah melakukan pembangkangan.
"Surat ini jelas merupakan arahan dari Kementerian LHK kepada Kadis LHK Riau supaya menindaklanjuti pengaduan terhadap Yungdra, Asiong dan Gulat Medali Emas Manurung yang telah terbukti memiliki kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan produksi terbatas tanpa izin," ungkap Yusri, Selasa kemarin.
BACA JUGA: Apkasindo-IPB Rekomendasikan Sawit Jadi Tanaman Hutan, Kang Dedi DPR: Hutan Apa, Hutan Kelapa Sawit?
Yusri mengingatkan agar pemilik kebun sawit di kawasan hutan produksi terbatas tidak berlindung di balik Undang-undang Cipta Kerja.
"Karena Undang-undang Cipta Kerja baru disahkan tahun 2020, sedangkan surat KLHK itu sudah sejak 2019. Kenapa tidak dilaksanakan perintah KLHK itu?," tanya Yusri.
Yusri berencana akan melaporkan pihak-pihak terkait ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena temuan kepemilikan kebun sawit di dalam kawasan hutan produksi terbatas yang tidak segera ditindak oleh Kadis LHK Riau itu.
"Kami mengendus adanya potensi kerugian negara akibat penyerobotan kawasan hutan produkai terbatas oleh ketiga orang tersebut. Jadi kami meminta KPK untuk menelisik perkara ini," jelas Yusri.
Apa respon Gulat ME Manurung terkait surat Kementerian LHK yang mencantumkan namanya sebagai pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan tersebut?
Lewat penjelasan tertulis yang diterima SabangMerauke News, Gulat Manurung tidak membantah soal surat dari Kementerian LHK tersebut. Namun, ia menjelaskan kalau surat itu terbit tiga tahun silam yakni 7 Januari 2019. Sementara lanjut Gulat, Undang-undang Cipta Kerja telah berlaku sejak November 2020 yang dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2021. Gulat mengklaim, UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya telah mengubah pola penyelesaian masalah kebun sawit di dalam kawasan hutan.
"Dengan terbitnya UU Cipta Kerja dan produk hukum turunnya, maka penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan lewat ultimum remedium yakni dengan mengedepankan denda penyelesaian sanksi administrasi," jelas Gulat.
Ultimum remedium adalah istilah dalam ilmu hukum yang bermakna bahwa apabila suatu perkara dapat ditempuh melalui jalur lain seperti hukum perdata ataupun hukum administrasi, hendaklah jalur tersebut ditempuh sebelum mengoperasionalkan hukum pidana.
Gulat mengklaim semua permasalahan sawit dalam kawasan hutan, tanpa kecuali diselesaikan melalui Undang-undang Cipta Kerja.
"Diberikan limit waktu 3 tahun untuk semua kebun sawit dalam kawasan hutan mengajukan proses penyelesaiannya ke Kementerian LHK sejak Februari 2021 hingga 2024 mendatang," jelas Gulat.
Kepala Dinas LHK Provinsi Riau, Mamun Murod menyatakan saat surat Kementerian LHK terbit, dirinya belum menjabat di DLHK Riau.
"Saya baru bertugas pada Juni 2020. Sementara surat itu terbit tanggal 7 Januari 2019," jelas Murod lewat pesan WhatsApp.
Murod mengaku kalau awalnya DLHK Riau bersama tim Polda Riau, Kejati Riau, BPN Riau dan Dinas Perkebunan akan menertibkan kebun-kebun sawit di kawasan hutan. Namun dengan terbitnya Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka kewenangan DLHK Riau sudah terbatas.
"Berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja, KLHK yang memiliki kewenangan. Daerah hanya supporting saja," jelas Murod. (*)