BPK Temukan Indikasi Kuat Penyimpangan di 11 BUMN, Ini Daftarnya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - 11 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak perusahaannya diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dikarenakan permasalahan yang signifikan.
Pemeriksaan itu terungkap dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2023. Ketua BPK Isma Yatun membacakan penggalan hasil laporan tersebut dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-10 Masa Persidangan II 2023-2024.
"Hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam IHPS 2023, di antaranya atas pendapatan biaya dan investasi pada 11 BUMN atau anak perusahaannya dengan permasalahan signifikan, antara lain pemberian uang muka perikatan perjanjian jual beli gas (PJBG) tidak didukung mitigasi risiko dan jaminan memadai," kata Isma di saat Rapat Paripurna di Kompleks DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023).
Berdasarkan dokumen IHPS I 2023, ada 11 objek yang diperiksa dari 11 perusahaan pelat merah tersebut. Hasilnya ada 1 objek pemeriksaan tidak sesuai kriteria, sedangkan sisanya sesuai kriteria dengan pengecualian.
Sejumlah BUMN atau anak perusahaan yang diperiksa BPK, antara lain PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero), hingga PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Pemeriksaan ini meliputi kegiatan pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi 11 BUMN tersebut pada kurun waktu 2017-2022.
BPK menemukan bahwa PJBG sebesar US$15 juta oleh PT PGN kepada PT IAE tidak didukung dengan mitigasi risiko memadai. Ada 4 catatan dari hasil temuan BPK.
Pertama, PJBG tidak mengacu pada kajian tim internal atas mitigasi risiko dan cost benefit analysis. Kedua, tidak didukung dengan jaminan yang memadai, yakni dokumen parent company guarantee tidak dieksekusi oleh PT PGN dan nilai jaminan fidusia berupa jaringan pipa PT BIG senilai Rp16,79 miliar yang jauh lebih kecil dibandingkan nilai uang muka yang diberikan.
Ketiga, PGN tidak memperhatikan kebijakan pemerintah atas larangan transaksi gas secara bertingkat karena pembelian gas kepada PT IAE yang bukan produsen gas.
Keempat, tidak melalui analisis keuangan dan due diligence yang memadai. Ini ditunjukkan dengan nilai current liability PT IAE yang lebih besar dibandingkan current asset-nya.
"Akibatnya, sisa uang muka sebesar US$14,19 juta berpotensi tidak tertagih yang dapat membebani keuangan perusahaan," jelas BPK dalam IHPS.
"Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan direksi PT PGN untuk mengoptimalkan pemulihan piutang uang muka kepada PT IAE sebesar US$14,19 juta dan berkoordinasi dengan direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum (APH)," tandasnya.
Media telah menghubungi Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Sinulingga untuk meminta tanggapan atas temuan BPK dan upaya tindak lanjut Kementerian BUMN. Kendati demikian, hingga berita ini diturunkan yang bersangkutan belum meresponsnya. (*)