Minta Rapat DPR dengan BUMN Dihentikan, Fahri Hamzah: Cukup dengan Ahok Dkk Saja!
SabangMerauke News, Jakarta - Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah angkat bicara soal pengusiran Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Silmy Karim ketika rapat dengan Komisi VII DPR pada Senin lalu, 14 Februari 2022.
Ia menilai peristiwa yang menambah daftar petinggi badan usaha milik negara atau BUMN itu seharusnya tak terjadi. Fahri juga mengusulkan agar rapat antara DPR dengan BUMN sebaiknya dihentikan karena lebih banyak mudaratnya.
“Sebaiknya dihentikan. Cukup Kementerian BUMN yang rapat sebagai kuasa pemegang saham. Rapat pemegang saham dan pengawasan cukup di komisaris saja. Pertamina cukup rapat sama Ahok dkk. Tidak usah ke DPR,” cuit Fahri Hamzah melalui akun Twitter-nya @Fahrihamzah, Selasa, 15 Februari 2022.
Usulan itu disampaikan Fahri berdasar pada Direksi BUMN yang merupakan pejabat bisnis, bukan pejabat politik. Artinya, dengan membiasakan rapat di DPR akan membuat para direksi BUMN yang merupakan pejabat bisnis menjadi bermental politik.
Hal ini yang kemudian merusak profesionalisme di BUMN. Para bos perusahaan pelat merah itu, menurut Fahri, akhirnya dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi pun jadi rusak.
"Direksi BUMN adalah pejabat bisnis bukan pejabat politik. Membiasakan mereka rapat di @DPR_RI membuat mereka bermental politik. Inilah akar dari rusaknya professionalism di BUMN. Mereka dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi rusak!" cuit Fahri.
Dalam buku yang pernah ditulisnya tentang BUMN, Fahri menyebutkan adanya dilema antara dikuasai negara dan untuk kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah rapat dengan anggota DPR. Dengan motif dikuasai, negara sedang merusak kultur bisnis di BUMN.
Menurut mantan wakil ketua DPR ini, ada kesalahan di hulu persoalan, karena regulasi ambigu dan membiarkan kontradiksi antara UU tentang BUMN, PT, dan keuangan negara. Ia berpendapat seharusnya pengelolaan BUMN harus jelas dan tunduk ke dalam rezim korporasi. Dengan begitu, pertanggungjawaban pemegang saham ada di Kementerian BUMN.
Artinya, menurut Fahri, Direksi BUMN tidak perlu melayani DPR dalam rapat kerja. Kalaupun ada rapat kerja, kuasa ada di Kementerian BUMN. Sementara itu, jika DPR mau memanggil korporasi, harusnya diwakilkan komisaris. Itu pun hanya terkait isu negara dengan kuasa pemegang saham, bukan teknis.
Fahri juga menilai tidak adil membedah BUMN di depan umum oleh politikus, sedangkan ada pesaing yang selalu mengintip dapur perusahaan milik negara itu. Tak hanya itu, menurut dia, sering kali tak jelas apa inti pembahasan rapat dengan BUMN.
Namun berbeda halnya dengan rapat penyelidikan angket. Karena, menurut Fahri, tak hanya BUMN, presiden pun bisa dipanggil dalam rapat itu.
“Jadi sebaiknya dihentikan. Terlalu banyak efek buruknya bagi DPR dan terlebih lagi bagi BUMN. Mereka harus didorong bekerja murni sebagai profesional. Jangan terlalu banyak politik yang bisa membuat wajah BUMN samar dan tidak jelas. Politisasi BUMN ini sudah terbukti jelek,” kata Fahri.
Pernyataan Fahri merespons banyaknya petinggi BUMN yang diusir DPR saat rapat kerja. Yang teranyar adalah Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim yang diusir Komisi VII DPR pada Senin lalu, 14 Februari 2022.
Sebelum bos Krakatau Steel tercatat sejumlah bos BUMN yang diusir saat rapat kerja dengan DPR adalah:
Direktur Utama Holding Tambang BUMN (MIND) atau PT Inalum (Persero), Orias Petrus Moedak di Komisi VII DPR, 30 Juni 2020
Direktur Utama PT Garam (Persero) Yulian Lintang di Komisi VI, 26 Maret 2013
Direktur Utama PT RNI (Persero) Ismed Hasan Putro di Komisi VI DPR, 2 Maret 2013
Dirut PT PLN (Persero) Nur Pamudji di Komisi VII DPR, tahun 2012
Direktur Utama PT Jasa Raharja (Persero) Diding S. Anwar di Komisi XI DPR, 16 Februari 2012
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan, Komisi VII DPR, 9 Desember 2010. (*)